07 Agustus 2009

Rendra, Sajak Sebatang Lisong dan Kemerdekaan



Menjelang Hari Kemerdekaan RI ke-64, Budayawan WS Rendra berpulang menghadap Sang Khalik. Duka cita yang mendalam pastinya. Dan tentu, bukan tanpa sebab, saya mencoba menghubungkan antara WS Rendra dengan Kemerdekaan. Sebab, si ”Burung Merak” ini merupakan tokoh yang begitu mengkritisi arti kemerdekaan.

Beruntunglah, Indonesia mempunyai manusia seperti Rendra, yang tetap kritis, tak lekang karena zaman dan perebutan kekuasaan. Bahkan, saat Soeharto berkuasa, yang segala macam kebebasan dalam kondisi terkekang, Rendra mampu dan berani bersuara lewat puisi-puisinya. Bukan Cuma pandai kritik dan memahami persoalan sosial, budaya, dan politik kekinian, Rendra cukup disegani kemampuannya berseni, yang bukan Cuma di dalam negeri, tapi juga di mancanegera.

Salah satu puisi yang saya suka adalah ”Sajak Sebatang Lisong”. Saya mendengar Rendra membacakan puisi ini ketika memperingati 50 tahun Indonesia Merdeka di Taman Ismail Marzuki 14 tahun lalu.
Foto: Wikipedia
Sajak Sebatang Lisong

menghisap sebatang lisong
melihat Indonesia Raya
mendengar 130 juta rakyat
dan di langit
dua tiga cukung mengangkang
berak di atas kepala mereka
matahari terbit
fajar tiba
dan aku melihat delapan juta kanak - kanak
tanpa pendidikan
aku bertanya
tetapi pertanyaan - pertanyaanku
membentur meja kekuasaan yang macet
dan papantulis - papantulis para pendidik
yang terlepas dari persoalan kehidupan
delapan juta kanak - kanak
menghadapi satu jalan panjang
tanpa pilihan
tanpa pepohonan
tanpa dangau persinggahan
tanpa ada bayangan ujungnya
……………………..
menghisap udara
yang disemprot deodorant
aku melihat sarjana - sarjana menganggur
berpeluh di jalan raya
aku melihat wanita bunting
antri uang pensiunan
dan di langit
para teknokrat berkata :
bahwa bangsa kita adalah malas
bahwa bangsa mesti dibangun
mesti di up-grade
disesuaikan dengan teknologi yang diimpor
gunung - gunung menjulang
langit pesta warna di dalam senjakala
dan aku melihat
protes - protes yang terpendam
terhimpit di bawah tilam
aku bertanya
tetapi pertanyaanku
membentur jidat penyair - penyair salon
yang bersajak tentang anggur dan rembulan
sementara ketidak adilan terjadi disampingnya
dan delapan juta kanak - kanak tanpa pendidikan
termangu - mangu di kaki dewi kesenian
bunga - bunga bangsa tahun depan
berkunang - kunang pandang matanya
di bawah iklan berlampu neon
berjuta - juta harapan ibu dan bapak
menjadi gemalau suara yang kacau
menjadi karang di bawah muka samodra
……………………………
kita mesti berhenti membeli rumus - rumus asing
diktat - diktat hanya boleh memberi metode
tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan
kita mesti keluar ke jalan raya
keluar ke desa - desa
mencatat sendiri semua gejala
dan menghayati persoalan yang nyata
inilah sajakku
pamplet masa darurat
apakah artinya kesenian
bila terpisah dari derita lingkungan
apakah artinya berpikir
bila terpisah dari masalah kehidupan

Puisi ini sangat tepat didengungkan terus, termasuk jelang Hari Kmerdekaan ke-64 ini. 64 tahun lalu, soekarno-Hatta, atas nama Bangsa Indonesia, memproklamirkan Kemerdekaan Indonesia. Kemerdekaan yang direbut dengan segala pengorbanan, air mata, darah dan nyawa. Perjalanan Bangsa Indonesia membawa kita hingga sekarang, ke sini.




Satu pertanyaan mendasar yang perlu diajukan kita semua, sudahkah negara ini benar-benar merdeka? Tentu pertanyaan yang tidak sulit dijawab, ketika kemiskinan masih merajalela, kebodohan makin meluas karena biaya pendidikan yang kian mahal, kesehatan yang juga masih menjadi barang mewah, harga barang-barang melambung tinggi tanpa kendali. Memang, jalan-jalan seperti di Jakarta menjadi kian macet, PLN sering mati, jumlah selebriti meningkat bahkan sulit membedakan antara selebriti dan politisi, selebriti jadi politisi dan politisi jadi selebriti.




Namun, bukan kemajuan dan kemerdekaan yang terjadi. Kemajuan pasti ada, tapi macet di Jakarta, bukanlah kemerdekaan mengingat social cost dari bermacet-macet ria juga menjadi pemborosan nasional. Macet lebih merupakan kesalahan manajemen transportasi, mengurangi kapasitas jalan untuk busway, bukan dengan menambah kapasitas dengan infrastuktur baru. PLN memang sering mati, bukan berarti orang makin maju, membutuhkan energi lebih banyak untuk nge-charge ponsel, magic jar, maupun menyalakan komputer. Kenyataan itu tidak terbantah sebenarnya, tapi kebijakan energi nasional yang tidak jelas. Mendapatkan energi merupakan hak warga negara dan kewajiban negara untuk menyediakannya.




Dengan jumlah penduduk yang kian banyak, alat-alat baru yang berbasis listrik, otomatis membutuhkan pasokan energi lebih banyak.Jumlah selebriti meningkat juga bukan kemajuan sebenarnya, termasuk lahirnya politisi-politisi baru dari selebriti, maupun politisi jadi selebriti. Menjadi politisi dan selebriti sekarang ini lebih menjanjikan dibanding pekerjaan lainnya. Begitu banyak sarjana kita mengangur karena tak ada lapangan kerja.




Sehingga, cara cepat hidup ‘lumayan’—kalau tak mau dibilang mewah, menjadi selebriti dan politisi merupakan pilihan yang utama bagi banyak orang. Lihat saja, banyak acara-acara TV menawarkan cara cepat jadi selebriti. Pemilu membuat orang berbondong menjadi politisi. Politisi banyak yang berlaih jadi selebriti.

Pemilu baru saja usai, Pilpres pun sudah digelar. Pertanyaannya, akan kah Indonesia menjadi lebih baik? Tiap individu mendapat perhatian karena merupakan aset bangsa, dan bukan angka-angka statistik yang dibutuhkan ketika Pemilu maupun Pilpres saja?


Selamat meresapinya, dan dengan segala kerendahan hati, saya ucapkan DIRGAHAYU REPUBLIK INDONESIA. Bagimu Negeri, Jiwa Raga Kami.

Tidak ada komentar: