09 Juni 2011

Internet Sebagai Bagian dari Hak Asasi Manusia

Jakarta - Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mendeklarasikan bahwa akses internet adalah Hak Asasi Manusia (HAM). Nah, jika ditarik ke Indonesia, UUD 1945 dianggap perlu diamandemen untuk merealisasikan impian tersebut.

Menurut pengamat telematika Heru Sutadi, keputusan PBB yang menempatkan akses internet sebagai bagian dari HAM perlu disambut baik. Sebab, ini menjadi salah satu cara untuk memperkecil kesenjangan digital agar tidak semakin lebar.

"Untuk itu UUD 1945 perlu juga diamandemen. Khususnya terkait pasal 28F, yang intinya bukan cuma mendapatkan informasi tapi harus menyinggung soal penyediaan akses informasi," tukasnya kepada detikINET, Selasa (7/6/2011).

Pasal 28F sendiri berbunyi, "Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia".

Heru pun menggarisbawahi jika HAM atas akses internet di sini bukan berarti pemerintah tidak boleh melakukan filtering terhadap konten yang beredar di dunia maya. Sebab, ini untuk mengamankan ranah cyber Tanah Air sehingga lebih sehat dan aman.

"Yang termasuk HAM itu akses internetnya, tentunya (terkait filtering) sesuai dengan apa yang disuarakan di dunia juga untuk konten yang sehat, aman dan mencerdaskan," tukas anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) itu.

"Untuk kondisi Indonesia (Amandemen UUD 45) perlu, apalagi jika kita bicara tren ekonomi baru, yaitu ekonomi digital yang mengarah ke ekonomi broadband," pungkas Heru.

PBB sebelumnya mendeklarasikan bahwa akses internet adalah HAM. Negara di dunia pun diharapkan agar tidak membuat aturan hukum yang memungkinkan pemutusan akses internet masyarakat. 

"Memastikan akses universal pada internet harus menjadi prioritas bagi semua negara," demikian laporan Frank La Rue, pejabat United Nations Special Rapporteur on the Promotion and Protection of the Right to Freedom of Opinion and Expression. 

Laporan tersebut mengetengahkan munculnya tren kurang baik di berbagai negara terkait pemblokiran sampai pemutusan koneksi internet. Pemutusan koneksi antara lain sempat terjadi di Mesir atau Syria saat terjadi pergolakan politik.

Di sisi lain, berbagai negara juga sering menyensor internet, antara lain terkait alasan terorisme. Namun dinilai, ada kemungkinan sensor diberlakukan hanya demi kepentingan tertentu.




( ash / rns ) 

07 Juni 2011

Tulisan Saya Soal Ekonomi Broadband

Kolom Telematika 
Tantangan MDGs dan Ekonomi Broadband 
Penulis: Heru Sutadi - detikinet



Kolom - Telah disepakati secara internasional bahwa 2015 merupakan target pencapaian Millenium Development Goals (MGs). Banyak cara dilakukan negara-negara lain dalam mengakselerasi pencapai MDGs mengingat tenggat waktu yang tidak terlalu lama lagi. 

Salah satu cara efektif dan solusi yang berkelanjutan menghadapi tantangan global abad ke-21 terkait kesejahteraan, kesehatan, pendidikan, persamaan gender, perubahan iklim dan perubahan populasi dunia ke generasi muda, adalah mengedepankan apa yang disebut dengan ekonomi pita lebar (broadband). 

Banyak penelitian dilakukan untuk mengetahui bagaimana pengembangan broadband di suatu negara dengan gross domestic product (GDP) nasional. Seperti dilakukan dalam penelitian terbaru oleh Arthur D. Little (2010), yang menyimpulkan bahwa penambahan 10% pertumbuhan broadband akan berdampak pada pertumbuhan GDP sebesar 1%. 

Begitu juga dengan penambahan 1000 pengguna broadband baru, akan menumbuhkan 80 pekerjaan baru. Angka ini memang di bawah estimasi internasional bahwa peningkatan sepuluh persen penetrasi broadband akan meningkatkan 1,3% GDP nasional, namun tetap ada temuan bahwa ada korelasi broadband dan GDP. 

Pembicaraan ekonomi broadband begitu penting mengingat broadband adalah katalis dari masyarakat ke depan yang terhubung (connected society). Layanan-layanan kesehatan, pendidikan, bisnis, perdagangan maupun pemerintahan ke depan akan sangat bergantung pada ketersediaan broadband sebagai platform-nya. 

Dalam layanan pemerintahan, broadband akan jadi alat yang sangat penting dalam transformasi di sektor publik. Apalagi dengan perubahan dari sekadar layanan pemerintahan secara elektronik (e-government) ke arah layanan pemerintahan yang terintegrasi (integrated government). Dalam hal kesehatan, broadband akan menjadi jembatan penting untung mengatasi kekurangan tenaga kesehatan untuk melayani mereka yang membutuhkan pelayanan kesehatan. 

Perkembangan e-health, jangan dilihat sebagai teknologi medis modern yang sangat mahal, namun sesungguhnya bisa sangat sederhana: ada komputer, scanner dan kamera digital. Untuk pengiriman data dari klinik di desa ke rumah sakit yang lebih besar, atau dokter dapat mendiagnosa pasien dari jarak yang sangat jauh, tentunya membutukan dukungan infrastruktur broadband.

Untuk pendidikan, bukan hal yang aneh jika broadband dibutuhkan. Selain dapat dipakai untuk pendidikan secara online, dimana e-learning dan m-learning di banyak negara tumbuh signifikan, broadband telah menjadi kebutuhan asasi para siswa serta mahasiswa untuk mendapatkan informasi, interaktivitas, berbagi bahan bacaan serta mengunduh buku-buku pelajaran, yang di Indonesia sudah pula disediakan dalam bentuk e-books.

Di Indonesia, beberapa upaya untuk mengembangkan broadband sudah dilakukan. Seperti dalam hal alokasi spektrum untuk generasi ke-3 atau 3G, dibukanya tender broadband wireless access (BWA), diberinya kesempatan trial LTE, mengeluarkan beberapa perijinan untuk pembangunan jaringan serat optik di beberapa wilayah—termasuk ke internasional, serta tarif layanan pita lebar yang makin terjangkau karena kompetisi yang dibangun secara sehat.

Namun begitu, tantangan yang dihadapi dan jadi pekerjaan rumah juga tidak sedikit. Sebab, hingga saat ini, kita belum mempunyai Rencana Broadband Nasional. Sehingga, jika banyak negara sudah mencanangkan visi "Broadband for All", di sini nampaknya baru sekadar wacana. Begitu juga dengan tidak adanya broadband leadership. 

Pekerjaan membangun dan memanfaatkan broadband untuk jadi alat pertumbuhan ekonomi, bukanlah pekerjaan satu sektor saja. Mau tidak mau, seorang Presiden harus menjadi komandan ekonomi baru yang menjadi tren dunia ini. Ini agar semua sektor dapat berkomunikasi dan diintegrasikan. 

Sehingga, kesulitan seperti menggunakan dana USO untuk pembangunan infrastruktur broadband atau pembentukan ICT Fund tidak terjadi karena dana ini bukanlah pendapatan negara, melainkan titipan konsumen telekomunikasi kepada negara agar dapat dipakai membangun wilayah-wilayah yang terbelakang secara infrastruktur. 

Tantangan infrastuktur bukanlah hal enteng, sebab kita masih butuh banyak infrastruktur broadband dari jaringan backbone, bakchaul sampai ke akses. 

Dan last but not least, adalah soal e-literacy. Walaupun ditargetkan separuh pendudu Indonesia terkoneksi ke internet dan seluruh desa sudah broadband di 2015, tanpa SDM yang secara cerdas dapat memanfaatkan broadband untuk kemajuan pendidikan, kesehatan, layanan pemerintahan, bisnis, perdagangan dan lain-lain, ya nampaknya kita hanya bisa bangga sebagai pengguna Facebook ke-2 di dunia saja, bukan pembuat aplikasi-aplikasi baru yang mendunia. 



*Penulis adalah pengamat teknologi informasi. Dapat dihubungi lewat redaksi @detikinet.comatau langsung ke herusutadi@hotmail.com, twitter: @herusutadi