Tesis lanjutan Philip Elliot berdasar apa yang dilihat dan dihadapinya adalah kelanjutan perubahan cara yang melibatkan orang-orang dalam masyarakat sebagai warga politik dari negara bangsa terhadap unit konsumsi dalam korporasi dunia. Konsekuensi logis hal ini adalah berlanjutnya erosi, seperti yang dikatakan Jurgen Habermas sebagai public sphere atau oleh C. Wright Mills dengan istilah komunitas publik.
Habermas melihat kedua tipe penyampaian politik berdasar pengetahuan, informasi dan asosiasi dalam demokrasi negara bangsa sebagai tipe borjuasi kapitalis. Masyarakat massa mengembangkan tingkat penerimaan kenyamanan, kesenangan dan kontrol dimana orang-orang berpartisipasi menjadi anggota pasar. Karena menyandarkan diri pada pasar, Nora dan Minc (1978) berpendapat, pasar bukanlah tempat untuk berpartisipasi melainkan konsumsi.
Daniel Bell (1976,1980) dan lainnya, yang memandang adanya ledakan informasi dan komunikasi akan menciptakan masyarakat dengan bentuk yang yang lebih rasional, berpendapat bahwa adalah terlalu simplifikatif jika teknologi baru serta-merta akan menaikan akses informasi secara umum dan membuka kemungkinan baru komunikasi dua arah. Ada dua alasan yang dikemukannya, yaitu persoalan akses dan pengertian tentang informasi dan komunikasi itu sendiri.
Masalah akses menurutnya tidaklah semata persoalan alat yang bersifat fisik. Hal ini juga melibatkan hak dan sumber untuk menggunakannya. Dianalogikan di sini bagaimana suatu perpustakaan sebagai toko ilmu pengetahuan dapat mengajak pengunjungnya untuk menjelajahi berbagai ilmu pengetahuan yang ada pada toko tersebut. Betapapun minimnya idealisme yang direalisasikan dalam praktek, sistem perpustakaan telah terinspirasi oleh tujuan masyarakat informasi .
Kelemahan antara analogi yang lama dan yang baru bagaimanapun akan tampak
setelah mempertimbangkan tujuan-tujuan pengontrol-pengontrol baru dari informasi. Herbert Schiller (1981) menerangkan adanya privatisasi dalam sistem informasi. Perusahaan komersial merupakan pembuat-pembuat informasi baru yang memiliki kepentingan utama dalam menjaga kerahasiaan informasi untuk melindungi rahasia-rahasia komersial mereka. Kepentingan kedua ialah menciptakan suatu komoditas untuk dijual di pasar.
Ada beberapa masalah lain dalam analogi perpustakaan. Meskipun perpustakaan memiliki katalog-katalog yang didesain untuk mempermudah dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan serta pertanyaan lainnya yang lebih sulit untuk dihindari. Siapa yang akan menulis katalog? Siapa yang akan menetapkan pertanyaan-pertanyaan dan tingkat kemungkinan jawaban? Lebih jauh, siapa yang akan mengakumulasi kapasitas ilmu pengetahuan? Inilah karakter utopia teknologi yang akhirnya hanya akan mendomestivikasi fungsi kehidupan dan privatisasi kehidupan sosial.
Privatisasi dalam pengertian ini merupakan satu kunci dari semua proses yang diasosiasikan dengan analisa Frankfurt school mengenai media dan pengaruhnya pada hubungan sosial, bukan melalui pesan-pesan yang mereka bawa tetapi melalui tipe interaksi yang anjurkan. Argumen kuat Frankfurt School adalah kemungkinan adanya manipulasi, suatu argumen yang tidak sepenuhnya ditanya dalam ‘efek’ penelitian. Kelemahan dari argumen ini adalah bahwa privatisasi akan menghilangkan kemungkinan masyarakat untuk menjawab ulang karena hal itu menghilangkan kesempatan mereka untuk berasosiasi dimana kebutuhan umum diakui dan tuntutan diformulasikan.
Masalah kedua dari visi Bell, masyarakat yang kaya informasi adalah apa yang kita ambil saat ini sebagai suatu informasi dan sebagai suatu proses komunikasi informatif yang didasarkan pada model rasional tentang segala hal, tetapi memiliki nilai simbol yang tinggi, isi myth dan pasif serta nilai hiburan. Hal penting pada konsep informasi adalah kekenyalan dari masyarakat ideal secara rasional, pemerintahan yang demokratis dan kesuksesan kaum intektual dalam promosi kesetaraan informasi ditambah dengan pilihan rasional menyamakan kemajuan sosial.
Soal kesetaraan informasi ditolak oleh intelektual-intelektual konservatif. Hukum Hayek, misalnya, mengklaim bahwa usaha pembentukan ulang legislatif selalu mempunyai pengaruh yang berlawanan dari tujuan yang dimaksud. Argumen tersebut berlawanan dengan pendapat Gouldner (1979) dengan adanya “Klas Baru”. Menurutnya, klas baru ini merupakan mesin pemerintah sebagai penyedia dan pemroses informasi bagaimana seharusnya pemerintah bertindak. Ini yang menyebabkan para intelektual dalam dunia penelitian dan lembaga pendidikan berada dalam tekanan yang kian meningkat.
Konsep mengenai informasi Fabianesque adalah melihat informasi sebagai suatu sumber kebutuhan sosial yang dapat dilihat dalam perbicangan mengenai media massa. Pertumbuhan pers didasarkan pada dua proses, ketentuan dari fungsi informasi, terutama secara komersial dan secara finansial, kemudian kontroversi politis. Lebih jauh, kedua fungsi tersebut telah ditransformasikan.
Fungsi komersial telah meluas dan dengan transformasi berita ke dalam suatu komoditas, fungsi politik memudar. Namun begitu, perdebatan mengenai pers masih berlanjut pada istilah mengenai pers bebas yang mampu memberi informasi dan mencerminkan kepentingan opini untuk mempercepat pengambilan keputusan dalam demokrasi.
KOMENTAR
Hal utama yang disorot dalam bab ini adalah peran para intelektual dan masyarakat informasi dalam menghilangnya public sphere. Sehingga yang perlu dikritisi dari paparan Elliott, benarkah intelektual dan masyarakat informasi berperan dalam erosi public sphere?
Jika dilihat apa yang menjadi argumen Elliott cukup rasional. Bahwa perubahan keterlibatan orang-orang dalam masyarakat sebagai warga politik dari negara membawa mereka ke dalam unik konsumsi korporasi dunia, bukan partisipasi. Kemudian juga adanya dua persoalan yang dihadapi mengenai peran teknologi baru, yaitu akses dan pengertian informasi dan komunikasi itu sendiri.
Soal akses, memang benar bahwa persoalannya bukan sekadar persoalan fisik saja namun juga hak dan sumber untuk menggunakannya. Seperti dengan hadirnya perkembangan teknologi informasi yang baru, internet. Persoalan akses memang bukan sekadar urusan koneksi fisik saja, namun juga bagaimana menggunakan teknologi tersebut dan hak untuk mengkoneksinya.
Mengenai pengertian informasi dan komunikasi, apa yang disampaikan Elliott cukup membuka wawasan baru tentang istilah yang jika ditarik ke dalam negeri, telah terjadi kesalahpengertian mengenai pengertian informasi dan komunikasi. Seperti dengan digembar-gemborkannya mengenai masyarakat informasi, yang sesungguhnya menurut Bell, informasi terkait dengan masyarakat ideal secara rasional, pemerintahan yang demokratis dan kesuksesan kaum intelektual dalam promosi kesetaraan informasi ditambah dengan pilihan rasional menyamakan kemajuan sosial.
Antitesis dari tesis Elliott dapat dilihat dari tulisan Mark Poster (1999) lewat “Cyberdemocracy: Internet and The Public Sphere”. Poster dalam uraiannya, yang berkebalikan dengan yang dikatakan Elliott soal teknologi dan erosi public sphere, justru melihat bahwa teknologi baru ini membuka wacana tentang konsep public sphere modern. Terutama mengenai pertemuan tatap muka (face-to-face) dan istilah-istilah baru seperti virtual communities ataupun electronic cafe. Ada nada optimis bahwa public sphere di internet memungkinkan orang berdiskusi secara bebas serta hadirnya media-media independen yang tidak mengikuti arus komersialisasi pasar.
Bahkan teknologi internet sendiri sejalan dengan kritikan John B. Thomson (1983) terhadap pandangan Habermas mengenai public sphere yang dinilainya sebagai public sphere borjuis dan laki-laki, model public sphere borjuis merupakan idealisasi sejarah yang tidak sesuai gerakan sosial non borjuis dan mengenai penurunan public sphere dari Structural Tranformation.
Sedang mengenai peran intelektual dalam erosi publick sphere, karena masalah kesetaraan informasi masih menjadi perdebatan kalangan intelektual sendiri, maka begitu sulit untuk membebankan tanggung jawab kesetaraan informasi itu di kalangan intelektual sendiri. Tapi jika alangkah baiknya jika memang intelektual dapat menjalankan fungsi tersebut.
Bahan Bacaan Lain:
Habermas, J. (1989). “Institution of Public Sphere”. In Boyd-Barret, Oliver and Newbold, Chris. Eds. (1995), Approach to Media: A Reader, New York:Arnold.
Poster, Mark. (1999). “Cyberdemocracy: Internet and The Public Sphere”. University of California, Irvine.
Elliot, Philip(1971). Intellectuals, The ‘Information Society’ and The Disappearance of The Public Sphere dari Media, Culture and Society, Schlesinger, P. dan Sparks, C. (ed.) Academic Press, London, Vol.4, No.3, pp.244-6.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
om, share sedikit ttg forum internet sebagai public sphere Habermas, sekaligus arena peningkatan rasionalitas publik dong. buat tugas kuliah. :D
Posting Komentar