Tulisan mengenai aplikasi dan implikasi ICTnomic yang saya tulis hari ini (13/9/2009) dimuat di Koran Jakarta. Berikut isinya, bagi yang belum sempat baca korannya:
Ekonomi dunia sedang berubah. Basis ekonomi yang tadinya berdasar pada baja, kendaraan dan jalan raya, kini berubah jalur ke arah ekonomi baru yang dibentuk oleh silikon, komputer dan jaringan. Transformasi tersebut, yang terjalin dengan transformasi lain, globalisasi, menciptakan paradigma baru ekonomi, pembangunan ekonomi berbasis information and communication technology (ICT)—ICTnomic. Perkembangan ini cukup menarik.
Di masa dulu, misalnya saja, saat Soeharto menjadi Presiden, berkembang konsep ekonomi ”Soehartonomic”, yang mengacu pada konsep pembangunan berdasar pemikiran Soeharto. Begitu juga dengan dengan istilah ”Habibienomic”, yang mengarah pada konsep pembangunan menurut Habibie. Dengan ICTnomic, konsep top down seperti itu bisa jadi tidak dikenal lagi. Sesuai dengan semangat kebebasan, demokrasi maupun perubahan, siapa pun bisa mengembangkan ekonomi, baik di tingkat negara maupun rumah tangga, dengan menggunakan ICT sebagai alat maupun sokoguru aktivitasnya.
Tokoh macam Bill Gates dengan Microsoft-nya, Marck Zuckerberg melalui Facebook, serta Google yang dikembangkan oleh Larry Page dan Sergey Brin maupun Yahoo! yang diciptakan oleh Jerry Yang dan David Filo, menjadi bukti bahwa ekonomi dapat berputar dan bergerak di luar kendali penguasa.
Sebenarnya, begitu banyak contoh lain, termasuk dari dalam negeri, bagaimana ICT (teknologi informasi dan komunikasi) kini telah membuat ekonomi seakan terpisah dari jalannya roda pemerintahan. Ini artinya, siapapun pemimpinnya, bisnis ICT akan tetap berjalan sesuai konsep dasar cyber dimana diibaratkan seekor tikus yang akan mencari jalan keluarnya sendiri dari labirin.
Peran ICT dalam pembangunan akan kian penting. Lihat saja, sektor ini telah menggerakan ekonomi secara masif—dari sekadar menjadi penjual voucher di gang-gang sempit, pemasar ponsel-ponsel baik lama maupun yang teranyar, hingga hadirnya begitu banyak operator dengan beragam lisensi, bahkan memberikan pemasukan bagi negara yang cukup signifikan dan cenderung meningkat tiap tahunnya, baik dalam bentuk pajak maupun pendapatan negara bukan pajak (PNBP). Direktorat Jenderal Postel, Depkominfo, pada anggaran 2008, dari BHP frekuensi radio saja ditargetkan untuk dapat mencapai Rp. 4,61 trilyun, dan untuk 2009 ditargetkan untuk memperoleh Rp. 5,61 trilyun (Siaran Pers Ditjen Postel, 17 Juni 2009).
Dalam ICTnomic, ada beberapa perubahan maupun pergeseran yang perlu menjadi perhatian. Seperti disebutkan Don Tapscott dalam ”Digital Economy: Promise and Peril In The Age of Networked Intelligence”, pergeseran terjadi dari produksi yang berbasis “tenaga” (brawn) ke basis “otak” (brain) yaitu pengetahuan tentang pekerjaan dari para pekerjanya. Kini pengetahuan menjadi variabel kunci bagi perusahaan masa depan. Tingkat pengetahuan yang tinggi dari para pekerja akan membuat mereka menjadi kreatif dan inovatif dalam bekerja. Ini yang kemudian menjadi dasar dari ekonomi kreatif.
Kemudian, semua informasi tidak lagi ditampilkan secara apa adanya (sistem analog), tetapi dengan menggunakan simbol angka 0 dan 1. Dalam ekonomi baru, informasi dikemas dalam bentuk digital. Dengan teknologi digital, orang dapat melakukan pekerjaannya dengan banyak orang dari tempat yang berlainan, dalam waktu yang bersamaan tanpa harus bertemu secara langsung. Informasi dapat diakses lewat komputer—termasuk telepon seluler, baik dalam bentuk tulisan, audio maupun video.
Produk juga tidak lagi berbentuk fisik, tetapi virtual (maya/semu) termasuk juga aktivitas ekonomi yang dilakukan. Seperti virtual office, di mana para pekerja tidak lagi harus melakukan aktivitas di kantor. Bisnis perusahaan mendapatkan informasi tentang pasarnya dengan cepat karena mereka telah terhubung dengan jaringan internet yang memungkinkan akses informasi dengan cepat. Misalnya informasi tentang supplier, pesaing, konsumen dan lainnya. Sehingga, fungsi dari para perantara antara produsen dan konsumen akan semakin berkurang. Hal ini disebabkan produsen melalui teknologi informasi, dapat langsung melakukan komunikasi dengan para konsumen.
ICTnomic juga bicara mengenai keterpaduan antara telekomunikasi, komputer dan media. Informasi dan transaksi bisnis dalam dilakukan melalui media eletronik dalam waktu yang sangat cepat, terus-menerus sehingga dibutuhkan informasi yang akurat dan cepat dalam hitungan detik. Dengan semakin cepatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang ada, membuat persaingan akan makin tajam dalam membuat produk yang sama atau bahkan lebih unggul. Di sinilah perlunya perhatian terhadap inovasi. Karena suatu produk baru akan segera menjadi ketinggalan jaman kalau tidak dilakukan inovasi terus-menerus, termasuk mensosialisasikannya secara luas.
Namun begitu, ICTnomic ternyata dapat juga menimbulkan kesenjangan yang mengarah pada perpecahan. Misalnya antara mereka yang mengusai teknologi dengan yang tidak; antara yang tahu dan yang tidak tahu; antara yang mempunyai kemampuan mengakses dan yang tidak, karena tidak semua orang sudah memasuki era informasi. Untuk kondisi Indonesia, empat tingkatan masyarakat dari pra-agraris, agraris, industri dan hingga masyarakat informasi, semua ada di sini. Empat tingkatan masyarakat—dari suku-suku yang ada di pedalaman dan tidak tersentuh kemajuan jaman termasuk barang-barang elektronik, hingga yang tiap saat aktif meng-update status melalui situs jejaring sosial—semuanya adalah kekayaan dan kenyataan negeri ini. Tugas besar kita semua adalah bagaimana mewujudkan “ICT Untuk Semua” sehingga tiap individu masyarakat dapat menjadi aset negara dan menjadi roda-roda penggerak ekonomi negara. Semoga.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
wah salut, mas Heru tambah produktif dan tulisannya makin bagus: lancar mengalir. Keep it up....
Posting Komentar