29 November 2008

Tantangan Masa Depan Itu Bernama Digital dan Konvergensi

Pakar teknologi informasi dari Amerika Serikat, Don Tapscott, dalam bukunya “The Digital Economy: Promise and Peril in the Age of Networked Intelligence” mengemukakan, perkembangan ekonomi dunia sedang berubah dari industri yang berbasis pada baja, kendaraan dan jalan raya ke arah ekonomi baru yang dibentuk oleh silikon, komputer dan jaringan. Karenanya, untuk sukses diperlukan dinamika dan kebutuhan penggerak baru: konvergensi.

Fokus perhatian banyak pemerhati konvergensi lebih kepada industri telekomunikasi dan komputer. Yaitu, bagaimana mempermurah harga PC, modem dan penemuan protokol standar sehingga komputer dapat terhubung dengan komputer lain yang memungkinkan hadirnya internet serta bagaimana mentransformasikan jaringan menjadi interaktif penuh melalui jaringan komunikasi broadband. Hanya saja, semua itu lebih cenderung merupakan akhir dari proses konvergensi.

Digitalisasi
Kunci dari konvergensi pada tingkat teknologi adalah digitalisasi, dimana semua bentuk informasi (angka, kata, gambar, suara, data dan gerak) dikodekan ke dalam bentuk bit (binary digit) yang memungkinkan manipulasi dan transformasi data (bitstreaming). Apapun isi yang ditampilkan, bit dapat dimanipulasi, termasuk penggandaan informasi asli, pengurangan maupun penambahan.


Digitalisasi telah mentransformasikan teknologi media dan komunikasi. Seperti sentral telepon yang sebelumnya dioperasikan secara manual kini dilakukan oleh komputer dengan perangkat lunak yang membuat jaringan cerdas (intelligent network) karena menghasilkan fitur-fitur yang tidak bisa dilakukan teknologi analog. Dalam industri film, meski hasil akhirnya berupa selluloid, sebagian besar editing dikerjakan secara digital, sementara suara dan efek khusus seluruhnya dilakukan secara digital.

Karena digitalisasi, konvergensi mengarah pada hadirnya produk information appliance yang dapat melakukan berbagai fungsi pandang dengar dan komputasi. Penyatuan produk tersebut, misalnya televisi dan komputer menjadi satu produk sehingga akses ke internet dapat dilakukan dari pesawat televisi. Atau bisa juga sebaliknya, dimana siaran televisi dapat dinikmati lewat internet secara real time.

Produk kombinasi lainnya bisa dilihat dengan hadirnya perangkat telepon genggam dengan beberapa fasilitas. Selain bisa untuk melakukan pembicaraan telepon, juga bisa mengirim SMS atau MMS dengan kemampuannya untuk menerima atau mengirim gambar, suara, data maupun berinternet. Begitu juga dengan teknologi mencetak yang menggabungkan pencetak, pemindai, fotokopi, mesin faksimil dan telepon menjadi satu.

Konvergensi memungkinkan terjadinya penggabungan (merger) perusahaan yang terkait dengan industri komputer, telekomunikasi dan media. Seperti Microsoft yang juga berinvestasi dalam bidang penyiaran, televisi kabel, satelit, penerbitan dan industri internet, AT&T yang membeli televisi kabel Tele-Communication, Inc (TCI), Singapore Technologies Telemedia membeli saham mayoritas PT Indosat Tbk. dimana Indosat selain mempunyai usaha SLI, telepon lokal juga memiliki IM2 yang berbisnis di bidang internet, IM3 dengan bisnis telekomunikasi seluler, juga memiliki PT Satelindo.

Jika pada industri lama perusahaan komputer didefinisikan sebagai produsen perangkat lunak dan keras, penerbit bergerak dalam teknologi cetak serta perusahaan telekomunikasi didefinisikan sebagai penjual jasa telekomunikasi, mengoperasikan jaringan atau membuat perangkat, dalam terminologi konvergensi industri, batas-batas tersebut menjadi kabur. Dalam industri media dan komunikasi, yang ada adalah peralatan informasi. Sehingga, produksi dan konsumsi media baru dibedakan pada tingkatan-tingkatan dari kreasi isi hingga konsumsi akhir.

Perusahaan penerbit, studio film maupun stasiun televisi, sekarang ini dapat dimasukkan dalam industri isi. Hal itu karena teknologi digital memungkinkan konversi yang murah dan efisien dari satu media ke tipe media lainnya. Ini bisa dilihat dengan dijadikannya film menjadi permainan (game), misalnya. Seperti, film terakhir James Bond “Die Another Day” atau “Harry Potter: The Chamber of Secret” yang tersedia versi game-nya untuk bisa dimainkan di komputer atau playstation.

Atau sebaliknya, permainan “Tomb Raider” produksi Eidos Interactive yang bisa dimainkan lewat perangkat seperti Playstation, komputer kemudian dibuat filmnya. Penerbit buku kini dapat juga memasarkan bukunya dalam bentuk CD-ROM.

Pengaruh dan Dampak
Konvergensi menyebabkan hadirnya industri dan ekonomi digital serta jaringan yang memungkinkan interaktivitas dan bersifat global. Beberapa isu penting yang terkait dengan hal tersebut adalah persoalan kejahatan dan keamanan, permasalahan sosial serta bagaimana kebijakan diambil untuk mendorong perkembangan ekonomi jaringan tersebut, mengatasi kejahatan dan permasalahan sosial lainnya.

Persoalan kejahatan yang mungkin timbul akibat konvergensi dan digitaliasi dapat dibagi menjadi empat bagian besar: pencurian perangkat keras, data atau informasi; penipuan (fraud); pelanggaran hak cipta; serta serangan terhadap individu atau organisasi.

Di Indonesia, kejahatan yang terkait dengan penipuan, terutama kartu kredit, cukup marak. Bahkan karena begitu banyaknya, penjahat yang menggunakan modus ini, mengakibatkan banyak alamat IP address Indonesia yang sempat diblokir sehingga orang Indonesia yang ingin berbelanja lewat internet tidak dipercaya lagi oleh pemilik-pemilik situs belanja online di luar negeri.

Dalam hal pelanggaran hak cipta, hal ini merupakan ancaman bagi industri yang bergerak dalam bidang musik, film maupun komputer. Dalam pembajakan CD musik misalnya, menurut Asiri, pembajakan itu mencapai hingga 500%. Pembajakan diperparah dengan hadirnya teknologi MP3, yang dapat membuat satu CD dapat menampung lebih banyak lagi lagu. Bayangkan, hanya dengan harga di bawah Rp 10 ribu, ratusan lagu telah dapat dinikmati dari CD bajakan ini.

Yang terkait dengan masalah sosial seperti isi dari situs-situs web, film atau SMS yang diorientasikan untuk orang dewasa (pornografi); hadirnya situs judi online; kemudian juga terorisme yang melakukan pengerusakan komputer yang terkait sarana umum. Persoalan ini menarik, karena hal itu akan terkait dengan persoalan kebebasan memperoleh informasi, kebebasan menyampaikan pendapat, atau dengan isu terorisme.

Kebijakan
Berbicara soal kebijakan, ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian. Pertama, perkembangan teknologi ini mengglobal, sehingga regulasi yang dibuat tidak cukup hanya bersifat lokal saja, namun harus mengacu atau selaras dengan kebijakan global. Kedua, konvergensi yang melibatkan industri komputer, komunikasi dan media massa, memerlukan kebijakan yang integral, tidak berdiri sendiri-sendiri. Dan ketiga, kebijakan yang diambil harus bisa menjawab tantangan jaman dengan.

Saat ini kita sudah memiliki UU Informasi dan Transaksi Elektronik. Sekarang saatnya UU ITE dicoba apakah mampu untuk menjawab tantangan yang ada. Tanda Tangan Elektronik dan Transaksi Elektronik.

Agar tidak menjadi ajang perebutan kekuasaan, antara pemerintah, publik dan pasar, perlu dibentuk semacam komisi independen yang membuat aturan main, menjadi pengawas serta pendorong keterlibatan semua elemen untuk bersama menjawab persaingan industri informasi di masa depan. Hal itu agar tidak ada regulator yang juga sekaligus ikut dalam persaingan dan pihak tertentu terlalu dibebani misi yang berat ini.

19 November 2008

Dibikinin Tulisan Satu Halaman oleh Jurnal Nasional


Hari ini (Rabu, 19 Nov 2008), saya baca, ada satu tulisan sehalaman di Harian Jurnal Nasional. Terima kasih JurNas.


Adapun isinya:


Heru Sutadi, Anggota Komite Regulasi Telekomunikasi Indonesia BRTI

Jatuh Cinta pada Teknologi Informatika

by : Irfan Fikri

BERAWAL suka mengutak-atik alat elekronik saat duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) mulai dari remote televisi sampai membuat handy talky, membuatnya jatuh cinta pada dunia teknologi informatika. Karena ketertarikan itu, dia memilih kuliah di Tehnik Elektro Fakultas Tehnik Universitas Indonesia.


“Sejak SMP saya sudah bisa buat obat nyamuk elektrik dan buat alarm sendiri,” katanya ketika saya temui di ruang kerjanya, baru-baru ini.
Seiring pesatnya perkembangan tehnologi dunia, tak sulit bagi Heru mencari kerja selepas kuliah. Dia langsung diterima di salah satu perusahaan jaringan telepon di Indonesia. Dia bertugas memasang jaringan fiber optik di beberapa tempat penting seperti di Istana Negara dan kediaman wakil presiden.

Tak puas bekerja di tanah air, dia pergi ke Arab Saudi menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI). Bukan sebagai pembantu rumah tangga, namun senior engeenering yang bertugas memasang tower (koreksi. harusnya "membangun jaringan") telekomunikasi di Arab. “Targetnya di Arab, satu tahun memasang seribu tower (koreksi. harusnya "satu juta line pelanggan"),” ujar dia.

Heru bangga. Pilihan hidupnya ingin total menyelami dunia tehnologi informatika tidak sia-sia. Seiring kemajuan dunia telekomunikasi, dia berkesempatan kerja pergi ke beberapa negara, antara lain Hongkong, Malaysia dan Singapura. “Sejak kuliah, saya optimistis dunia telekomunikasi memang cerah. Ternyata pilihan saya tepat,” ucap suami dari Era Rakhmawati ini.

Kecintaan pada bangsa ini, terutama rindu masakan Indonesia membawanya kembali pulang. “Tidak puas kalau tidak makan nasi. No rice no power.”
Dia berniat mengembangkan telekomunikasi di Indonesia dengan ilmu yang dimiliki. “Padahal waktu di luar negeri gaji saya sudah menyentuh angka US$12.000,” kata ayah Katari Fitriani dan Fajar Aiman Rozan ini.

Sejak pulang ke tanah air, dia aktif melakukan sosialisasi penggunaan internet. Terutama bahaya cyber crime yang awal tahun 2000 begitu marak.
Banyak masyarakat tertipu tawaran sumbangan fiktif dari luar negeri. Sang korban diminta mentransfer sejumlah uang pajak sebelum sumbangan dicairkan. Heru pun mendirikan organisasi Masyarakat Internet (Master) untuk menyosialisasikan penggunaan internet.


Selain itu, Heru melihat mayoritas masyarakat belum mengerti manfaat dan kegunaan mendasar ponsel sebagai alat komunikasi. “Ponsel dianggap mainan layaknya mainan anak-anak. Fungsi dasar sebagai alat telekomunikasi luntur,” ujar Anggota Komite Regulasi Telekomunikasi Indonesia di Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) ini.

Fenomena ini memang tidak bisa menyalahkan anak. Para orangtua minim memberikan pengertian manfaat ponsel bagi anak-anaknya. Alhasil, ponsel masuk ke dalam ranah model. Setiap ada model baru, harus ganti. “Orang sudah tidak berpikir lagi tentang manfaat yang didapat dari ponsel yang dimilikinya. Yang penting bergaya.”

Heru mencontohkan, orang harus sadar kalau uang Rp1.000 yang dikeluarkan untuk menelpon harus bermanfaat sebanding dari yang dikeluarkan. Hingga, fungsi ponsel sebagai alat efisien, bukan tujuan. “Bukan untuk gaya-gayaan.”
Menurut dia, Undang-undang (UU) Telekomunikasi saat ini sangat Ketinggalan zaman alias usang. UU yang ada tidak ada korelasi dalam UU yang mengatur menyeluruh antara UU Penyiaran dan Telekomunikasi.

Padahal seiring perkembangan, dalam satu alat elektronik, seperti ponsel, selain alat komunikasi dapat sebagai televisi maupun radio.
Akibatnya, ada pemborosan lembaga, seperti ada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), BRTI dan lembaga lainnya. “Ini pemborosan. Seharusnya ada yang mengatur satu atap,” ucap Heru. Irfan Fikri

13 November 2008

Pilih Quick Count, TI atau Penghitungan Manual?

Pasangan Calon Gubernur Jawa Timur KaJi, menurut Quick Count, beberapa lembaga survei dinyatakan menjadi menang mengalahkan KarSa. Memang ada beberapa yang tidak berani menyebutkan siapa menang mengingat selisih yang tipis antara kedua pasangan. Sebelum Jatim, pemilihan Gubernur Sumatera Selatan juga 'ramai' karena, lagi-lagi, quick count, yang menyatakan pasangan Syahrial Oesman - Helmy Yahya menang mengalahkan Alex nurdin - Eddy Yusuf.
* * *
Empat tahun lalu, hanya beberapa jam setelah penghitungan suara pemilihan presiden putara kedua dimulai pada tanggal 20 September 2004, hasil penghitungan cepat (quick count) LP3ES yang bekerja sama dengan Metro TV, Yayasan Tifa dan NDI, telah berani mengumumkan bahwa pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-M. Jusuf Kalla berhasil mengalahkan pasangan Megawati-Hasyim Muzadi secara nasional dengan 61,2% suara : 38,8% suara. Ini artinya, dengan sistem quick count, telah dapat ditentukan siapa yang berhak menjadi presiden dan wakil presiden untuk lima tahun mendatang, meski belum semua TPS datanya masuk ke pusat tabulasi nasional pemilu (TNP).

Melihat hal tersebut, satu pertanyaan menggelitik yang sempat mencuat dan menjadi wacana adalah jika ada quick count, maka untuk apa agi pemanfaatan TI yang konon menghabiskan dana ratusan miliar rupiah dengan hasil kerja yang tidak memuaskan. Sementara quick count, yang tidak menjadi beban negara, hasilnya begitu menakjubkan karena hanya berselisih sedikit saja dengan hasil akhir perhitungan manual.

Ketepatan sistem quick count, sudah teruji sejak pemilu legislatif pada 5 April 2004 lalu dan pemilihan presiden putara pertama, 5 Juli lalu. Pada pemilu legislatif, quick count LP3ES hanya memiliki selisih rata-rata di bawah satu persen dari hasil resmi yang disampaikan KPU. Kemudian pada pilpres putara pertama, quick count makin mantap dengan selisih hanya sekitar 0,5 persen saja.

Mengulangi suksesnya, LP3ES-NDI juga melakukan penghitungan cepat dari hasil penghitungan suara di 1.362 TPS yang tersebar di seluruh Indonesia, atau 68% dari rencana 2.000 TPS yang digunakan sebagai sampel. TPS dipilih secara acak dan ketat untuk dapat mewakili “miniatur” Indonesia, dari Aceh sampai Papua. Hasilnya, SBY-Kala menang. Dengan margin error tambah-kurang 1,1% pada tingkat kepercayaan 95%.

Hasil hampir serupa juga terjadi pada penghitungan cepat yang diadakan IMT, Pooling Center, Fortuga, Astaga.com dan SCTV. Dari 32 propinsi yang dihitung, SBY-Kalla memperoleh 60,21% dan Mega-Hasyim mendapat 39,79%. Adapun margin error adalah 2,5%.

Hanya saja, karena berdasar teori sampling, hasil quick count bisa saja berbeda yang disebabkan salah dalam mengambil sampel dari populasi, sehingga sampel tidak bisa mewakili populasi. Ini seperti yang didapat oleh Institute for Social Empowerment and Democracy yang bekerja sama dengan TVRI, yang menunjukkan hasil berbeda dimana Mega-Hasyim menang tipis atas SBY-Kalla.

Pemanfaatan TI dalam Pemil/Pilkada jelas berbeda dengan hitung cepat. Jika digunakan, yang dilakukan adalah progressive result per TPS, bukan sampling seperti quick count. Sehingga, keluarannya bukanlah sekadar persentase, tapi dapat dilihat angka-angka perolehan suara bahkan untuk tiap TPS. Secara normatif, hasil penghitungan berbasis TI dapat dijadikan pengontrol proses perolehan suara per TPS apakah terjadi manipulasi atau tidak. Bahkan dengan hasil yang optimal, sistem ini bisa lebih valid dan reliable daripada quick count.

Hanya persoalannya, sistem penghitungan elektronik telah kehilangan kepercayaan dari masyarakat karena tidak bisa mengantarkan data yang valid, cepat dan akurat. Dalam pemilu legislatif, dengan diserangnya situs Tabulasi Nasional Pemilu (TNP) di alamat
http://tnp.kpu.go.id/ oleh cracker, sudah menandakan bagaimana pemanfaatan teknologi informasi dalam pemilu gagal. Hal itu menyusul ingkarnya janji KPU yang menjamin, ‘hanya’ dalam waktu sembilan jam setelah pemungutan suara selesai dilakukan, maka 80 persen suara pemilih Pemilu 2004 sudah dapat diketahui hasilnya.

Keraguan dengan sistem TI juga mencuat ketika pilpres putaran pertama. Sebab melihat Keputusan KPU No. 79 Tahun 2004 Tentang Penetapan Hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2004 Putaran I, yang mencatat total keseluruhan suara yang sah adalah 118.656.868, terjadi perbedaan yang cukup signifikan mencapai lebih dari 11 juta suara antara perhitungan manual dan elektronik. Posisi terakhir perolehan suara berbasis TI yang ditayangkan melalui situs
http://tnp.go.id/ adalah 107.306.368.

Apapun hasil yang diperlihatkan dalam pilpres II, yang pada hari pertama telah mencapai angka lebih dari 37 juta suara atau 130 kali dari jumlah pemilih yang dijadikan sampel quick count, nampaknya tidak mengubah citra pemanfaatan TI. Hal itu karena sistem ini sejak awal memang tidak menjalani proses audit menyeluruh dan dikelola oleh tim independen seperti diminta Majelis hakim Mahkamah Konstitusi agar tidak menimbulkan kerancuan antara hasil penghitungan suara berbasis TI dan data manual.

Karena itu, jika ada daerah yang berkeinginan memanfaatkan TI dalam penghitungan suara, termasuk memanfaatkan TI ‘warisan’ KPU, untuk memberikan kepercayaan pada masyarakat, audit sebelum sistem dipakai mutlak dilakukan. Tanpa audit, sistem tetap tidak dapat diandalkan untuk dapat membantu hajat daerah. Selain itu, TI Pilkada hendaknya tidak berada di bawah KPUD dikarenakan akan terjadi kebingungan di masyarakat, data mana yang akan dipakai sebagai acuan penghitungan yang sah.

* * *
Walaupun quick count sudah membuktikan diri bahwa apa yang disampaikan hanya berselisih sedikit dengan penghitungan manual yang dilakukan, namun sesungguhnya, pemanfaatan quick count dan juga penggunaan teknologi informasi oleh KPUD dapat menggiring opini publik yang tidak fair bagi peserta pemilu dalam proses penghitungan manual yang sedang berlangsung. Perubahan posisi perolehan suara akibat perbedaan hasil penghitungan antara quick count, berbasis TI dan manual, akan sangat kritis dalam Pilkada kali ini karena akan bersentuhan secara langsung dengan masyarakat di tingkat bawah.

Belajar dari kasus Jatim, dan Sumatera Selatan, karena itu, jika sekadar dijadikan hiburan “main tebak manggis”, siapa yang menang dan akan menjadi Gubernur, Bupati atau Walikota, melihat hasil quick count yang hanya perkiraan dan penghitungan suara berbasis TI, boleh-boleh saja. Namun begitu, hendaknya semua pihak dapat menahan diri untuk tidak mengklaim hitungannya yang paling benar. Sebab yang diakui UU sesungguhnya hanya penghitungan suara secara manual.