13 April 2008

Tantangan Industri Konten ke Depan

Setelah dimulainya pemberian layanan telepon bergerak seluler generasi ketiga (3G) secara komersial oleh lima operator telekomunikasi (Hutchison CP Telecommunication, Natrindo Telepon Seluler, Telkomsel, Excelcomindo Pratama dan Indosat), itu artinya Indonesia telah memasuki babakan baru dalam industri teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dari narrowband (pita sempit) ke arah broadband (pita lebar). Setelah 3G, telah menunggu giliran pula teknologi WiMax untuk diadopsi dan generasi keempat telepon bergerak seluler (4G) yang kini masih dalam tahap pengembangan.

Selain menyangkut seberapa jauh infrastruktur dengan teknologi pita lebar tersebut menjangkau masyarakat, yang tak bisa diabaikan adalah layanan apa saja yang bisa disajikan bagi penggunanya. Apalagi jika 4G sudah hadir, dengan kemampuan transmisi data hingga 155 Mbps atau setara 1890 kanal 64 Kbps. Melalui pengalaman beberapa negara yang telah lebih dulu mengimplementasi pita lebar, konten mempunyai peran strategis. Tanpa konten yang menarik, menghibur maupun mendidik, infrastruktur yang ada dapat diibaratkan jalan tol berlajur banyak yang hanya dilalui sebuah motor bebek saja, yang tentunya mubazir.

Mengingat perannya yang cukup siginifikan, baiknya pembicaraan soal TIK tidak melulu didominasi perdebatan mengenai adopsi teknologi saja—semisal 3G, WiMax, NGN, 4G, serta apakah menggunakan jaringan publik atau jaringan private, tapi juga perlu dibarengi dengan gugatan, konten apakah yang akan diberikan pada masyarakat agar masyarakat Indonesia menjadi cerdas, tidak menjadi korban terpaan teknologi serta masyarakat yang sejahtera sebagai muaranya.

Cukup menarik untuk melihat bagaimana perkembangan konten dalam industri TIK di sini. Ada beberapa hal yang bisa dicatat. Pertama, terjadinya pasang surut layanan konten Indonesia. Ini dapat dilihat dari konten dotcom lokal yang menggurita saat menjelang dan beberapa tahun setelah masa reformasi di tahun 1998, namun setelah itu hanya beberapa yang mampu bertahan dan dikategorikan sukses. Walaupun belum optimal, beruntung kini hampir seluruh pemerintahan dari pusat hingga daerah bisa diakses melalui internet.

Yang juga ke arah surut saat ini adalah layanan premium call. Pada awalnya layanan ini begitu diminati, namun karena stigma negatif sebagai layanan esek-esek dengan iklan-iklan yang menggoda dan menampilkan wanita dengan busana minim, layanan ini ditinggalkan. Berbeda dengan premium call, SMS premium saat ini sedang mendaki masa keemasannya. Meski begitu, waktu akan menguji apakah layanan ini juga akan ditinggalkan seiring dengan makin banyaknya penyedia konten nakal yang menguras pulsa konsumen.

Kedua, dengan pita yang kian lebar, layanan seperti video call, mobile TV maupun video on demand, mulai ditawarkan ke publik. Namun, disebut-sebut hampir sama dengan konten televisi kita yang bersifat latah dan hampir senada dengan dipenuhi tayangan mistik, sinetron ABG dan berita gosip, belum terlihat layanan yang menjadi ciri khas operator 3G di sini. Dikhawatirkan, tanpa variasi layanan untuk memaksimalkan lebar pita yang ada, yang akan menjadi killer application tetap saja suara (voice), sehingga, ilustrasi motor di jalan tol terjadi.

Dan ketiga, bersamaan dengan maraknya investasi asing di sektor TIK kita, termasuk penguasaan asing di beberapa operator telekomunikasi, industri konten juga tidak bisa menghindari hal itu. Mayoritas industri konten Indonesia saat ini juga dikuasai asing. Hal ini tentu memprihatinkan dan membuat kita bertanya-tanya apakah orang Indonesia tidak ada yang pintar untuk membuat konten yang bagus. Ataukah memang, kepintaran orang-orang kita di bidang TIK hanya yang negatif saja, semisal cybercrime yang selalu masuk dalam urutan 10 besar di dunia?

Sebenarnya peluang untuk berusaha di bidang konten cukup terbuka hanya memang diperlukan kreativitas. Misalnya saja mengembangkan konten yang melibatkan media semacam televisi, diperkirakan layanan itu akan mendapat sambutan yang cukup signifikan. Hal itu sesuai dengan suasana bangsa ini yang sedang bergerak ke arah demokratisasi, dimana masyarakat ingin dilibatkan dalam berbagai aktivitas dan didengarkan pendapatnya.

Apalagi, sekarang ini pun banyak dilakukan program-program televisi yang mencari idola, baik itu dalam bidang musik, lawak maupun atlet secara instan. Audisi yang biasanya dilakukan berpusat di satu tempat, dengan fasilitas seperti teknologi 3G, hal itu dapat dilakukan hanya dari rumah sehingga tanpa harus mengeluarkan dana untuk transportasi dan akomodasi. Bahkan kalau perlu pendapat masyarakat melalui polling, SMS dan internet dapat dimanfaatkan.

Permainan (games) serta musik bergerak dapat dielaborasi juga untuk meramaikan industri konten. Di Eropa, pasar games meningkat sebesar 77.2 % per tahun dan akan tetap pada angka itu hingga 2010. Sementara untuk musik, akan terbangun pasar yang memungkinkan layanan jaringan seperti MP3 dan realtone download. Termasuk dengan kemampuan handset dan memory card untuk dapat menyimpan ratusan bahkan ribuan lagu serta dapat menyajikan musik dengan kualitas suara yang prima.

Mobile TV juga dipercaya mempunyai masa depan yang potensial, apalagi televisi begitu penting terhadap kehidupan keseharian banyak orang. Hanya, seperti kasus Indonesia, TV telah menjadi ‘tamu tak diundang yang selalu datang’ karena tak berbayar. Sehingga, untuk menjadikan TV kemudian berbayar tidaklah mudah. Di sisi lain, dengan tanpa bayar, maka operator tidak kebagian apa-apa karena seluruh pemasukan menjadi hak stasiun televisi.

Yang mungkin terjadi adalah operator akan menyajikan layanan video atau informasi berdasar pesanan pengguna, atau bisa juga operator seluler membuat stasiun televisi sendiri. Dengan begitu, operator akan mendapat pemasukan semisal dari iklan, sehingga tayangan televisi dapat dinikmati pengguna secara gratis. Tentu saja, hal-hal yang terkait dengan regulasi penyiaran ini perlu dipertegas sejak awal agar operator tahu apa saja yang harus dilakukan dan ke mana perijinan diminta.

Sementara itu, melihat potensinya yang besar, industri konten dalam negeri perlu mendapat perhatian karena konten yang bersifat lokal akan lebih mampu menarik pelanggan menggunakan teknologi pita lebar. Konten-konten yang memberikan pendidikan alternatif juga selayaknya mendapat tempat tersendiri. Untuk itu, pola kerja sama yang selama ini dikembangkan, ada baiknya ditinjau ulang mengingat banyak penyedia konten yang mendapat perlakuan tidak adil, dengan pembagian keuntungan yang kecil serta target yang cukup tinggi, dari operator. Dengan kondisi seperti itu, hanya penyedia konten besar, sering berpromosi lewat televisi dan menampilkan selebritas saja yang mampu hidup.

Aturan yang jelas dan tegas juga perlu diberlakukan terhadap penyedia konten, termasuk operatornya. Selain agar konsumen tidak dijadikan ‘mesin ATM’ yang setiap saat dapat dikuras uangnya, juga agar industri konten tidak tercemari oleh penyedia konten nakal, yang bisa-bisa membuat masyarakat tidak percaya dan tertarik lagi apapun konten yang ditawarkan. Kalau sudah begitu, bukan saja penyedia konten saja yang dirugikan, tapi juga industri TIK secara keseluruhan menjadi tidak menarik dan berguna lagi. Peran regulator dinantikan di sini.

Tidak ada komentar: