26 Maret 2009
Daftar Pemilih Tetap dan Ancaman Ghost Voter pada Pemilu
Adanya dugaan pemalsuan Daftar Pemilih Tetap (DPT) Kabupaten Sampang dan Bangkalan dalam Pemilihan Kepala Daerah Jawa Timur membuat Pemilu Legislatif 9 April mendatang dikhawatirkan kelangsungannya. Sebab setiap adanya indikasi kecurangan dalam proses Pemilu, seperti transparansi DPT, dapat mengurangi kualitas Pemilu, membahayakan demokrasi, bahkan keadaan bangsa ke depan.
Hal ini bisa tercermin dari beberapa tokoh yang mendesak agar Pemilu tidak dipaksakan untuk dilakukan pada 9 April mendatang.Apalagi kemudian terungkap bahwa kisruh mengenai dugaan data ganda DPT tidak hanya terjadi di Sampang dan Bangkalan. Seperti diungkap Panwas Jatim, daerah lain seperti Daerah Pemilihan Jawa Timur VII (Ponorogo, Ngawi, Pacitan, Magetan dan Trenggalek) serta Banyuwangi dan Ngantuk mengalami hal serupa. Begitu juga dengan laporan Panwas Jawa Tengah yang menyebut ada sekitar 421 pemilih ganda di lima kecamatan di Kabupaten Blora.
Sejak Pendaftaran Pemilih
Persoalan Daftar Pemilih Tetap, sebenarnya dimulai dari sejak pendaftaran pemilih. Pendaftaran pemilih merupakan tahap pertama yang menentukan hak pilih seseorang dan salah satu faktor penentu keberhasilan Pemilu. Jika seorang warga negara telah memenuhi semua persyaratan sebagai pemilih, ia memiliki hak untuk terdaftar sebagai pemilih dan memberikan suaranya pada Pemilu.
Sejak Pemilu 2004 lalu, diperkenalkan apa yang disebut dengan Pendaftaran Pemilih Pemilu dan Penduduk Berkelanjutan (P4B). Dalam pelaksanaan, ada dua prinsip yang dipegang. Pertama, tidak ada WNI yang tidak terdaftar, dan tidak ada penduduk WNI yang terdaftar dua kali atau lebih dalam basis data penduduk Indonesia. Dan kedua, tidak ada WNI yang berhak memilih tapi tidak terdaftar, dan tidak ada WNI yang berhak memilih terdaftar dua kali atau lebih dalam daftar pemilih tetap dan tambahan.
Dari semangatnya, pendaftar pemilih tersebut menawarkan validitas data yang tinggi dan efisiensi. Hanya saja, dalam perjalanannya, ditemukan bahwa proses dan hasilnya bermasalah.
Beberapa temuan yang mengemuka di antaranya adalah adanya pemilih yang telah meninggal dunia mendapatkan kartu pemilih. Bahkan ada kasus, Balita pun terdaftar jadi pemilih Pemilu. Kasus lain, banyak pemilih yang seharusnya mempunyai hak pilih, tidak terdaftar sebagai pemilih. Yang menarik, kartu pemilih warna biru yang tercetak untuk diberikan pada pemilih, tak hanya banyak yang tidak akurat dalam pencetakan nama, tanggal lahir, jenis kelamin serta alamat, tapi juga banyak yang tercetak lebih dari satu kartu untuk pemilih yang sama.
Hal tersebut memprihatinkan. Data yang kacau dan tidak akurat akan mengakibatkan agenda Pemilu lainnya memiliki potensi kecurangan dan berujung pada konflik. Fenomena yang sering mengemuka, pihak yang kalah, apalagi dengan angka tipis, akan mengangkat isu banyaknya pemilih yang pro dengan partai atau calon tertentu tersebut tidak terdaftar, ada penggelembungan suara maupun ghost voter sebagai biang kekalahan. Muaranya, Pemilu ataupun Pilkada didesak untuk diulang karena sarat dengan kecurangan.
SIN
Realitas tersebut, seharusnya menjadi catatan penting bagaimana mendaftar pemilih untuk Pemilu 2009. Apalagi, mengingat masalah data pemilih dan kependudukan mempunyai kaitan yang erat, Sesungguhnya, di akhir tahun lalu, data penduduk dan pemilih perlu segera dimutakhirkan dan bersifat tidak setengah-setengah.
Bahkan, data yang didapatkan nantinya bukan semata untuk Pemilu saja—menentukan siapa yang sudah mempunyai hak pilih, tapi merupakan data yang dapat digunakan untuk kepentingan lebih besar, yaitu Single Identity Number (SIN) atau identitas tunggal nasional. Namun, itu tidak menjadi perhatian pengambil kebijakan negeri ini.
Memang, dalam implementasinya proses survei akan membutuhkan kerja ekstra karena harus secara komprehensif mendapatkan data ‘tambahan’ di luar data pribadi biasa tiap warga negara seperti foto, golongan darah ataupun sidik jari. Selain data ‘tambahan’ yang unik, data-data biasa semisal nama, tanggal lahir, alamat maupun jenis kelamin, harus didapat secara akurat.
Walau untuk menuju SIN ada beberapa tahapan lagi yang harus ditempuh, tapi paling tidak data awal tersebut merupakan embrio SIN yang dapat digunakan untuk pemutakhiran dan mengakuratkan identitas pribadi seperti KTP dan lainnya, yang sama untuk individu yang sama. Ini merupakan pemecah kebuntuan untuk memulai SIN. Sebab diskursus mengenai SIN masih berputar-putar mengenai bagaimana konsep penomoran SIN, dimana saat ini masing-masing instansi memiliki sistem penomoran dan data yang berbeda, sementara esensi mendapatkan data individu warga negaranya sendiri terlupakan.
Dan proses ini tetap harus dilakukan bagaimanapun konsep penomoran SIN nantinya.Dengan data yang sama untuk individu yang sama dan kemudian juga terintegrasi, sulit bagi seorang WNI untuk mempunyai misalnya KTP atau Paspor ganda. Kasus-kasus mutakhir seperti pelarian burunon kakap ke LN meski sudah dicekal, penipuan melalui SMS ataupun teror melalui telepon seluler yang sulit dilacak meski kebijakan registrasi bagi kartu prabayar diterapkan, tidak akan terjadi jika tiap indvidu mempunyai hanya satu kartu identitas dengan data yang akurat.
Dalam urusan Pemilu, ditahap pertama setidaknya data mengenai jumlah penduduk dan pemilih dari tingkatan nasional hingga desa/kelurahan didapat secara presisi. Sehingga, kasus adanya dugaan pemilih fiktif semisal di Sulawesi Utara dimana Komite Edukasi Pemilih Pintar (KEPP) Sulawesi Utara menduga ada 200 ribu ghost voter di sana, tidak terjadi lagi. Pada tahap selanjutnya, kartu yang datanya salah cetak ataupun tercetak lebih dari satu kali dapat dihindari.
Begitu juga tak ada Balita ataupun orang yang sudah meninggal lama tapi tetap dapat kartu untuk memilih. Dengan kemajuan seperti itu, setidaknya sasaran tembak untuk menggagalkan hasil Pemilu, termasuk Pilkada, yang diakibatkan validitas data penduduk dan pemilih dapat dihindari. Dan itu dapat dilakukan dengan segera memutakhirkan data penduduk dan pemilih secara akurat dan komprehensif.
*Heru Sutadi. Email: herusutadi@hotmail.com
Hal ini bisa tercermin dari beberapa tokoh yang mendesak agar Pemilu tidak dipaksakan untuk dilakukan pada 9 April mendatang.Apalagi kemudian terungkap bahwa kisruh mengenai dugaan data ganda DPT tidak hanya terjadi di Sampang dan Bangkalan. Seperti diungkap Panwas Jatim, daerah lain seperti Daerah Pemilihan Jawa Timur VII (Ponorogo, Ngawi, Pacitan, Magetan dan Trenggalek) serta Banyuwangi dan Ngantuk mengalami hal serupa. Begitu juga dengan laporan Panwas Jawa Tengah yang menyebut ada sekitar 421 pemilih ganda di lima kecamatan di Kabupaten Blora.
Sejak Pendaftaran Pemilih
Persoalan Daftar Pemilih Tetap, sebenarnya dimulai dari sejak pendaftaran pemilih. Pendaftaran pemilih merupakan tahap pertama yang menentukan hak pilih seseorang dan salah satu faktor penentu keberhasilan Pemilu. Jika seorang warga negara telah memenuhi semua persyaratan sebagai pemilih, ia memiliki hak untuk terdaftar sebagai pemilih dan memberikan suaranya pada Pemilu.
Sejak Pemilu 2004 lalu, diperkenalkan apa yang disebut dengan Pendaftaran Pemilih Pemilu dan Penduduk Berkelanjutan (P4B). Dalam pelaksanaan, ada dua prinsip yang dipegang. Pertama, tidak ada WNI yang tidak terdaftar, dan tidak ada penduduk WNI yang terdaftar dua kali atau lebih dalam basis data penduduk Indonesia. Dan kedua, tidak ada WNI yang berhak memilih tapi tidak terdaftar, dan tidak ada WNI yang berhak memilih terdaftar dua kali atau lebih dalam daftar pemilih tetap dan tambahan.
Dari semangatnya, pendaftar pemilih tersebut menawarkan validitas data yang tinggi dan efisiensi. Hanya saja, dalam perjalanannya, ditemukan bahwa proses dan hasilnya bermasalah.
Beberapa temuan yang mengemuka di antaranya adalah adanya pemilih yang telah meninggal dunia mendapatkan kartu pemilih. Bahkan ada kasus, Balita pun terdaftar jadi pemilih Pemilu. Kasus lain, banyak pemilih yang seharusnya mempunyai hak pilih, tidak terdaftar sebagai pemilih. Yang menarik, kartu pemilih warna biru yang tercetak untuk diberikan pada pemilih, tak hanya banyak yang tidak akurat dalam pencetakan nama, tanggal lahir, jenis kelamin serta alamat, tapi juga banyak yang tercetak lebih dari satu kartu untuk pemilih yang sama.
Hal tersebut memprihatinkan. Data yang kacau dan tidak akurat akan mengakibatkan agenda Pemilu lainnya memiliki potensi kecurangan dan berujung pada konflik. Fenomena yang sering mengemuka, pihak yang kalah, apalagi dengan angka tipis, akan mengangkat isu banyaknya pemilih yang pro dengan partai atau calon tertentu tersebut tidak terdaftar, ada penggelembungan suara maupun ghost voter sebagai biang kekalahan. Muaranya, Pemilu ataupun Pilkada didesak untuk diulang karena sarat dengan kecurangan.
SIN
Realitas tersebut, seharusnya menjadi catatan penting bagaimana mendaftar pemilih untuk Pemilu 2009. Apalagi, mengingat masalah data pemilih dan kependudukan mempunyai kaitan yang erat, Sesungguhnya, di akhir tahun lalu, data penduduk dan pemilih perlu segera dimutakhirkan dan bersifat tidak setengah-setengah.
Bahkan, data yang didapatkan nantinya bukan semata untuk Pemilu saja—menentukan siapa yang sudah mempunyai hak pilih, tapi merupakan data yang dapat digunakan untuk kepentingan lebih besar, yaitu Single Identity Number (SIN) atau identitas tunggal nasional. Namun, itu tidak menjadi perhatian pengambil kebijakan negeri ini.
Memang, dalam implementasinya proses survei akan membutuhkan kerja ekstra karena harus secara komprehensif mendapatkan data ‘tambahan’ di luar data pribadi biasa tiap warga negara seperti foto, golongan darah ataupun sidik jari. Selain data ‘tambahan’ yang unik, data-data biasa semisal nama, tanggal lahir, alamat maupun jenis kelamin, harus didapat secara akurat.
Walau untuk menuju SIN ada beberapa tahapan lagi yang harus ditempuh, tapi paling tidak data awal tersebut merupakan embrio SIN yang dapat digunakan untuk pemutakhiran dan mengakuratkan identitas pribadi seperti KTP dan lainnya, yang sama untuk individu yang sama. Ini merupakan pemecah kebuntuan untuk memulai SIN. Sebab diskursus mengenai SIN masih berputar-putar mengenai bagaimana konsep penomoran SIN, dimana saat ini masing-masing instansi memiliki sistem penomoran dan data yang berbeda, sementara esensi mendapatkan data individu warga negaranya sendiri terlupakan.
Dan proses ini tetap harus dilakukan bagaimanapun konsep penomoran SIN nantinya.Dengan data yang sama untuk individu yang sama dan kemudian juga terintegrasi, sulit bagi seorang WNI untuk mempunyai misalnya KTP atau Paspor ganda. Kasus-kasus mutakhir seperti pelarian burunon kakap ke LN meski sudah dicekal, penipuan melalui SMS ataupun teror melalui telepon seluler yang sulit dilacak meski kebijakan registrasi bagi kartu prabayar diterapkan, tidak akan terjadi jika tiap indvidu mempunyai hanya satu kartu identitas dengan data yang akurat.
Dalam urusan Pemilu, ditahap pertama setidaknya data mengenai jumlah penduduk dan pemilih dari tingkatan nasional hingga desa/kelurahan didapat secara presisi. Sehingga, kasus adanya dugaan pemilih fiktif semisal di Sulawesi Utara dimana Komite Edukasi Pemilih Pintar (KEPP) Sulawesi Utara menduga ada 200 ribu ghost voter di sana, tidak terjadi lagi. Pada tahap selanjutnya, kartu yang datanya salah cetak ataupun tercetak lebih dari satu kali dapat dihindari.
Begitu juga tak ada Balita ataupun orang yang sudah meninggal lama tapi tetap dapat kartu untuk memilih. Dengan kemajuan seperti itu, setidaknya sasaran tembak untuk menggagalkan hasil Pemilu, termasuk Pilkada, yang diakibatkan validitas data penduduk dan pemilih dapat dihindari. Dan itu dapat dilakukan dengan segera memutakhirkan data penduduk dan pemilih secara akurat dan komprehensif.
*Heru Sutadi. Email: herusutadi@hotmail.com
21 Maret 2009
Profil di Majalah Clear After Hours
Ngoprek-ngoprek Google, ternyata ada file lama berupa wawancara dengan Majalah "Clear After Hours" dan dibuatkan jadi profil. Berikut isinya (terima kasih Clear After Hours, dan Google tentunya):
Sebenarnya apa definisi telematika?
Pakar Telematika Terkemuka Indonesia
Pria satu ini erat kaitannya dengan perkembangan, kebijakan, dan kejahatan dalam dunia teknologi informasi dan telematika. Heru Sutadi bekerja sebagai konsultan teknologi informasi di Indonesia dan beberapa negara seperti Arab Saudi, Amerika Serikat, Taiwan, Singapura, Malaysia, Hong Kong, Korea Selatan, dan Jerman. Simak petikan tanya jawab Syahida Taher dengannya mengenai telematika dan e-lifestyle.
Sebenarnya apa definisi telematika?
- Terminologi sistem yang digunakan pada roda kendaraan atau juga diaplikasi pada teknologi Global Positioning System (GPS) yang terintegrasi dengan komputer dan teknologi komunikasi bergerak atau dapat pula disamakan dengan ICT (Information Communication Technology), yaitu telekomunikasi, media, dan informatika berkonvergen.
- Bagaimana perkembangan teknologi internet di Indonesia dikaitkan dengan e-lifestyle?
- Teknologi internet Indonesia cukup berkembang namun tidak semulus yang diharapkan. Penetrasi pengguna internet belum sampai 10% dari populasi penduduk. Belum lagi masalah densitas yang tidak merata hingga ke sudut desa. Target desa PINTER (Punya Internet), baru akan selesai tahun 2025. Hanya saja kecenderungan penggunaan memang meningkat dan yang lebih menarik Indonesia ternyata kampium di bidang kejahatan Internet. Indonesia sempat berada di posisi puncak dan masih berada di 10 besar dunia.
- Apakah masyarakat Indonesia sudah aware terhadap teknologi internet sebagai life style?
- Sebagian memang sudah aware terhadap teknologi internet, bahkan menjadikannya sebagai lifestyle untuk mempermudah aktivitas. Namun banyak juga yang bahkan belum pernah melihat dan mengoperasikan komputer.
- Apa tanggapan Anda terhadap manipulasi foto dan rekayasa teknologi yang menimpa kalangan artis?
- Foto itu kadang-kadang benar foto artis yang bersangkutan. Misalnya Syaharani dan Mayang Sari. Namun, banyak pula foto yang tadinya biasa saja dengan rekayasa teknologi menjadi seperti asli. Sesungguhnya, untuk menentukan foto tersebut asli atau palsu tidaklah begitu sulit. Jika foto-foto yang tersebar cukup banyak maka foto tersebut asli, sebab sulit membuat banyak foto palsu dengan konsistensi.
- Sudah banyakkah pakar telematika di Indonesia?
- Angka pastinya saya tidak tahu. Namun pakar telematika itu bukan hanya mengerti internet saja, namun juga mengusai teknologi, regulasi dalam bidang telekomunikasi, dan juga media. Nah, pakar telematika Indonesia banyak yang bekerja di luar negeri.
- Kapan kira-kira kita bisa efektif menggunakan internet untuk melakukan semua transaksi?
- Cukup efektif menggunakan internet untuk transaksi seperti perbankan. Hanya yang ditakutkan bukanlah hacker tapi carding, penjahat kartu kredit. Itu menjadi tantangan bagi yang menawarkan belanja lewat internet atau online banking untuk memperhatikan sistem keamanan sebelum layanan tersebut dibuka ke publik. Kepastian hukum mengenai transaksi elektronik menjadi paling penting. Untuk itu, UU yang mengatur informasi dan transaksi elektronik mutlak diperlukan.
- Apakah Anda sependapat dengan pakar telematika lain? Bisakah kita percaya kepada satu sumber saja?
- Untuk beberapa kasus saya sepakat dengan pendapat pakar lain, namun terkadang berbeda juga. Perbedaan itu jangan dianggap sebagai bibit permusuhan tapi anugerah yang menjadikan dunia telematika Indonesia lebih dinamis. Di dunia telematika kita tidak bisa merasa "jago" sebab teknologi berkembang cepat. Ada baiknya memang kita tidak mendengarkan atau mempercayai satu sumber saja karena mungkin sangat subyektif. Untuk itu, kita perlu menyaring dan mencari pendapat lain, sehingga informasi yang subyektif bisa menjadi lebih obyektif.
- Anda sering bepergian ke luar negeri karena pekerjaan. Negara mana yang jadi favorit?
- Saya pernah bekerja di sekitar 13 negara. Saya suka Arab Saudi karena kehidupan beragama yang lebih fokus termasuk menunaikan ibadah haji. Saya juga telah menganggap Jerman negara kedua saya karena di sana saya mendapat penghasilan cukup lumayan untuk membeli rumah dan kendaraan di Indonesia.
- Apa feedback pekerjaan terhadap lifestyle Anda?
- Saya sangat bergantung terhadap notebook berikut akses internet. No life without internet connection. Walaupun hanya untuk membuka email dan membaca berita-berita terkini dari media online. Selain internet, yang tak bisa ditinggalkan adalah HP. Hanya saja, jika dibawa ke luar negeri otomatis tagihan akan membengkak. Makanya terkadang, saya membeli kartu prepaid setempat agar lebih ekonomis.
16 Maret 2009
‘Masyarakat Informasi’ dan Menghilangnya Public Sphere
Tesis lanjutan Philip Elliot berdasar apa yang dilihat dan dihadapinya adalah kelanjutan perubahan cara yang melibatkan orang-orang dalam masyarakat sebagai warga politik dari negara bangsa terhadap unit konsumsi dalam korporasi dunia. Konsekuensi logis hal ini adalah berlanjutnya erosi, seperti yang dikatakan Jurgen Habermas sebagai public sphere atau oleh C. Wright Mills dengan istilah komunitas publik.
Habermas melihat kedua tipe penyampaian politik berdasar pengetahuan, informasi dan asosiasi dalam demokrasi negara bangsa sebagai tipe borjuasi kapitalis. Masyarakat massa mengembangkan tingkat penerimaan kenyamanan, kesenangan dan kontrol dimana orang-orang berpartisipasi menjadi anggota pasar. Karena menyandarkan diri pada pasar, Nora dan Minc (1978) berpendapat, pasar bukanlah tempat untuk berpartisipasi melainkan konsumsi.
Daniel Bell (1976,1980) dan lainnya, yang memandang adanya ledakan informasi dan komunikasi akan menciptakan masyarakat dengan bentuk yang yang lebih rasional, berpendapat bahwa adalah terlalu simplifikatif jika teknologi baru serta-merta akan menaikan akses informasi secara umum dan membuka kemungkinan baru komunikasi dua arah. Ada dua alasan yang dikemukannya, yaitu persoalan akses dan pengertian tentang informasi dan komunikasi itu sendiri.
Masalah akses menurutnya tidaklah semata persoalan alat yang bersifat fisik. Hal ini juga melibatkan hak dan sumber untuk menggunakannya. Dianalogikan di sini bagaimana suatu perpustakaan sebagai toko ilmu pengetahuan dapat mengajak pengunjungnya untuk menjelajahi berbagai ilmu pengetahuan yang ada pada toko tersebut. Betapapun minimnya idealisme yang direalisasikan dalam praktek, sistem perpustakaan telah terinspirasi oleh tujuan masyarakat informasi .
Kelemahan antara analogi yang lama dan yang baru bagaimanapun akan tampak
setelah mempertimbangkan tujuan-tujuan pengontrol-pengontrol baru dari informasi. Herbert Schiller (1981) menerangkan adanya privatisasi dalam sistem informasi. Perusahaan komersial merupakan pembuat-pembuat informasi baru yang memiliki kepentingan utama dalam menjaga kerahasiaan informasi untuk melindungi rahasia-rahasia komersial mereka. Kepentingan kedua ialah menciptakan suatu komoditas untuk dijual di pasar.
Ada beberapa masalah lain dalam analogi perpustakaan. Meskipun perpustakaan memiliki katalog-katalog yang didesain untuk mempermudah dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan serta pertanyaan lainnya yang lebih sulit untuk dihindari. Siapa yang akan menulis katalog? Siapa yang akan menetapkan pertanyaan-pertanyaan dan tingkat kemungkinan jawaban? Lebih jauh, siapa yang akan mengakumulasi kapasitas ilmu pengetahuan? Inilah karakter utopia teknologi yang akhirnya hanya akan mendomestivikasi fungsi kehidupan dan privatisasi kehidupan sosial.
Privatisasi dalam pengertian ini merupakan satu kunci dari semua proses yang diasosiasikan dengan analisa Frankfurt school mengenai media dan pengaruhnya pada hubungan sosial, bukan melalui pesan-pesan yang mereka bawa tetapi melalui tipe interaksi yang anjurkan. Argumen kuat Frankfurt School adalah kemungkinan adanya manipulasi, suatu argumen yang tidak sepenuhnya ditanya dalam ‘efek’ penelitian. Kelemahan dari argumen ini adalah bahwa privatisasi akan menghilangkan kemungkinan masyarakat untuk menjawab ulang karena hal itu menghilangkan kesempatan mereka untuk berasosiasi dimana kebutuhan umum diakui dan tuntutan diformulasikan.
Masalah kedua dari visi Bell, masyarakat yang kaya informasi adalah apa yang kita ambil saat ini sebagai suatu informasi dan sebagai suatu proses komunikasi informatif yang didasarkan pada model rasional tentang segala hal, tetapi memiliki nilai simbol yang tinggi, isi myth dan pasif serta nilai hiburan. Hal penting pada konsep informasi adalah kekenyalan dari masyarakat ideal secara rasional, pemerintahan yang demokratis dan kesuksesan kaum intektual dalam promosi kesetaraan informasi ditambah dengan pilihan rasional menyamakan kemajuan sosial.
Soal kesetaraan informasi ditolak oleh intelektual-intelektual konservatif. Hukum Hayek, misalnya, mengklaim bahwa usaha pembentukan ulang legislatif selalu mempunyai pengaruh yang berlawanan dari tujuan yang dimaksud. Argumen tersebut berlawanan dengan pendapat Gouldner (1979) dengan adanya “Klas Baru”. Menurutnya, klas baru ini merupakan mesin pemerintah sebagai penyedia dan pemroses informasi bagaimana seharusnya pemerintah bertindak. Ini yang menyebabkan para intelektual dalam dunia penelitian dan lembaga pendidikan berada dalam tekanan yang kian meningkat.
Konsep mengenai informasi Fabianesque adalah melihat informasi sebagai suatu sumber kebutuhan sosial yang dapat dilihat dalam perbicangan mengenai media massa. Pertumbuhan pers didasarkan pada dua proses, ketentuan dari fungsi informasi, terutama secara komersial dan secara finansial, kemudian kontroversi politis. Lebih jauh, kedua fungsi tersebut telah ditransformasikan.
Fungsi komersial telah meluas dan dengan transformasi berita ke dalam suatu komoditas, fungsi politik memudar. Namun begitu, perdebatan mengenai pers masih berlanjut pada istilah mengenai pers bebas yang mampu memberi informasi dan mencerminkan kepentingan opini untuk mempercepat pengambilan keputusan dalam demokrasi.
KOMENTAR
Hal utama yang disorot dalam bab ini adalah peran para intelektual dan masyarakat informasi dalam menghilangnya public sphere. Sehingga yang perlu dikritisi dari paparan Elliott, benarkah intelektual dan masyarakat informasi berperan dalam erosi public sphere?
Jika dilihat apa yang menjadi argumen Elliott cukup rasional. Bahwa perubahan keterlibatan orang-orang dalam masyarakat sebagai warga politik dari negara membawa mereka ke dalam unik konsumsi korporasi dunia, bukan partisipasi. Kemudian juga adanya dua persoalan yang dihadapi mengenai peran teknologi baru, yaitu akses dan pengertian informasi dan komunikasi itu sendiri.
Soal akses, memang benar bahwa persoalannya bukan sekadar persoalan fisik saja namun juga hak dan sumber untuk menggunakannya. Seperti dengan hadirnya perkembangan teknologi informasi yang baru, internet. Persoalan akses memang bukan sekadar urusan koneksi fisik saja, namun juga bagaimana menggunakan teknologi tersebut dan hak untuk mengkoneksinya.
Mengenai pengertian informasi dan komunikasi, apa yang disampaikan Elliott cukup membuka wawasan baru tentang istilah yang jika ditarik ke dalam negeri, telah terjadi kesalahpengertian mengenai pengertian informasi dan komunikasi. Seperti dengan digembar-gemborkannya mengenai masyarakat informasi, yang sesungguhnya menurut Bell, informasi terkait dengan masyarakat ideal secara rasional, pemerintahan yang demokratis dan kesuksesan kaum intelektual dalam promosi kesetaraan informasi ditambah dengan pilihan rasional menyamakan kemajuan sosial.
Antitesis dari tesis Elliott dapat dilihat dari tulisan Mark Poster (1999) lewat “Cyberdemocracy: Internet and The Public Sphere”. Poster dalam uraiannya, yang berkebalikan dengan yang dikatakan Elliott soal teknologi dan erosi public sphere, justru melihat bahwa teknologi baru ini membuka wacana tentang konsep public sphere modern. Terutama mengenai pertemuan tatap muka (face-to-face) dan istilah-istilah baru seperti virtual communities ataupun electronic cafe. Ada nada optimis bahwa public sphere di internet memungkinkan orang berdiskusi secara bebas serta hadirnya media-media independen yang tidak mengikuti arus komersialisasi pasar.
Bahkan teknologi internet sendiri sejalan dengan kritikan John B. Thomson (1983) terhadap pandangan Habermas mengenai public sphere yang dinilainya sebagai public sphere borjuis dan laki-laki, model public sphere borjuis merupakan idealisasi sejarah yang tidak sesuai gerakan sosial non borjuis dan mengenai penurunan public sphere dari Structural Tranformation.
Sedang mengenai peran intelektual dalam erosi publick sphere, karena masalah kesetaraan informasi masih menjadi perdebatan kalangan intelektual sendiri, maka begitu sulit untuk membebankan tanggung jawab kesetaraan informasi itu di kalangan intelektual sendiri. Tapi jika alangkah baiknya jika memang intelektual dapat menjalankan fungsi tersebut.
Bahan Bacaan Lain:
Habermas, J. (1989). “Institution of Public Sphere”. In Boyd-Barret, Oliver and Newbold, Chris. Eds. (1995), Approach to Media: A Reader, New York:Arnold.
Poster, Mark. (1999). “Cyberdemocracy: Internet and The Public Sphere”. University of California, Irvine.
Elliot, Philip(1971). Intellectuals, The ‘Information Society’ and The Disappearance of The Public Sphere dari Media, Culture and Society, Schlesinger, P. dan Sparks, C. (ed.) Academic Press, London, Vol.4, No.3, pp.244-6.
Habermas melihat kedua tipe penyampaian politik berdasar pengetahuan, informasi dan asosiasi dalam demokrasi negara bangsa sebagai tipe borjuasi kapitalis. Masyarakat massa mengembangkan tingkat penerimaan kenyamanan, kesenangan dan kontrol dimana orang-orang berpartisipasi menjadi anggota pasar. Karena menyandarkan diri pada pasar, Nora dan Minc (1978) berpendapat, pasar bukanlah tempat untuk berpartisipasi melainkan konsumsi.
Daniel Bell (1976,1980) dan lainnya, yang memandang adanya ledakan informasi dan komunikasi akan menciptakan masyarakat dengan bentuk yang yang lebih rasional, berpendapat bahwa adalah terlalu simplifikatif jika teknologi baru serta-merta akan menaikan akses informasi secara umum dan membuka kemungkinan baru komunikasi dua arah. Ada dua alasan yang dikemukannya, yaitu persoalan akses dan pengertian tentang informasi dan komunikasi itu sendiri.
Masalah akses menurutnya tidaklah semata persoalan alat yang bersifat fisik. Hal ini juga melibatkan hak dan sumber untuk menggunakannya. Dianalogikan di sini bagaimana suatu perpustakaan sebagai toko ilmu pengetahuan dapat mengajak pengunjungnya untuk menjelajahi berbagai ilmu pengetahuan yang ada pada toko tersebut. Betapapun minimnya idealisme yang direalisasikan dalam praktek, sistem perpustakaan telah terinspirasi oleh tujuan masyarakat informasi .
Kelemahan antara analogi yang lama dan yang baru bagaimanapun akan tampak
setelah mempertimbangkan tujuan-tujuan pengontrol-pengontrol baru dari informasi. Herbert Schiller (1981) menerangkan adanya privatisasi dalam sistem informasi. Perusahaan komersial merupakan pembuat-pembuat informasi baru yang memiliki kepentingan utama dalam menjaga kerahasiaan informasi untuk melindungi rahasia-rahasia komersial mereka. Kepentingan kedua ialah menciptakan suatu komoditas untuk dijual di pasar.
Ada beberapa masalah lain dalam analogi perpustakaan. Meskipun perpustakaan memiliki katalog-katalog yang didesain untuk mempermudah dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan serta pertanyaan lainnya yang lebih sulit untuk dihindari. Siapa yang akan menulis katalog? Siapa yang akan menetapkan pertanyaan-pertanyaan dan tingkat kemungkinan jawaban? Lebih jauh, siapa yang akan mengakumulasi kapasitas ilmu pengetahuan? Inilah karakter utopia teknologi yang akhirnya hanya akan mendomestivikasi fungsi kehidupan dan privatisasi kehidupan sosial.
Privatisasi dalam pengertian ini merupakan satu kunci dari semua proses yang diasosiasikan dengan analisa Frankfurt school mengenai media dan pengaruhnya pada hubungan sosial, bukan melalui pesan-pesan yang mereka bawa tetapi melalui tipe interaksi yang anjurkan. Argumen kuat Frankfurt School adalah kemungkinan adanya manipulasi, suatu argumen yang tidak sepenuhnya ditanya dalam ‘efek’ penelitian. Kelemahan dari argumen ini adalah bahwa privatisasi akan menghilangkan kemungkinan masyarakat untuk menjawab ulang karena hal itu menghilangkan kesempatan mereka untuk berasosiasi dimana kebutuhan umum diakui dan tuntutan diformulasikan.
Masalah kedua dari visi Bell, masyarakat yang kaya informasi adalah apa yang kita ambil saat ini sebagai suatu informasi dan sebagai suatu proses komunikasi informatif yang didasarkan pada model rasional tentang segala hal, tetapi memiliki nilai simbol yang tinggi, isi myth dan pasif serta nilai hiburan. Hal penting pada konsep informasi adalah kekenyalan dari masyarakat ideal secara rasional, pemerintahan yang demokratis dan kesuksesan kaum intektual dalam promosi kesetaraan informasi ditambah dengan pilihan rasional menyamakan kemajuan sosial.
Soal kesetaraan informasi ditolak oleh intelektual-intelektual konservatif. Hukum Hayek, misalnya, mengklaim bahwa usaha pembentukan ulang legislatif selalu mempunyai pengaruh yang berlawanan dari tujuan yang dimaksud. Argumen tersebut berlawanan dengan pendapat Gouldner (1979) dengan adanya “Klas Baru”. Menurutnya, klas baru ini merupakan mesin pemerintah sebagai penyedia dan pemroses informasi bagaimana seharusnya pemerintah bertindak. Ini yang menyebabkan para intelektual dalam dunia penelitian dan lembaga pendidikan berada dalam tekanan yang kian meningkat.
Konsep mengenai informasi Fabianesque adalah melihat informasi sebagai suatu sumber kebutuhan sosial yang dapat dilihat dalam perbicangan mengenai media massa. Pertumbuhan pers didasarkan pada dua proses, ketentuan dari fungsi informasi, terutama secara komersial dan secara finansial, kemudian kontroversi politis. Lebih jauh, kedua fungsi tersebut telah ditransformasikan.
Fungsi komersial telah meluas dan dengan transformasi berita ke dalam suatu komoditas, fungsi politik memudar. Namun begitu, perdebatan mengenai pers masih berlanjut pada istilah mengenai pers bebas yang mampu memberi informasi dan mencerminkan kepentingan opini untuk mempercepat pengambilan keputusan dalam demokrasi.
KOMENTAR
Hal utama yang disorot dalam bab ini adalah peran para intelektual dan masyarakat informasi dalam menghilangnya public sphere. Sehingga yang perlu dikritisi dari paparan Elliott, benarkah intelektual dan masyarakat informasi berperan dalam erosi public sphere?
Jika dilihat apa yang menjadi argumen Elliott cukup rasional. Bahwa perubahan keterlibatan orang-orang dalam masyarakat sebagai warga politik dari negara membawa mereka ke dalam unik konsumsi korporasi dunia, bukan partisipasi. Kemudian juga adanya dua persoalan yang dihadapi mengenai peran teknologi baru, yaitu akses dan pengertian informasi dan komunikasi itu sendiri.
Soal akses, memang benar bahwa persoalannya bukan sekadar persoalan fisik saja namun juga hak dan sumber untuk menggunakannya. Seperti dengan hadirnya perkembangan teknologi informasi yang baru, internet. Persoalan akses memang bukan sekadar urusan koneksi fisik saja, namun juga bagaimana menggunakan teknologi tersebut dan hak untuk mengkoneksinya.
Mengenai pengertian informasi dan komunikasi, apa yang disampaikan Elliott cukup membuka wawasan baru tentang istilah yang jika ditarik ke dalam negeri, telah terjadi kesalahpengertian mengenai pengertian informasi dan komunikasi. Seperti dengan digembar-gemborkannya mengenai masyarakat informasi, yang sesungguhnya menurut Bell, informasi terkait dengan masyarakat ideal secara rasional, pemerintahan yang demokratis dan kesuksesan kaum intelektual dalam promosi kesetaraan informasi ditambah dengan pilihan rasional menyamakan kemajuan sosial.
Antitesis dari tesis Elliott dapat dilihat dari tulisan Mark Poster (1999) lewat “Cyberdemocracy: Internet and The Public Sphere”. Poster dalam uraiannya, yang berkebalikan dengan yang dikatakan Elliott soal teknologi dan erosi public sphere, justru melihat bahwa teknologi baru ini membuka wacana tentang konsep public sphere modern. Terutama mengenai pertemuan tatap muka (face-to-face) dan istilah-istilah baru seperti virtual communities ataupun electronic cafe. Ada nada optimis bahwa public sphere di internet memungkinkan orang berdiskusi secara bebas serta hadirnya media-media independen yang tidak mengikuti arus komersialisasi pasar.
Bahkan teknologi internet sendiri sejalan dengan kritikan John B. Thomson (1983) terhadap pandangan Habermas mengenai public sphere yang dinilainya sebagai public sphere borjuis dan laki-laki, model public sphere borjuis merupakan idealisasi sejarah yang tidak sesuai gerakan sosial non borjuis dan mengenai penurunan public sphere dari Structural Tranformation.
Sedang mengenai peran intelektual dalam erosi publick sphere, karena masalah kesetaraan informasi masih menjadi perdebatan kalangan intelektual sendiri, maka begitu sulit untuk membebankan tanggung jawab kesetaraan informasi itu di kalangan intelektual sendiri. Tapi jika alangkah baiknya jika memang intelektual dapat menjalankan fungsi tersebut.
Bahan Bacaan Lain:
Habermas, J. (1989). “Institution of Public Sphere”. In Boyd-Barret, Oliver and Newbold, Chris. Eds. (1995), Approach to Media: A Reader, New York:Arnold.
Poster, Mark. (1999). “Cyberdemocracy: Internet and The Public Sphere”. University of California, Irvine.
Elliot, Philip(1971). Intellectuals, The ‘Information Society’ and The Disappearance of The Public Sphere dari Media, Culture and Society, Schlesinger, P. dan Sparks, C. (ed.) Academic Press, London, Vol.4, No.3, pp.244-6.
11 Maret 2009
Representasi Terorisme dalam Media
Representasi menunjuk pada bagaimana seseorang, satu kelompok, gagasan, atau pendapat tertentu ditampilkan dalam media massa. Menurut Eriyanto, representasi penting dalam dua hal. Pertama apakah seseorang, satu kelompok, atau gagasan tersebut ditampilkan sebagaimana mestinya. Kedua bagaimana representasi itu ditampilkan, dengan kata, kalimat, aksentuasi, dan bantuan visualisasi apa dan bagaimana seseorang, kelompok, atau gagasan tersebut ditampilkan dalam media massa kepada khalayak (Eriyanto, 2001 ; 113).
Hal yang paling utama dalam representasi adalah bagaimana realitas atau obyek tersebut ditampilkan. Menurut John Fiske, saat menampilkan obyek, peristiwa, gagasan, kelompok, atau seseorang paling tidak ada tiga proses yang dihadapi oleh para pembuat teks media. Pada level pertama, adalah peristiwa yang ditandakan (encode) sebagai realitas, bagaimana peristiwa itu dikonstruksikan sebagai realitas oleh media.
Dalam bahasa tulisan, umumnya berhubungan dengan judul-judul besar yang dipakai oleh media tersebut sebagai judul berita tentang suatu peristiwa tertentu. Pada level kedua, ketika kita memandang sesuatu sebagai realitas, bagaimana realitas tersebut digambarkan dalam bahasa tulis, kata-kata, kalimat, dan sebagainya.
Dan level ketiga , adalah bagaimana peristiwa tersebut diorganisir kedalam konvensi-konvensi yang diterima secara ideologis. Bagaimana kode-kode representasi dihubungkan dan diorganisasikan kedalam koherensi sosial, atau kepercayaan dominan yang ada dalam masyarakat, hal ini dalam media massa bisa dicapai dengan pemilihan nara sumber yang mendukung pernyataan-pernyataan media tersebut (dalam Thesis, 2002 ; 45).
Banyak definisi yang dikemukakan mengenai terorisme. Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengkaitkan antara terorisme dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Dalam resolusinya No 50/186, PBB menegaskan bahwa yang dimaksud dengan terorisme adalah “…creates an environment that destroys the freedom from fear of the people”.
Sementara itu, definisi terorisme yang dikemukakan dalam “The Mind of A Terrorist Fundamentalist: The Psychology of Terror Cults” (Morgan, 2001) disebutkan bahwa terorisme adalah:
“…the systematic use of terror or unpredictable violence against government, publics or individual to attain a political objective. Terrorism has been used by political organization with both rightist and leftist objectives, by nationalistic and ethnic groups, by revolutionaries, by environmentalist, and by the armies and secret police of governments themselevs.”
Dalam perangnya melawan terorisme, menyusul Tragedi 11 September 2001, pemerintah Amerika Serikat mendefinisikan terorisme sebagai aktivitas yang: “(a) involves a violent or an act dangerous to human life, property or infrastructure and (b) apperars to be intended : to indimidate or corce a civilian population, to influence the policy of a government by intimidation or coercion or to affect the mass destruction, assasination, kidnapping or hostage-taking” (Bush, 2001).
Jika diperhatikan satu per satu, nampak ada kesamaan dari beberapa definisi tersebut. Dimana terorisme merupakan aktivitas yang melanggar HAM, dapat dilakukan siapa saja dan organisasi mana saja baik dengan tujuan politis, pengerusakan peralatan maupun infrastruktur dengan teror yang sistematis serta penggunaan kekerasan.
Jadi terorisme merupakan penggunaan teror yang sistematis atau kekerasan yang tidak diprediksikan melawan pemerintah, publik maupun individu dengan tujuan politis. Terorisme digunakan tidak saja oleh organisasi politik yang berhaluan kiri maupun kanan, nasionalis dan kelompok etnis namun juga oleh tentara dan intelijen dalam pemerintahan itu sendiri.
Terorisme adalah kejahatan yang tidak dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa. Secara akademis, terorisme dikategorikan sebagai “kejahatan luar biasa” (extra ordinary crime) dan dikategorikan pula sebagai “kejahatan terhadap kemanusiaan” (crime against humanity). Digolongkan demikian karena tindak pidana terorisme selau menggunakan ancaman atau tindak kekerasan yang mengancam keselamatan jiwa tanpa memilih-milih siapa yang akan jadi korbannya.
Tidak hanya terbatas korban jiwa, tapi terorisme juga menyebabkan pengrusakan, penghancuran bahkan pemusnahan harta benda, lingkungan hidup, sumber-sumber ekonomi, kegoncangan sosial dan politik, bahkan meruntuhkan eksistensi negara. Penggunaan berbagai senjata, mulai dari bahan peledak, senjata kimia, senjata biologi, bahkan mungkin penggunaan senjata nuklir telah lazim dipraktekan dalam kejahatan terorisme.
Tindak pidana terorisme pada umumnya dilakukan secara terencana oleh orang-orang terlatih, sistematis, terorganisasikan dan kerapkali pula bersifat lintas negara. Karenanya, sekarang ini tidak ada satu negara pun yang negaranya dapat bebas dari ancaman segala bentuk terorisme (Turan, 2002).
Tipologi terorisme (The Psychology of Teror-The Mind of the Terrorist dalam Majalah Sabili 31 Oktober 2002):
1. Revolutionary. Jenis teror ini bertujuan menggulingkan atau mengganti pemerintahan yang ada. Misalnya: Red Army Faction, PLO, Sandinista
2. Political, yakni kelompok-kelompok yang memfokuskan dirinya untuk mendapatkan power atau supremasi, mengganti pemerintahan yang mengganggu atau untuk mengubah keyakinan
3. Nationalis,Model ini mempromosikan kepentingan etnis atau kelompok agama tertentu yang dianggap sedang dianiaya oleh kelompok lainnya. Misalnya: Sikh radikal dan IRA
4. Cause Base, yaitu kelompok-kelompok yang mengabadikan dirinya untuk tujuan sosial atau keagamaan dengan menggunakan kekerasan untuk menghadapi keluhan, ketidakpuasan atau kemarahan. Misalnya: Kelompok “Kampanye Anti Aborsi”, Feminist Terrorist in Nepal
5. Enviromental, yakni kelompok-kelompok yang mendedikasikan dirinya untuk memperlambat perkembangan yang mereka yakini telah menyebabkan gangguan terhadap binatang. Misal: Animal Liberation Front
6. State Sponsored, kelompok jenis ini tercipta pada satu kondisi, di mana rezim yang berkuasa menyediakan dana, sumber-sumber intelijen atau material untuk grup-grup teror yang biasanya beroperasi di luar perbatasan mereka. Misal: negara-negara penjajah di abad 18-awal abad 20
7. Genocide—satu kondisi di mana suatu pemerintahan mencoba untuk membasmi suatu kelompok minoritas dalam teritorialnya (Kamboja, Rwanda, Bosnis, Irak dan Turki.
Majalah adalah media massa yang paling terspesialisasi, dimana segmen pembaca yang dituju sangat jelas dari awalnya. Informasi yang terangkum dalam majalah mendapat analisis lebih mendalam daripada suratkabar, hal ini dikarenakan majalah biasanya terbit mingguan sehingga disitulah kelebihan majalah dibanding suratkabar harian.
Tipe-tipe majalah menurut U.S industrial outlook dibagi menjadi tiga kategori besar, yaitu consumer magazines, farm magazines, dan business publications, dan dalam setiap kategori tadi terdiri dari bermacam-macam sub kategori yang menandakan tingginya level spesialisasi dalam majalah. Selanjutnya sub-sub kategori majalah tersebut bisa dibedakan berdasarkan segmen pembacanya antara lain sebagai berikut:
1) Majalah Kesehatan dan Kebugaran
2) Majalah Olah raga
3) Majalah Gaya hidup
4) Majalah Travel and Leisure
5) Majalah Pria
6) Majalah Wanita
7) Majalah Golongan umur tertentu (spesific age)
8) Majalah Golongan / Budaya tertentu
9) Majalah Kedaerahan atau Etnik
10) Majalah Bisnis (Stan Le Roy Wilson, 1995 ; 137)
Hal yang paling utama dalam representasi adalah bagaimana realitas atau obyek tersebut ditampilkan. Menurut John Fiske, saat menampilkan obyek, peristiwa, gagasan, kelompok, atau seseorang paling tidak ada tiga proses yang dihadapi oleh para pembuat teks media. Pada level pertama, adalah peristiwa yang ditandakan (encode) sebagai realitas, bagaimana peristiwa itu dikonstruksikan sebagai realitas oleh media.
Dalam bahasa tulisan, umumnya berhubungan dengan judul-judul besar yang dipakai oleh media tersebut sebagai judul berita tentang suatu peristiwa tertentu. Pada level kedua, ketika kita memandang sesuatu sebagai realitas, bagaimana realitas tersebut digambarkan dalam bahasa tulis, kata-kata, kalimat, dan sebagainya.
Dan level ketiga , adalah bagaimana peristiwa tersebut diorganisir kedalam konvensi-konvensi yang diterima secara ideologis. Bagaimana kode-kode representasi dihubungkan dan diorganisasikan kedalam koherensi sosial, atau kepercayaan dominan yang ada dalam masyarakat, hal ini dalam media massa bisa dicapai dengan pemilihan nara sumber yang mendukung pernyataan-pernyataan media tersebut (dalam Thesis, 2002 ; 45).
Banyak definisi yang dikemukakan mengenai terorisme. Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengkaitkan antara terorisme dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Dalam resolusinya No 50/186, PBB menegaskan bahwa yang dimaksud dengan terorisme adalah “…creates an environment that destroys the freedom from fear of the people”.
Sementara itu, definisi terorisme yang dikemukakan dalam “The Mind of A Terrorist Fundamentalist: The Psychology of Terror Cults” (Morgan, 2001) disebutkan bahwa terorisme adalah:
“…the systematic use of terror or unpredictable violence against government, publics or individual to attain a political objective. Terrorism has been used by political organization with both rightist and leftist objectives, by nationalistic and ethnic groups, by revolutionaries, by environmentalist, and by the armies and secret police of governments themselevs.”
Dalam perangnya melawan terorisme, menyusul Tragedi 11 September 2001, pemerintah Amerika Serikat mendefinisikan terorisme sebagai aktivitas yang: “(a) involves a violent or an act dangerous to human life, property or infrastructure and (b) apperars to be intended : to indimidate or corce a civilian population, to influence the policy of a government by intimidation or coercion or to affect the mass destruction, assasination, kidnapping or hostage-taking” (Bush, 2001).
Jika diperhatikan satu per satu, nampak ada kesamaan dari beberapa definisi tersebut. Dimana terorisme merupakan aktivitas yang melanggar HAM, dapat dilakukan siapa saja dan organisasi mana saja baik dengan tujuan politis, pengerusakan peralatan maupun infrastruktur dengan teror yang sistematis serta penggunaan kekerasan.
Jadi terorisme merupakan penggunaan teror yang sistematis atau kekerasan yang tidak diprediksikan melawan pemerintah, publik maupun individu dengan tujuan politis. Terorisme digunakan tidak saja oleh organisasi politik yang berhaluan kiri maupun kanan, nasionalis dan kelompok etnis namun juga oleh tentara dan intelijen dalam pemerintahan itu sendiri.
Terorisme adalah kejahatan yang tidak dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa. Secara akademis, terorisme dikategorikan sebagai “kejahatan luar biasa” (extra ordinary crime) dan dikategorikan pula sebagai “kejahatan terhadap kemanusiaan” (crime against humanity). Digolongkan demikian karena tindak pidana terorisme selau menggunakan ancaman atau tindak kekerasan yang mengancam keselamatan jiwa tanpa memilih-milih siapa yang akan jadi korbannya.
Tidak hanya terbatas korban jiwa, tapi terorisme juga menyebabkan pengrusakan, penghancuran bahkan pemusnahan harta benda, lingkungan hidup, sumber-sumber ekonomi, kegoncangan sosial dan politik, bahkan meruntuhkan eksistensi negara. Penggunaan berbagai senjata, mulai dari bahan peledak, senjata kimia, senjata biologi, bahkan mungkin penggunaan senjata nuklir telah lazim dipraktekan dalam kejahatan terorisme.
Tindak pidana terorisme pada umumnya dilakukan secara terencana oleh orang-orang terlatih, sistematis, terorganisasikan dan kerapkali pula bersifat lintas negara. Karenanya, sekarang ini tidak ada satu negara pun yang negaranya dapat bebas dari ancaman segala bentuk terorisme (Turan, 2002).
Tipologi terorisme (The Psychology of Teror-The Mind of the Terrorist dalam Majalah Sabili 31 Oktober 2002):
1. Revolutionary. Jenis teror ini bertujuan menggulingkan atau mengganti pemerintahan yang ada. Misalnya: Red Army Faction, PLO, Sandinista
2. Political, yakni kelompok-kelompok yang memfokuskan dirinya untuk mendapatkan power atau supremasi, mengganti pemerintahan yang mengganggu atau untuk mengubah keyakinan
3. Nationalis,Model ini mempromosikan kepentingan etnis atau kelompok agama tertentu yang dianggap sedang dianiaya oleh kelompok lainnya. Misalnya: Sikh radikal dan IRA
4. Cause Base, yaitu kelompok-kelompok yang mengabadikan dirinya untuk tujuan sosial atau keagamaan dengan menggunakan kekerasan untuk menghadapi keluhan, ketidakpuasan atau kemarahan. Misalnya: Kelompok “Kampanye Anti Aborsi”, Feminist Terrorist in Nepal
5. Enviromental, yakni kelompok-kelompok yang mendedikasikan dirinya untuk memperlambat perkembangan yang mereka yakini telah menyebabkan gangguan terhadap binatang. Misal: Animal Liberation Front
6. State Sponsored, kelompok jenis ini tercipta pada satu kondisi, di mana rezim yang berkuasa menyediakan dana, sumber-sumber intelijen atau material untuk grup-grup teror yang biasanya beroperasi di luar perbatasan mereka. Misal: negara-negara penjajah di abad 18-awal abad 20
7. Genocide—satu kondisi di mana suatu pemerintahan mencoba untuk membasmi suatu kelompok minoritas dalam teritorialnya (Kamboja, Rwanda, Bosnis, Irak dan Turki.
Majalah adalah media massa yang paling terspesialisasi, dimana segmen pembaca yang dituju sangat jelas dari awalnya. Informasi yang terangkum dalam majalah mendapat analisis lebih mendalam daripada suratkabar, hal ini dikarenakan majalah biasanya terbit mingguan sehingga disitulah kelebihan majalah dibanding suratkabar harian.
Tipe-tipe majalah menurut U.S industrial outlook dibagi menjadi tiga kategori besar, yaitu consumer magazines, farm magazines, dan business publications, dan dalam setiap kategori tadi terdiri dari bermacam-macam sub kategori yang menandakan tingginya level spesialisasi dalam majalah. Selanjutnya sub-sub kategori majalah tersebut bisa dibedakan berdasarkan segmen pembacanya antara lain sebagai berikut:
1) Majalah Kesehatan dan Kebugaran
2) Majalah Olah raga
3) Majalah Gaya hidup
4) Majalah Travel and Leisure
5) Majalah Pria
6) Majalah Wanita
7) Majalah Golongan umur tertentu (spesific age)
8) Majalah Golongan / Budaya tertentu
9) Majalah Kedaerahan atau Etnik
10) Majalah Bisnis (Stan Le Roy Wilson, 1995 ; 137)
07 Maret 2009
Tulisan "Memajukan Layanan Jasa Pesan Premium" Dimuat Majalah Selular
Majalah Selular Edisi Maret 2009 memuat tulisan saya berjudul "Memajukan Layanan Jasa Pesan Premium". Berikut isi tulisannya atau dapat dilihat di Majalah Selular:
Dengan dimulainya pemberian layanan telepon bergerak seluler generasi ketiga (3G) sejak 2006 lalu, itu artinya Indonesia telah memasuki babakan baru dalam industri teknologi informasi dan komunikasi dari narrowband (pita sempit) ke arah broadband (pita Iebar). Selain menyangkut seberapa jauh infrastruktur teknologi pita lebar tersebut menjangkau masyarakat, yang tak bisa diabaikan adalah layanan apa saja yang bisa disajikan bagi penggunanya. Melalui pengalaman beberapa negara yang telah lebih dulu mengimplementasi pita lebar, konten mempunyai peran strategis. Tanpa konten yang menarik, menghibur, maupun mendidik, infrastruktur yang ada dapat diibaratkan jalan tol berlajur banyak yang hanya dilalui sebuah motor bebek, yang tentunya amat sangat mubazir.
Terkait dengan layanan konten yang memanfaatkan jaringan telekomunikasi, cukup menarik melihat layanan yang diberikan dalam bentuk premium call. Meski secara bisnis menjanjikan, dan potensi memberikan layanan yang menarik, menghibur dan mencerdaskan cukup besar, namun karena layanan ini identik dengan layanan yang bersifat esek-esek, karena sering beriklan dengan menampilkan perempuan-perempuan nyaris nirbusana dam kata-kata “mengundang”, akhirnya layanan ini menjadi mati suri, hidup segan mati tak mau.
Apa yang terjadi pada layanan premium call merupakan pembelajaran berharga bagi semua pihak dalam mengembangkan layanan SMS/MMS Premium. Apalagi, dalam beberapa tahun belakangan ini, BRTI telah banyak menerima keluhan dan informasi terkait dengan layanan dari content provider (CP) yang bekerjasama dengan operator telekomunikasi.
Beberapa isu yang mengemuka mengenai layanan SMS/MMS Premium adalah konsumen kesulitan untuk deaktivasi (unreg) layanan, layanan ”SMS Selebriti” yang dianggap masyarakat bahwa mereka bisa berinteraksi langsung dengan selebritis pilihan mereka melalui SMS ternyata hanya satu arah serta maraknya kuis-kuis interaktif berhadiah di televisi yang telah banyak meresahkan masyarakat dan menjadi perhatian Majelis Ulama Indonesia yang mengeluarkan Fatwa Haram atas layanan tersebut karena mengandung unsur judi. BRTI juga menerima beberapa masukan keluhan masyarakata tentang layanan SMS/MMS Premium yang ditemukenali bersifat normally open dimana pelanggan yang menerima pesan dari CP tersebut secara otomatis langsung terdaftar sebagai pelanggan.
Mengingat posisi regulator telekomunikasi adalah bagaimana menjaga industri ini tetap berkesinambungan mengingat era pita lebar sudah dimulai dan posisi konten akan menjadi signifikan, maka regulator merasa perlu untuk mencoba membina industri ini menjadi lebih baik. Setelah proses konsultasi publik yang cukup panjang, maka pada awal 2009, Menkominfo kemudian mengeluarkan Peraturan Menteri No. 01/2009 mengenai Penyelenggaraan Jasa Pesan Premium dan Pengiriman Jasa Pesan Singkat (Short Messaging Service/SMS) ke Banyak Tujuan (Broadcast).
Dalam Permen No. 01/2009, ada beberapa hal yang perlu menjadi perhatian penyedian konten untuk melindungi masyarakat konsumen, seperti: proses aktivasi yang harus semudah proses deaktivasi, adanya customer service yang bisa dihubungi pelanggan, kemudian pelanggan juga harus tahu mengenai tarif berlangganan dan berapa kali akan menerima layanan dalam sehari. Aturan ini selain berguna untuk masyarakat konsumen, juga memerikan rasa aman bagi industri konten agar tidak mendapatkan citra negatif.
Dalam Permen disebutkan bahwa penyelenggara jasa pesan premium harus mendapat ijin. Namun begitu, ijin yang dimaksud adalah hanya berupa mendaftar ke Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia dengan menyampaikan formulir pendaftaran dan surat pernyataan sebagaimana termuat dalam Lampiran Permen tersebut. Pendaftaran tidak dipungut biaya alias gratis dan dilakukan dengan cara yang sangat mudah, yaitu hanya dengan menyampaikan formulir pendaftaran dan surat pernyataan.
Menyangkut Biaya Hak Penyelenggaraan (BHP) telekomunikasi yang diamanatkan Permen No. 01/2009, ini bukan kebijakan baru. UU No. 36/1999 telah mengamanatkan hal itu, baik penyelengara jaringan maupun jasa telekomunikasi. Sehingga, sebagai penyedia layanan jasa pesan premium, BHP juga diterapkan.
Jika sebelumnya BHP sudah dibayarkan melalui operator, ke depan hanya tinggal memisahkan saja, mana yang dibayar penyedia jaringan dan mana yang menjadi kewajiban penyedia jasa pesan premium. Berita baiknya, jika sebelumnya BHP sebesar 1% dari pendapatan kotor, dengan PP No. 7/2009 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Departemen Komunikasi dan Informatika, BHP diturunkan menjadi 0,5% saja.
03 Maret 2009
Sejarah Kelahiran Suratkabar dan Perkembangannya di Indonesia
Sejarah Kelahiran Suratkabar
Sebelum ada suratkabar, hadir lebih dulu newsletters. Koran pertama dikembangkan secara tidak teratur di Belanda, Inggris dan Prancis (1618-1648). Lembaran berita ini disebut corantos, yang secara bertahap digantikan laporan harian atau diurnos. Pada saat itu, tidak ada yang namanya kebebasan pers. Pencetakan koran dan material lainnya harus menggunakan ijin dan yang mengeluarkannya dapat mengontrol isi.
Kebebasan berbicara dan mengkritisi sensor mulai ada sekitar tahun 1644, ketika John Milton menulis Aeropagitica, yang menyatakan kebebasan berbicara dalam beragama. Dalam terminologi politik, John Stuart Mill, Edumund Burke dan lainnya, mempromosikan pers bebas. Politisasi pers yang muncul menjadi penting dalam membangun dukungan terhadap revolusi Amerika dan mendefinisikan pers bebas di sana.
Kebebasan pers secara formal di AS sejak 1787. Keinginan untuk memproteksi kebebasan berbicara dan pers, hal itu kemudian dimasukan dalam Amandemen Pertama konstitusi di sana. Hasilnya, kemudian muncul keberagaman pers. Koran yang dipakai sebagai alat politik, kemudian hadir mewakili keberagaman pandangan politik.
Untuk menjalankan fungsi politik, pandangan-pandangan mengenai hal itu harus tersirkulasikan sebaik keberagaman media ini. Caranya, dengan menjual suratkabar yang murah agar bisa menjangkau audiens yang luas. Koran murah pertama kali diluncurkan Benjamin Day, 1833. Koran yang bernama “New York Sun”, hanya dijual satu penny, yang kemudian dikenal dengan “Koran Penny”. Untuk bisa dijual pada harga itu, Day tidak hanya bergantung pada iklan semata, namun juga dengan meningkatkan oplah penjualan.
Pembaca koran meningkat ketika terjadi Perang Sipil (1861-1865) karena orang-orang ingin mengetahui perkembangan terakhir mengenai konflik yang terjadi. Setelah masa perang, hadirlah era baru dunia jurnalistik, jurnalisme investigasi. Era baru ini menjadikan suratkabar lebih hidup, lancang, sadar diri, tidak sabar dan penuh sensasi.
Babak selanjutnya dalam sejarah koran di AS ditandai dengan adanya yellow journalism dan responsible journalism, yang bahkan dikatakan terjadi perang yang dramatis. Hearst’s Morning Herald Journal, dengan yellow journalisme-nya, menampilkan foto-foto yang penuh sensasi, topik utama yang besar-besar dan mengabaikan kepribadian, cerita tentang kemanusiaan dan terkadang melakukan wawancara palsu.
Sementara ‘lawan’ Hearst, Pulitzer, menciptakan jurnalisme baru yang mengetengahkan tanggung jawab sosial dalam tulisan di suratkabar. Jurnalisme yang bertanggung jawab ini berlanjut pada tahun 1896 ketika Adolph Ochs membeli The New York Times. Ochs tegas-tegas melarang sensasionalitas dalam foto-foto, cerita-cerita bohong dan tipuan. Dampaknya, pembaca dari kalangan kelas menengah meningkat. Ini pula yang kemudian menyebabkan suratkabar sebagai media massa mencapai puncaknya (1890-1920).
Setelah melewati rentang waktu yang panjang, akibat teknologi baru, persaingan dalam makin tajam. Apalagi dengan kehadiran internet, koran lokal kini bisa dibaca di seluruh dunia. Karenanya kebutuhan untuk meng-online-kan suratkabar menjadi kebutuhan serius meski edisi internet tersebut belum bisa dikatakan menghasilkan uang. Namun begitu, internet dapat juga dianggap sebagai ancaman terhadap ekonomi suratkabar dan standar jurnalistik.
Perkembangan Suratkabar di Indonesia
Sejak pertama kali suratkabar terbit di Batavia 1744, pers Indonesia tidak pernah lepas dari pengekangan. Karena itulah kemudian muncul istilah “pers perjuangan” sebagai media untuk melawan penjajahan. Mengetahui hal itu, pemerintah kolonial Belanda mengharuskan adanya surat izin atau sensor atas penerbitan pers di Batavia, Semarang dan Surabaya. Sejak itu pula, pendapat tentang kebebasan pers terbelah. Satu pihak menolak adanya surat ijin terbit, sensor dan pembredelan, namun di pihak lain mengatakan bahwa kontrol terhadap pers perlu dilakukan.
Pemerintah kolonial kemudian meninggalkan sejumlah aturan yang dibawa ke alam kemerdekaan. Aturan tersebut seperti Druckpers Reglement (UU Pers) yang dikeluarkan pada 1854, Haatzaai Delicten (UU Hukum Pidana Komunikasi Massa) tahun 1856 ataupun Persbreidel Ordonnatie yang dikeluarkan tahun 1931. Isinya jelas, kontrol terhadap pers.
Meski telah dihapus dengan UU No 23/1954, pers Indonesia tidak berarti terbebas dari pemasungan. Seperti dikatakan Presiden saat itu, Soekarno, saat melantik Dewan Pengawas dan Dewan Pimpinan Kantor Berita Antara 15 Oktober 1952. “Saya tidak menginginkan siaran berita yang obyektif, tetapi jelas memihak pada revolusi kita dan menghantam musuh-musuh revolusi.” Karena itu, pers yang bermusuhan dengan revolusi harus dilenyapkan. Sehingga tidak heran, tindakan, tuduhan dan pembredelan pers terjadi berkali-kali.
Seperti pada tahun 1952, telah diambil tindakan bredel terhadap dua suratkabar, Merdeka dan Berita Indonesia, dan 12 tuduhan lainnya terhadap pers. Tuduhan pelanggaran dengan jumlah yang sama juga terjadi di tahun 1953. Pada tahun 1954 hanya terjadi 8 tindakan kemudian meningkat lagi pada tahun 1955 dengan 13 tindakan dan 32 tindakan pada tahun 1956.
Terparah, ketika pada tanggal 14 Maret 1957 saat Indonesia dinyatakan dalam keadaan darurat perang (SOB-Staat van Orlog en Beleg). Pada masa itu, terjadi 125 tindakan terhadap pers, termasuk di dalamnya penutupan tiga kantor berita, pembredelan 10 suratkabar dan penahanan tujuh wartawan.
Pers otoriter juga dikembangkan pemerintahan Orde Baru. Pembredelan, sensor dan perlunya surat izin terbit yang secara resmi dilarang UU Pokok Pers (pasal 4 dan 8 ayat 2), dengan Permenpen 01/1984 pasal 33h yang menghadirkan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), melestarikan kekangan terhadap pers. Sebab dengan definisi “pers yang bebas dan bertanggung jawab”, SIUPP merupakan lembaga yang menerbitkan pers dan pembredelan.
Terjadinya pembredelan Tempo, Detik, Editor pada 21 Juni 1994, mengisyaratkan ketidakmampuan sistem hukum pers mengembangkan konsep pers yang bebas dan bertanggung jawab secara hukum. Sejarah ketiga media tersebut mengikuti sejarah Fokus, Sinar Harapan, Prioritas dan Monitor, yang semuanya dibredel tanpa proses pengadilan.
Perubahan kekuasaan pada tahun 1998, dari Orde Baru ke Orde Reformasi, membuat pers menemukan kemerdekaanya. Yaitu, ketika Menteri Penerangan saat itu, Yunus Yosfiah, mencabut pemberlakuan SIUPP. Menurut Yunus, kebebasan pers adalah satu pengejawantahan dari keikutsertaan warga negara dalam melaksanakan kekuasaan negara. Ini berarti bahwa kebebasan pers merupakan bagian dari konsep demokrasi bahkan merupakan salah satu unsur fundamental.
Sejak titik balik itulah, pers Indonesia dapat mengabarkan berita secara transparan tanpa kekhawatiran SIUPP yang akan dicabut. Tidak perlu takut lagi untuk menampilkan tokoh-tokoh kontroversial yang menggugat maupun berseberangan dengan pemerintah. Begitu juga, tidak perlu ragu lagi untuk menyajikan berita atau laporan-laporan yang sebelumnya dinilai beresiko.
Dengan dihapuskannya lembaga SIUPP, beberapa media yang sempat ‘mati’, kini pun hidup kembali. Seperti Majalah Berita Mingguan Tempo dan suratkabar Sinar Harapan. Kalaupun tidak menghidupkan yang ‘mati’, dengan segala kemudahan implikasinya kini mudah ditemui suratkabat, majalah, berita radio dan televisi maupun situs berita online baru.
Selain menghapuskan SIUPP, pada tahun 1999 Presiden Abdurrahman wahid kemudian juga menghapuskan Departemen Penerangan. Meski para wartawan masih tetap mendapat ancaman intimidasi, kekerasan, bahkan pembunuhan, dengan dihapuskannya Deppen paling tidak pers punya hak untuk menyebarkan informasi yang bebas dari sensor melalui bentuk media apapun.
Mengikuti trend pengantaran media saat ini, Indonesia tidak ketinggalan dalam hal itu. Sebut saja dalam hal cetak jarak jauh, maupun penggunaan internet. Beberapa suratkabar seperti Kompas, Media Indonesia, Republika, Koran Tempo, Suara Pembaruan, Sinar Harapan, Bisnis Indonesia dan banyak lagi lainnya, telah dapat dibaca lewat layar monitor komputer. Tidak hanya yang berbasis koran atau majalah, media yang yang langsung menghuni jaringan maya ini pun ada, sebut saja seperti Detik.com, Kompas.com, Okezone.com, vivanews.com dan lain-lain.
Peran internet sebagai media alternatif ketika media dalam negeri dihantui ketakutan pasca pembredelan Tempo, Detik dan Editor, cukup signifikan. Lewat situs Apakabar, Pijar Online, IndoKini ataupun Indonews, pendapat maupun cerita-cerita unik yang tak mungkin dipublikasikan media umum di Indonesia, bisa dibaca. Situs-situs tersebut, termasuk hadirnya Tempo Interaktif, membalikan pendapat bahwa kebebasan pers bisa dipasung hanya karena sebuah SIUPP.
Sebelum ada suratkabar, hadir lebih dulu newsletters. Koran pertama dikembangkan secara tidak teratur di Belanda, Inggris dan Prancis (1618-1648). Lembaran berita ini disebut corantos, yang secara bertahap digantikan laporan harian atau diurnos. Pada saat itu, tidak ada yang namanya kebebasan pers. Pencetakan koran dan material lainnya harus menggunakan ijin dan yang mengeluarkannya dapat mengontrol isi.
Kebebasan berbicara dan mengkritisi sensor mulai ada sekitar tahun 1644, ketika John Milton menulis Aeropagitica, yang menyatakan kebebasan berbicara dalam beragama. Dalam terminologi politik, John Stuart Mill, Edumund Burke dan lainnya, mempromosikan pers bebas. Politisasi pers yang muncul menjadi penting dalam membangun dukungan terhadap revolusi Amerika dan mendefinisikan pers bebas di sana.
Kebebasan pers secara formal di AS sejak 1787. Keinginan untuk memproteksi kebebasan berbicara dan pers, hal itu kemudian dimasukan dalam Amandemen Pertama konstitusi di sana. Hasilnya, kemudian muncul keberagaman pers. Koran yang dipakai sebagai alat politik, kemudian hadir mewakili keberagaman pandangan politik.
Untuk menjalankan fungsi politik, pandangan-pandangan mengenai hal itu harus tersirkulasikan sebaik keberagaman media ini. Caranya, dengan menjual suratkabar yang murah agar bisa menjangkau audiens yang luas. Koran murah pertama kali diluncurkan Benjamin Day, 1833. Koran yang bernama “New York Sun”, hanya dijual satu penny, yang kemudian dikenal dengan “Koran Penny”. Untuk bisa dijual pada harga itu, Day tidak hanya bergantung pada iklan semata, namun juga dengan meningkatkan oplah penjualan.
Pembaca koran meningkat ketika terjadi Perang Sipil (1861-1865) karena orang-orang ingin mengetahui perkembangan terakhir mengenai konflik yang terjadi. Setelah masa perang, hadirlah era baru dunia jurnalistik, jurnalisme investigasi. Era baru ini menjadikan suratkabar lebih hidup, lancang, sadar diri, tidak sabar dan penuh sensasi.
Babak selanjutnya dalam sejarah koran di AS ditandai dengan adanya yellow journalism dan responsible journalism, yang bahkan dikatakan terjadi perang yang dramatis. Hearst’s Morning Herald Journal, dengan yellow journalisme-nya, menampilkan foto-foto yang penuh sensasi, topik utama yang besar-besar dan mengabaikan kepribadian, cerita tentang kemanusiaan dan terkadang melakukan wawancara palsu.
Sementara ‘lawan’ Hearst, Pulitzer, menciptakan jurnalisme baru yang mengetengahkan tanggung jawab sosial dalam tulisan di suratkabar. Jurnalisme yang bertanggung jawab ini berlanjut pada tahun 1896 ketika Adolph Ochs membeli The New York Times. Ochs tegas-tegas melarang sensasionalitas dalam foto-foto, cerita-cerita bohong dan tipuan. Dampaknya, pembaca dari kalangan kelas menengah meningkat. Ini pula yang kemudian menyebabkan suratkabar sebagai media massa mencapai puncaknya (1890-1920).
Setelah melewati rentang waktu yang panjang, akibat teknologi baru, persaingan dalam makin tajam. Apalagi dengan kehadiran internet, koran lokal kini bisa dibaca di seluruh dunia. Karenanya kebutuhan untuk meng-online-kan suratkabar menjadi kebutuhan serius meski edisi internet tersebut belum bisa dikatakan menghasilkan uang. Namun begitu, internet dapat juga dianggap sebagai ancaman terhadap ekonomi suratkabar dan standar jurnalistik.
Perkembangan Suratkabar di Indonesia
Sejak pertama kali suratkabar terbit di Batavia 1744, pers Indonesia tidak pernah lepas dari pengekangan. Karena itulah kemudian muncul istilah “pers perjuangan” sebagai media untuk melawan penjajahan. Mengetahui hal itu, pemerintah kolonial Belanda mengharuskan adanya surat izin atau sensor atas penerbitan pers di Batavia, Semarang dan Surabaya. Sejak itu pula, pendapat tentang kebebasan pers terbelah. Satu pihak menolak adanya surat ijin terbit, sensor dan pembredelan, namun di pihak lain mengatakan bahwa kontrol terhadap pers perlu dilakukan.
Pemerintah kolonial kemudian meninggalkan sejumlah aturan yang dibawa ke alam kemerdekaan. Aturan tersebut seperti Druckpers Reglement (UU Pers) yang dikeluarkan pada 1854, Haatzaai Delicten (UU Hukum Pidana Komunikasi Massa) tahun 1856 ataupun Persbreidel Ordonnatie yang dikeluarkan tahun 1931. Isinya jelas, kontrol terhadap pers.
Meski telah dihapus dengan UU No 23/1954, pers Indonesia tidak berarti terbebas dari pemasungan. Seperti dikatakan Presiden saat itu, Soekarno, saat melantik Dewan Pengawas dan Dewan Pimpinan Kantor Berita Antara 15 Oktober 1952. “Saya tidak menginginkan siaran berita yang obyektif, tetapi jelas memihak pada revolusi kita dan menghantam musuh-musuh revolusi.” Karena itu, pers yang bermusuhan dengan revolusi harus dilenyapkan. Sehingga tidak heran, tindakan, tuduhan dan pembredelan pers terjadi berkali-kali.
Seperti pada tahun 1952, telah diambil tindakan bredel terhadap dua suratkabar, Merdeka dan Berita Indonesia, dan 12 tuduhan lainnya terhadap pers. Tuduhan pelanggaran dengan jumlah yang sama juga terjadi di tahun 1953. Pada tahun 1954 hanya terjadi 8 tindakan kemudian meningkat lagi pada tahun 1955 dengan 13 tindakan dan 32 tindakan pada tahun 1956.
Terparah, ketika pada tanggal 14 Maret 1957 saat Indonesia dinyatakan dalam keadaan darurat perang (SOB-Staat van Orlog en Beleg). Pada masa itu, terjadi 125 tindakan terhadap pers, termasuk di dalamnya penutupan tiga kantor berita, pembredelan 10 suratkabar dan penahanan tujuh wartawan.
Pers otoriter juga dikembangkan pemerintahan Orde Baru. Pembredelan, sensor dan perlunya surat izin terbit yang secara resmi dilarang UU Pokok Pers (pasal 4 dan 8 ayat 2), dengan Permenpen 01/1984 pasal 33h yang menghadirkan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), melestarikan kekangan terhadap pers. Sebab dengan definisi “pers yang bebas dan bertanggung jawab”, SIUPP merupakan lembaga yang menerbitkan pers dan pembredelan.
Terjadinya pembredelan Tempo, Detik, Editor pada 21 Juni 1994, mengisyaratkan ketidakmampuan sistem hukum pers mengembangkan konsep pers yang bebas dan bertanggung jawab secara hukum. Sejarah ketiga media tersebut mengikuti sejarah Fokus, Sinar Harapan, Prioritas dan Monitor, yang semuanya dibredel tanpa proses pengadilan.
Perubahan kekuasaan pada tahun 1998, dari Orde Baru ke Orde Reformasi, membuat pers menemukan kemerdekaanya. Yaitu, ketika Menteri Penerangan saat itu, Yunus Yosfiah, mencabut pemberlakuan SIUPP. Menurut Yunus, kebebasan pers adalah satu pengejawantahan dari keikutsertaan warga negara dalam melaksanakan kekuasaan negara. Ini berarti bahwa kebebasan pers merupakan bagian dari konsep demokrasi bahkan merupakan salah satu unsur fundamental.
Sejak titik balik itulah, pers Indonesia dapat mengabarkan berita secara transparan tanpa kekhawatiran SIUPP yang akan dicabut. Tidak perlu takut lagi untuk menampilkan tokoh-tokoh kontroversial yang menggugat maupun berseberangan dengan pemerintah. Begitu juga, tidak perlu ragu lagi untuk menyajikan berita atau laporan-laporan yang sebelumnya dinilai beresiko.
Dengan dihapuskannya lembaga SIUPP, beberapa media yang sempat ‘mati’, kini pun hidup kembali. Seperti Majalah Berita Mingguan Tempo dan suratkabar Sinar Harapan. Kalaupun tidak menghidupkan yang ‘mati’, dengan segala kemudahan implikasinya kini mudah ditemui suratkabat, majalah, berita radio dan televisi maupun situs berita online baru.
Selain menghapuskan SIUPP, pada tahun 1999 Presiden Abdurrahman wahid kemudian juga menghapuskan Departemen Penerangan. Meski para wartawan masih tetap mendapat ancaman intimidasi, kekerasan, bahkan pembunuhan, dengan dihapuskannya Deppen paling tidak pers punya hak untuk menyebarkan informasi yang bebas dari sensor melalui bentuk media apapun.
Mengikuti trend pengantaran media saat ini, Indonesia tidak ketinggalan dalam hal itu. Sebut saja dalam hal cetak jarak jauh, maupun penggunaan internet. Beberapa suratkabar seperti Kompas, Media Indonesia, Republika, Koran Tempo, Suara Pembaruan, Sinar Harapan, Bisnis Indonesia dan banyak lagi lainnya, telah dapat dibaca lewat layar monitor komputer. Tidak hanya yang berbasis koran atau majalah, media yang yang langsung menghuni jaringan maya ini pun ada, sebut saja seperti Detik.com, Kompas.com, Okezone.com, vivanews.com dan lain-lain.
Peran internet sebagai media alternatif ketika media dalam negeri dihantui ketakutan pasca pembredelan Tempo, Detik dan Editor, cukup signifikan. Lewat situs Apakabar, Pijar Online, IndoKini ataupun Indonews, pendapat maupun cerita-cerita unik yang tak mungkin dipublikasikan media umum di Indonesia, bisa dibaca. Situs-situs tersebut, termasuk hadirnya Tempo Interaktif, membalikan pendapat bahwa kebebasan pers bisa dipasung hanya karena sebuah SIUPP.
Sejarah Kelahiran Buku dan Perkembangannya di Indonesia
Sejarah kelahiran Buku
Buku pada awalnya hanya berupa tanah liat yang dibakar, mirip dengan proses pembuatan batu bata di masa kini. Buku tersebut digunakan oleh penduduk yang mendiami pinggir Sungai Euphrates di Asia Kecil sekitar tahun 2000 SM.
Penduduk sungai Nil, memanfaatkan batang papirus yang banyak tumbuh di pesisir Laut Tengah dan di sisi sungai Nil untuk membuat buku.Gulungan batang papirus inilah yang melatarbelakangi adanya gagasan kertas gulungan seperti yang kita kenal sekarang ini. Orang Romawi juga menggunakan model gulungan dengan kulit domba. Model dengan kulit domba ini disebut parchment(perkamen).
Bentuk buku berupa gulungan ini masih dipakai hingga sekitar tahun 300 Masehi. Kemudian bentuk buku berubah menjadi lenbar-lembar yang disatukan dengan sistem jahit. Model ini disebut codex, yang merupakan cikal bakal lahirnya buku modern seperti sekarang ini.
Pada tahun 105 Masehi, Ts’ai Lun, seorang Cina di Tiongkok telah menciptakan kertas dari bahan serat yang disebut hennep. Serat ini ditumbuk, kemudian dicampur dan diaduk dengan air hingga menjadi bubur. Setelah dimasukkan ke dalam cetakan, buku di jemur hingga mengering. Setelah mengering, bubur berubah menjadi kertas.
Pada tahun 751, pembuatan kertas telah menyebar hingga ke Samarkand, Asia tenganh, dimana beberapa pembuat kertas bangsa Cina diambil sebagai tawanan oleh bangsa Arab. Bangsa Arab, setelah kembali ke negrinya, memperkenalkan kerajinan pembuatan kertas ini kepada bangsa Morris di Spanyol. Tahun 1150, dari Spanyol, kerajinan ini menyebar ke Eropa. Pabrik kertas pertama di Eropa dibangun di Perancis, tahun 1189, lalu di Fabriano, Italia tahun 1276 dan di Jerman tahun 1391. Berkat ditemukannya pembuatan kertas inilah maka pembuatan buku di beberapa belahan dunia semakin berkembang.
Sejarah Penerbitan Buku di Indonesia
Di Indonesia, awalnya bentuk buku masih berupa gulungan daun lontar. Menurut
Ajib Rosidi (sastrawan dan mantan ketua IKAPI), secara garis besar, usaha penerbitan buku di Indonesia dibagi dalam tiga jalur, yaitu usaha penerbitan buku pelajaran, usaha penerbitan buku bacaan umum (termasuk sastra dan hiburan), dan usaha penerbitan buku agama.
Pada masa penjajahan Belanda, penulisan dan penerbitan buku sekolah dikuasai orang Belanda. Kalaupun ada orang pribumi yang menulis buku pelajaran, umumnya mereka hanya sebagai pembantu atau ditunjuk oleh orang Belanda.
Usaha penerbitan buku agama dimulai dengan penerbitan buku-buku agama Islam yang dilakukan orang Arab, sedangkan penerbitan buku –buku agama Kristen umumnya dilakukan oleh orang-orang Belanda.
Penerbitan buku bacaan umum berbahasa Melayu pada masa itu dikuasai oleh orang-orang Cina. Orang pribumi hanya bergerak dalam usaha penerbitan buku berbahasa daerah. Usaha penerbitan buku bacaaan yang murni dilakukan oleh pribumi, yaitu mulai dari penulisan hingga penerbitannya, hanya dilakukan oleh orang-orang Sumatera Barat dan Medan. Karena khawatir dengan perkembangan usaha penerbitan tersebut, pemerintah Belanda lalu mendirikan penerbit Buku Bacaan Rakyat. Tujuannya untuk mengimbangi usaha penerbitan yang dilakukan kaum pribumi. Pada tahun 1908, penerbit ini diubah namanya menjadi Balai Pustaka. Hingga jepang masuk ke Indonesia, Balai Pustaka belum pernah menerbitkan buku pelajaran karena bidang ini dikuasai penerbit swasta belanda.
Sekitar tahun 1950-an, penerbit swasta nasional mulai bermunculan. Sebagian besar berada di pulau Jawa dan selebihnya di Sumatera. Pada awalnya, mereka bermotif politis dan idealis. Mereka ingin mengambil alih dominasi para penerbit Belanda yang setelah penyerahan kedaulatan di tahun 1950 masih diijinkan berusaha di Indonesia.
Pada tahun 1955, pemerintah Republik Indonesia mengambil alih dan menasionalisasi semua perusahaan Belanda di Indonesia. Kemudian pemerintah berusaha mendorong pertumbuhan dan perkembangan usaha penerbitan buku nasional dengan jalan memberi subsidi dan bahan baku kertas bagi para penerbit buku nasional sehingga penerbit diwajibkan menjual buku-bukunya denga harga murah.
Pemerintah kemudian mendirikan Yayasan Lektur yang bertugas mengatur bantuan pemerintah kepada penerbit dan mengendalikan harga buku. Dengan adanya yayasan ini, pertumbuhan dan perkembangan penerbitan nasional dapat meningkat denganc epat. Menurut Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) yang didirikan 1950, penerbit yang menjadi anggota IKAPI yang semula berjumlah 13 pada tahun 1965 naik menjadi 600-an lebih.
Pada tahun 1965 terjadi perubahan situasi politik di tanah air. Salah satu akibat dari perubahan itu adalah keluarnya kebijakan baru pemerintah dalam bidang politik, ekonomi dan moneter. Sejak akhir tahun 1965, subsidi bagi penerbit dihapus. Akibatnya, karena hanya 25% penerbit yang bertahan, situasi perbukuan mengalami kemunduran.
Sementara itu, pemerintah melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mashuri, kemudian menetapkan bahwa semua buku pelajaran di sediakan kan oleh pemerintah. Keadaan tidak bisa terus-menerus dipertahankan karena buku pelajaran yang meningkat dari tahun ke tahun. Karena itu, diberikan hak pada Balai Pustaka untuk mencetak buku-buku yang dibutuhkan dipasaran bebas. Para penerbit swasta diberikan kesempatan menerbitkan buku-buku pelengkap dengan persetujuan tim penilai.
Hal lain yang menonjol dalam masalah perbukuan selama Orde Baru adalah penerbitan buku yang harus melalui sensor dan persetujuan kejaksaan agung. Tercatat buku-buku karya Pramudya Ananta Toer, Utuj Tatang Sontani dan beberapa pengarang lainnya, tidak dapat dipasarkan karena mereka dinyatakan terlibat G30S/PKI. Sementara buku-buku “Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai”, kemudian “Era Baru, Pemimpin Baru” tidak bisa dipasarkan karena dianggap menyesatkan, terutama mengenai cerita-cerita seputar pergantian kekuasaan pada tahun 1966.
Buku pada awalnya hanya berupa tanah liat yang dibakar, mirip dengan proses pembuatan batu bata di masa kini. Buku tersebut digunakan oleh penduduk yang mendiami pinggir Sungai Euphrates di Asia Kecil sekitar tahun 2000 SM.
Penduduk sungai Nil, memanfaatkan batang papirus yang banyak tumbuh di pesisir Laut Tengah dan di sisi sungai Nil untuk membuat buku.Gulungan batang papirus inilah yang melatarbelakangi adanya gagasan kertas gulungan seperti yang kita kenal sekarang ini. Orang Romawi juga menggunakan model gulungan dengan kulit domba. Model dengan kulit domba ini disebut parchment(perkamen).
Bentuk buku berupa gulungan ini masih dipakai hingga sekitar tahun 300 Masehi. Kemudian bentuk buku berubah menjadi lenbar-lembar yang disatukan dengan sistem jahit. Model ini disebut codex, yang merupakan cikal bakal lahirnya buku modern seperti sekarang ini.
Pada tahun 105 Masehi, Ts’ai Lun, seorang Cina di Tiongkok telah menciptakan kertas dari bahan serat yang disebut hennep. Serat ini ditumbuk, kemudian dicampur dan diaduk dengan air hingga menjadi bubur. Setelah dimasukkan ke dalam cetakan, buku di jemur hingga mengering. Setelah mengering, bubur berubah menjadi kertas.
Pada tahun 751, pembuatan kertas telah menyebar hingga ke Samarkand, Asia tenganh, dimana beberapa pembuat kertas bangsa Cina diambil sebagai tawanan oleh bangsa Arab. Bangsa Arab, setelah kembali ke negrinya, memperkenalkan kerajinan pembuatan kertas ini kepada bangsa Morris di Spanyol. Tahun 1150, dari Spanyol, kerajinan ini menyebar ke Eropa. Pabrik kertas pertama di Eropa dibangun di Perancis, tahun 1189, lalu di Fabriano, Italia tahun 1276 dan di Jerman tahun 1391. Berkat ditemukannya pembuatan kertas inilah maka pembuatan buku di beberapa belahan dunia semakin berkembang.
Sejarah Penerbitan Buku di Indonesia
Di Indonesia, awalnya bentuk buku masih berupa gulungan daun lontar. Menurut
Ajib Rosidi (sastrawan dan mantan ketua IKAPI), secara garis besar, usaha penerbitan buku di Indonesia dibagi dalam tiga jalur, yaitu usaha penerbitan buku pelajaran, usaha penerbitan buku bacaan umum (termasuk sastra dan hiburan), dan usaha penerbitan buku agama.
Pada masa penjajahan Belanda, penulisan dan penerbitan buku sekolah dikuasai orang Belanda. Kalaupun ada orang pribumi yang menulis buku pelajaran, umumnya mereka hanya sebagai pembantu atau ditunjuk oleh orang Belanda.
Usaha penerbitan buku agama dimulai dengan penerbitan buku-buku agama Islam yang dilakukan orang Arab, sedangkan penerbitan buku –buku agama Kristen umumnya dilakukan oleh orang-orang Belanda.
Penerbitan buku bacaan umum berbahasa Melayu pada masa itu dikuasai oleh orang-orang Cina. Orang pribumi hanya bergerak dalam usaha penerbitan buku berbahasa daerah. Usaha penerbitan buku bacaaan yang murni dilakukan oleh pribumi, yaitu mulai dari penulisan hingga penerbitannya, hanya dilakukan oleh orang-orang Sumatera Barat dan Medan. Karena khawatir dengan perkembangan usaha penerbitan tersebut, pemerintah Belanda lalu mendirikan penerbit Buku Bacaan Rakyat. Tujuannya untuk mengimbangi usaha penerbitan yang dilakukan kaum pribumi. Pada tahun 1908, penerbit ini diubah namanya menjadi Balai Pustaka. Hingga jepang masuk ke Indonesia, Balai Pustaka belum pernah menerbitkan buku pelajaran karena bidang ini dikuasai penerbit swasta belanda.
Sekitar tahun 1950-an, penerbit swasta nasional mulai bermunculan. Sebagian besar berada di pulau Jawa dan selebihnya di Sumatera. Pada awalnya, mereka bermotif politis dan idealis. Mereka ingin mengambil alih dominasi para penerbit Belanda yang setelah penyerahan kedaulatan di tahun 1950 masih diijinkan berusaha di Indonesia.
Pada tahun 1955, pemerintah Republik Indonesia mengambil alih dan menasionalisasi semua perusahaan Belanda di Indonesia. Kemudian pemerintah berusaha mendorong pertumbuhan dan perkembangan usaha penerbitan buku nasional dengan jalan memberi subsidi dan bahan baku kertas bagi para penerbit buku nasional sehingga penerbit diwajibkan menjual buku-bukunya denga harga murah.
Pemerintah kemudian mendirikan Yayasan Lektur yang bertugas mengatur bantuan pemerintah kepada penerbit dan mengendalikan harga buku. Dengan adanya yayasan ini, pertumbuhan dan perkembangan penerbitan nasional dapat meningkat denganc epat. Menurut Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) yang didirikan 1950, penerbit yang menjadi anggota IKAPI yang semula berjumlah 13 pada tahun 1965 naik menjadi 600-an lebih.
Pada tahun 1965 terjadi perubahan situasi politik di tanah air. Salah satu akibat dari perubahan itu adalah keluarnya kebijakan baru pemerintah dalam bidang politik, ekonomi dan moneter. Sejak akhir tahun 1965, subsidi bagi penerbit dihapus. Akibatnya, karena hanya 25% penerbit yang bertahan, situasi perbukuan mengalami kemunduran.
Sementara itu, pemerintah melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mashuri, kemudian menetapkan bahwa semua buku pelajaran di sediakan kan oleh pemerintah. Keadaan tidak bisa terus-menerus dipertahankan karena buku pelajaran yang meningkat dari tahun ke tahun. Karena itu, diberikan hak pada Balai Pustaka untuk mencetak buku-buku yang dibutuhkan dipasaran bebas. Para penerbit swasta diberikan kesempatan menerbitkan buku-buku pelengkap dengan persetujuan tim penilai.
Hal lain yang menonjol dalam masalah perbukuan selama Orde Baru adalah penerbitan buku yang harus melalui sensor dan persetujuan kejaksaan agung. Tercatat buku-buku karya Pramudya Ananta Toer, Utuj Tatang Sontani dan beberapa pengarang lainnya, tidak dapat dipasarkan karena mereka dinyatakan terlibat G30S/PKI. Sementara buku-buku “Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai”, kemudian “Era Baru, Pemimpin Baru” tidak bisa dipasarkan karena dianggap menyesatkan, terutama mengenai cerita-cerita seputar pergantian kekuasaan pada tahun 1966.
Langganan:
Postingan (Atom)