05 April 2008

Merindukan Iklan Telekomunikasi Bernilai Tambah





Jika kita cermati iklan-iklan operator telekomunikasi yang ada di media cetak dan elektronik beberapa waktu terakhir ini, ibaratnya seperti menonton ”perang”. Para operator seakan tak pernah kehabisan kreativitas untuk saling mencela dan menjatuhkan satu sama lain. Meski awalnya, sejak pertengahan tahun silan, masih terkesan malu-malu.

Dimulai oleh Esia—dengan bintang iklannya Ringgo Agus Rahman—mulai meledek operator lain melalui visual warna-warna yang dianggap mewakili operator GSM yang ingin diusiknya, seperti biru XL, kuning Indosat dan merah Telkomsel. Rupanya gayung bersambut, dan makin ke sini, perang makin vulgar, tak cuma menyentuh area visual, tapi juga dengan ungkapan verbal yang saling menyudutkan operator lain.

Telepon bergerak, meski penetrasinya baru sekitar 40%, namun potret ramainya ”perang” iklan menggambarkan betapa ketatnya persaingan di industri telekomunikasi Indonesia. Perebutan pasar yang ada, bahkan terkesan lebih keras ketimbang persaingan di industri lain, semisal industri kartu kredit.

Bahkan jika ditelaah lebih dalam, di industri kartu kredit, peperangan sebenarnya lebih seru. Bukan rahasia lagi, kartu kredit bank A dalam mengakusisi pelanggan baru menawarkan program transfer tagihan. Tagihan seseorang di kartu kredit bank A akan dilunasi bank B. Dan si pemegang kartu di bank A, cukup melunasi utangnya tanpa bunga setelah memegang kartu kredit bank B. Kalau kita menggunakan terminologi negatif, ini adalah saling caplok nasabah. Cuma dalam komunikasinya, bank penerbit kartu kredit tak pernah mendiskreditkan atau mencela produk dan layanan kompetitornya.

Di industri telekomunikasi, persoalannya serupa. Pelanggan baru bisa saja berasal dari pengguna ponsel baru, atau pelanggan operator lain. Saat ini, sepertinya pelanggan operator lainlah yang dibidik oleh semua operator, sehingga komunikasinya terkesan mati-matian menjelekkan kompetitornya. Misalnya saja iklan operator CDMA—yang dalam hal ini operator fixed wireless access (FWA) yang terang-terangan menganggap operator GSM jauh lebih mahal ketimbang CDMA, walau kita ketahui bahwa ada juga operator yang menggunakan teknologi CDMA tapi memiliki lisensi seluler. Atau, antaroperator seluler yang membanding-banding harga antara layanan yang diberikan dengan layanan operator seluler lain lengkap dengan embel-embel tambahan semisal ”Tong Kosong Berbunyi Nyaring”.

Merupakan hal lumrah, ketika penetrasi pasar meluas dan masuk ke segmen yang lebih bawah, maka taktik yang digunakan adalah tarif. Karena, biasanya segmen ini lebih sensitif terhadap harga. Dan jika kemudian ada sejumlah operator yang masuk dan berebut di pasar, perang tarif pun tak bisa dihindari. Setelah menawarkan Rp. 10/detik, ada operator memberikan Rp. 1/detik, yang kemudian dibalas dengan iklan operator lain Rp. 0,5/detik, lalu Rp. 0,1/detik serta terakhir Rp. 0,000…1 (dengan banyak nol di belakang koma) per detik. Selain membuat iklan satu halaman di media cetak nasional, bintang-bintang cantik dan lucu pun ditampilkan untuk memancing perhatian pengguna baru dan mempertahankan pelanggan lama.

Perang tarif, yang kemudian diikuti dengan penurunan tarif, tentu menguntungkan bagi pengguna layanan telekomunikasi. Dan ini rasanya sah-sah saja. Dimana pelanggan selular bisa mendapatkan layanan dengan harga yang makin murah, dan tentunya layanan yang tetap berkualitas. Hanya sayangnya, penurunan tarif ini tidak diimbangi dengan komunikasi yang memadai, yang bisa menjelaskan tentang keunggulan program masing-masing operator.
Yang ada, para operator malah sibuk beriklan dengan pesan yang intinya mengatakan program operator lain lebih jelek, atau tarif yang diberikan operator lain itu palsu, menjebak dan sebaginya. Dan kemudian yang terekam di benak pelanggan bukan lah pada keunggulan masing-masing program operator, tapi justru trik-trik dan gaya yang dipakai dalam promosi tarif. Realitas ini juga menjadi perhatian regulator telekomunikasi yang menilai iklan-iklan tarif telekomunikasi saat ini kerap menyesatkan karena tidak informatif.

Disebut tidak informatif, hal itu karena informasi yang disampaikan sering tidak lengkap. Misalnya tarif promosi sekian rupiah, di situ tidak disebutkan apakah untuk sesama operator atau lintas operator. Dengan informasi yang hanya sepotong, bisa saja masyarakat tertipu karena langsung beranggapan bahwa harga tersebut memang murah. Selain tidak informatif, pola iklan tarif sekarang yang lebih banyak saling serang untuk mempromosikan tarif baru yang diklaimnya termurah.

Tentu jadi pertanyaan, apa esensi dari tarif Rp. 0,0000…1 yang ditawarkan, benarkah pelanggan mendapatkan layanan yang “nyaris” gratis. Secara bisnis tentu saja tak ada pedagang yang mau jual dengan hasil kosong. Kemudian, bagaimana dengan program yang diklaim tanpa syarat dan ketentuan berlaku, namun sebaliknya justru makin penuh dengan syarat dan ketentuan. Begitu juga dengan operator FWA berteknologi CDMA, sesuai KM. 35/2004, dengan mobilitas terbatas pada satu kode area, wajar jika FWA menawarkan tarif yang lebih murah dibanding seluler.

Perang tarif yang diusung dengan iklan yang begitu gencar, memang dalam waktu singkat bisa menggelembungkan jumlah pelanggan. Karena memang banyak yang terbujuk ”kemurahan” harga. Namun, dengan ”perang” iklan yang saling menjatuhkan dan tak memberi edukasi kepada pengguna secara memadai, tentu saja tidak akan sehat bagi industri ini. Apalagi ketika tarif yang dikedepankan, tak ada batas how low can you go dan 1001 jurus gimmick marketing bisa dikeluarkan.

Tentu hal ini menjadi tantangan bagi semua operator untuk bisa keluar dari zone peperangan iklan dan menciptakan selling point yang berbeda. Apalagi, pada akhirnya, tarif murah tak cukup untuk mempertahankan pelanggan, tapi juga diperlukan kualitas jaringan seperti success call ratio, penanganan gangguan jaringan, drop call maupun kecepatan pelayanan pelanggan (customer care).

Selain informasi yang lengkap tentang tarif yang diberikan, alangkah cantiknya jika dalam iklan-iklan mendatang para operator juga berpikir untuk mengedepankan informasi mengenai quality of services serta informasi-informasi lain yang bernilai tambah seperti penjelasan mengenai perbedaan layanan-layanan telekomunikasi sehingga layanan yang satu bisa lebih murah dibanding layanan lain, memberikan pencerahan pada konsumen untuk menggunakan telepon secara bijak, serta informasi mendidik lainnya yang berguna bagi konsumen. Bahkan dalam skala nasional, dirindukan iklan-iklan yang dapat ikut serta membangun karakter bangsa. Kita tunggu saja!

Tidak ada komentar: