28 April 2008

Dari Kartini, Marsinah, sampai Megawati


Mencermati naiknya Megawati Soekarnoputri menjadi Presiden RI ke-5, apalagi dikaitkan dengan gerakan perempuann khususnya dalam konteks yang disebut Orde Baru sebagai emansipasi memang sungguh menggoda. Sebab disamping kita melihat kemajuan signifikan yang telah dicapai perempuan, perhatian itu bisa merupakan analisis bagaimana metamorfosa gerakan perempuan berlangsung.

Untuk melihat benang merah ”menggeliat”-nya dunia perempuan, terutama di Indonesia, memang diperlukan kriteria tertentu karena banyak fenomena yang tentu tidak semuanya bisa dirangkul. Selain punya magnitude besar, kriteria lain yang digunakan adalah fenomena tersebut harus bisa mewakili perempuan pada zamannya. Fenomena itu adalah Kartini, tokoh emansipasi perempuan Indonesia, Pahlawan Buruh Marsinah dan Megawati. Ketiga fenomena ini akan dicoba dipertautkan dengan prediksi gerakan perempuan masa depan.



***


Nama Raden Ajeng Kartini tentu tak asing lagi bagi telinga rakyat Indonesia, terutama kaum perempuan. Sebab bukan saja karena tiap 21 April, hari lahirnya diperingati, tapi lebih dari itu. Kartini, disebut-sebut sebagai simbol perjuangan perempuan Indonesia yang dianggap sebagai penyebab perempuan Indonesia sekarang bisa berprestasi tinggi. Jadi presiden, menteri, duta besar, jenderal, pengusaha atau wakil rakyat.

Kartini adalah pejuang emansipasi perempuan.Walau perjuangannya melalui tulisan, anak RMAA Sosroningrat dan MA Ngasirah, yang diistilahkan Pramudya Ananta Toer sebagai ”Gadis Jepara” ini, merupakan perempuan progresif radikal pada zamannya.

Dalam surat-surat yang dikirim kepada sahabat-sahabatnya, Kartini melemparkan banyak gagasannya, mengurai cita-citanya, ulasannya serta kecamannya pada pemerintah Hindia Belanda. Tidak ketinggalan, timbulnya kesadaran pemikiran bahwa untuk mengangkat derajat perempuan Indonesia, pendidikan mutlak diperlukan.

Dalam surat yang ditujukan kepada Stella Zeehandelar, 12 Januari 1900, Kartini menulis: ”Orang-orang Belanda selalu menertawakan kebodohan rakyat kami. Tapi bila rakyat kami ingin maju, mereka selalu menghalang-halangi dan bahkan mengancamnya. Sekarang tahulah aku mengapa orang Belanda tak suka melihat orang Jawa maju. Apabila rakyat kami telah berpengetahuan, niscaya mereka tak mau tunduk begitu saja pada penjajah.” Gagasan-gagasan Kartini tentang perubahan nasib Hindia Belanda melalui peningkatan pendidikan rakyat, khususnya perempuan, merupakan gagasan progresif menyongsong masyarakat baru.

Kartini telah menunjukkan kemajuan daya pikirnya tentang pendidikan jauh sebelumnya, bahkan dibanding Boedi Oetomo sekalipun. Kartini tampil menyuarakan pendidikan untuk menyadarkan dan membuka wawasan pengetahuan rakyat.

***


Marsinah adalah sebuah petunjuk, mungkin lambang yang terang dan perih. Ia yang ditemukan terbunuh di sebuah dusun di daerah Nganjuk, telah menunjukkan bahwa hak asasi bukanlah sesuatu yang hanya dibicarakan sebagai sebuah benda yang datang dari luar dan bergulir jadi percaturan di antara orang-orang penting….”

Makna dan isi tulisan Goenawan Mohamad (Tempo, 8/1/94) yang sangat padat, mengajak orang untuk belajar dari Marsinahæburuh pabrik jam tangan di Sidoarjo, yang memimpin teman-temannya unjuk rasa menuntut perbaikan nasib sebagai buruh, kelaminnya ditusuk dengan besi dan kayu, mayatnya dibuang di sebuah gubuk di Nganjuk serta peraih Anugerah Hak Asasi Manusia Yap Thiam Hiem tentang banyak hal. Bisa simbol, perjuangan, hak asasi, pembantaian serta segudang pelajaran lain yang entah apa namanya.

Yang paling menarik, dengan kematian Marsinah, bisa jadi hal itu merupakan tanda bahwa perjuangan kaum perempuan, jika dibandingkan dengan era Kartini, sudah lebih maju. Kalau Kartini berjuang melalui tulisan, surat-suratnya, Marsinah berjuang untuk mendapatkan hak-haknya dengan tenaga secara frontal, bahkan mempertaruhkan nyawa. Termasuk perlawanannya terhadap kesewenangan lelakiæpengusaha yang di-back up aparat keamanan (pemerintah). Pada kasus ini emansipasi sudah lebih progesif dan revolusioner.

Dari hal itu terkandung isyarat, gagasan-gagasan Kartini tentang perubahan nasib melalui peningkatan pendidikan, mulai menampakkan hasil—kalau tak mau disebut bumerang.Pendidikan telah menyadarkan dan membuka wawasan pengetahuan rakyat agar hak-haknya tak diinjak-injak. Bedanya, jika sebelumnya pendidikan merupakan tujuan perjuangan, kini pendidikan dijadikan basic menjawab persoalan aktual dalam mencapai tujuan.

Salah satunya, seperti yang terjadi dengan Marsinah, pemberdayaan terhadap buruh. Marsinah jadi simbol perlawanan kaum buruh, simbol perlawanan manusia terhadap kesewenangan yang menginjak hak-hak asasi manusia.

Sehingga, kalau boleh disebut, perjuangan Marsinah diilhami atau merupakan implikasi dari perjuangan Kartini—meski Marsinah sendiri belum tentu tahu betul apa yang sesungguhnya diperjuangkan Kartini.

Dalam sebuah diskusi terbatas yang diadakan Komite Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan Ketua Komisi tersebut, Saparinah Sadli menyatakan bahwa saat ini gerakan perempuan tengah memasuki fase ketiga dalam sejarah perkembangannya. Setelah masa nasionalisme dan era Orde Baru, kaum perempuan berjuang untuk kepentingan bangsa.


Bahkan, dalam masa Orba terkooptasi untuk dan oleh kepentingan penguasa. Beberapa tahun terakhir ini perempuan Indonesia berjuang dengan perspektif menyuarakan kepentingan dan visi perempuan.Di awal gerakan reformasi, muncul kekuatan gerakan perempuan yang menolak dan melawan kecenderungan perempuan sebagai korban.

Bahkan, para ibu yang tergabung dalam Suara Ibu Peduli (SIP), banyak LSM perempuan yang sembunyi dalam masa represi seperti yang dialami Marsinah, bisa disebut sebagai tulang punggung gerakan reformasi yang menumbangkan Soeharto. Mereka memberi ”bahan bakar” bagi mahasiswa selama pendudukan gedung wakil rakyat.Di panggung politik, perempuan kini makin maju.

Yaitu, dengan duduknya Megawati Soekarnoputri sebagai presiden. Posisi ini bahkan sebenarnya telah dicapai di akhir 1999 lalu, jika saja saat pemilihan presiden tidak keluar fatwa yang menolak presiden wanita dan elite politik lainnya mengerti demokrasi dengan benar. Betapa tidak. PDI-P yang dipimpinnya dengan gemilang berhasil tampil sebagai partai dengan perolehan kursi terbesar dalam Pemilu bulan Juni 1999 dengan mengantongi sekitar 34% kursi di DPR.

Lebih penting lagi, Megawati sendiri diakui pernah mengalami represi begitu kejam dari Orde Baru dan sebagai tokoh utama dalam gerakan perlawanan terhadap dekade akhir rezim Soeharto ini. Dengan duduknya Megawati pada puncak kekuasaan, pada fase ini terlihat bahwa perempuan Indonesia telah berada pada puncak piramida perjuangannya. Setelah tahap perjuangan lewat pendidikan, kemudian pendidikan itu menumbuhkan kesadaran akan berbagai hal, perempuan Indonesia setahap demi setahap makin menunjukkan suara, eksistensi dan keberadaannya yang bisa disejajarkan dengan laki-laki.


***

Memprediksi gerakan perempuan Indonesia masa depan, sesungguhnya bisa dilihat dari apa yang dilakukan Megawati, untuk bisa mewakili suara dan kepentingan perempuan serta perhatiannya terhadap pemberdayaan perempuan.

Sebab jika tidak, Megawati tidak lebih dari sekadar simbol dari kekuasaan yang masih didominasi laki-laki, yang berada di sekelilingnya. Jika ini benar terjadi, tidak menggunakan kesempatan sebagai perempuan untuk memperjuangkan perempuan, hal itu merupakan antiklimaks gerakan perempuan. Sebaliknya, jika kepresidenan Megawati merupakan titik awal makin berperannya perempuan, untuk melihat salah satu probabilitas perempuan Indonesia masa depan lihatlah film lama berjudul ”Disclosure”.

Film yang dibintangi Demi Moore sebagai Meredith Johnson dan Michael Douglas sebagai Tom Sander, bercerita tentang kemajuan zaman yang pesat. Perempuan sudah sangat educated, bahkan sudah berdiri sejajar dengan pria. Sehingga, sah-sah saja jika ada perempuan yang ambisius dan rela melakukan apa saja demi mencapai tujuannya. Termasuk di dalamnya, penggunaan kekuasaan Meredith (sebagai atasan) untuk memenuhi nafsunya terhadap Tom (sebagai bawahan).

Meredith, pada kasus pelecehan seksual tersebut, menggunakan ”keberuntungannya” sebagai perempuan. Sebab, yang selama ini terdengar, kaum perempuanlah yang sering jadi korban pelecehan. Tak ada orang yang akan percaya kalau lelaki jadi korban pelecehan seksual.Fenomena film ini sungguh menarik Setelah perempuan sampai pada puncak paramida perjuangannya—alami atau paksaan, maka terjadilah kesejajaran total antara pria dan perempuan.

Pada satu sisi, terciptanya konsep kesejajaran total ini jelas memberi keuntungan tersendiri. Namun pada sisi lain, tak dapat dielakkan, hal itu akan menimbulkan ketakutan—terutama bagi kaum lelaki. Akankah perempuan fair dengan konsep kesejajaran itu? Sebab sudah telanjur beredar stereotype di masyarakat tentang apa-apa yang sudah terlalu sering dilakukan laki-laki dengan superioritasnya terhadap perempuan, dibanding superioritas perempuan terhadap lelaki.

Meski film ini mungkin merupakan pengecualian perjuangan Kartini, yang menyalahgunakan keperempuanannya untuk mencapai tujuan, cepat atau lambat fenomena seperti ini akan hadir di sekitar kita.Bahkan, bisa jadi telah hadir karena begitu banyak pula kasus yang mengisyaratkan adanya kekerasan terhadap laki-laki yang dilakukan perempuan. Kalau hal itu benar terjadi, agaknya bukan sebuah kemustahilan pula jika suatu saat akan ada fenomena memperjuangkan hak-hak lelaki. Siapa tahu?

26 April 2008

Duh...Kasihan Nasib TKI Kita


NASIB Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang mencoba mengadu nasib ke luar negeri benar- benar sial. Di negara tujuan, banyak TKI menjadi korban kekerasan sampai kematian. Kalaupun selamat hingga tiba kembali ke Tanah Air, begitu turun dari pesawat di bandara, bukan sambutan "pejuang devisa" didapat. Mereka justru menjadi korban pemerasan.

Namun, meski telah banyak korban jatuh, penanganan terhadap kekerasan dan pemerasan terhadap TKI tidak menunjukkan perkembangan berarti. Bahkan, kasus TKI korban kekerasan di luar negeri menumpuk dan pemerasan di dalam negeri tidak berkurang. Hal itu terjadi karena semua pihak yang terkait masalah TKI ikut memberi andil terjadinya kasus buruk yang menimpa TKI.

Pangkal dari masalah TKI terjadi sejak di Tanah Air, sejak niat untuk menjadi calon TKI muncul. Kasus yang terjadi di Indonesia begitu khas. Niat menjadi TKI lebih banyak didominasi masalah uang agar TKI bisa lepas dari belenggu kemiskinan. Niat baik itu tidak diikuti pendidikan memadai sehingga menjadi TKI lebih didorong kenekatan. Nekat mengadu nasib di negeri orang dengan bayaran uang asing, yang tentu lebih besar dari pekerjaan serupa di Tanah Air.

Dengan pertimbangan ekonomis itu, calon TKI "rela" membayar PJTKI sekitar Rp 5 juta. Jika bernasib baik, tawaran sebagai pembantu rumah tangga, penjaga toko, maupun sopir disambutnya. Meski telah mengalami "gemblengan" di penampungan PJTKI, dengan kondisi memprihatinkan, bekerja di luar negeri tentu berbeda dibandingkan dengan di dalam negeri. Selain sistem dan lingkungan kerja, yang tak bisa diabaikan begitu saja adalah kultur, kondisi geografis, dan aturan hukum yang berlaku di negara yang dituju. Dalam banyak kasus, miskinnya pengetahuan mengenai hal itu terkalahkan oleh tekad mengubah nasib.

Inilah masalahnya. Ketidaktahuan akan kultur membuat sering terjadi kesalahpengertian antara majikan dan pekerja. Bayangan untuk bisa bercengkerama antarpekerja, seperti di Tanah Air, tidak dapat dilakukan karena secara budaya negara yang dituju bersifat individualistis. Bagi yang bekerja di Timur Tengah, kondisi geografis mempengaruhi tingkat kebetahan bekerja. Kekerasan bisa diakibatkan karena ketidakbetahan pekerja yang membuat majikan marah. Ini diperparah jarak antarrumah yang cukup jauh dan lingkungan kerja yang tertutup seperti benteng. Kasus penganiayaan maupun pemerkosaan begitu terbuka untuk terjadi tanpa dapat diketahui banyak orang.

Minimnya pengetahuan tentang aturan hukum yang berlaku dan ke mana mengadu, membuat banyak pekerja, terutama tenaga kerja wanita (TKW) yang menjadi korban kekerasan hanya bisa pasrah. Syukur bila ada pekerja Indonesia, atau negara tetangga, berbaik hati menyelamatkan mereka. Sebab, untuk kabur-biasanya disebut dengan istilah kaburan-pun tidak mudah. Jika tertangkap, penjara balasannya.

Lepas dari kasus penganiayaan di negeri orang, tak berarti TKI yang kembali ke Tanah Air lepas dari masalah. Karena menganggap mereka yang baru kembali dari luar negeri membawa banyak uang hasil keringat mereka bertahun-tahun, TKI pun menjadi obyek pemerasan. Apalagi di Bandara Soekarno-Hatta yang begitu jelas dibedakan, mana TKI dan mana mereka "turis", dengan pembedaan terminal kedatangan. Akibatnya, mereka yang ingin memeras TKI lebih terfokus.

Bukan rahasia lagi jika untuk membawakan satu koper saja, pemeras menggotongnya beramai-ramai hingga empat atau lima orang dan meminta bayaran di atas normal dan per orang bukan per koli. Bukan rahasia TKI yang tidak dijemput keluarga maupun PJTKI harus mengeluarkan uang "pengertian" agar bisa lepas dari bandara. Yang memilukan, uang hasil jerih payah TKI di negara orang amblas karena terhipnotis penjahat yang mangkal di bandara, termasuk pembajakan bus yang mengangkut TKI di perjalanan.

Sebelum berangkat ke negara tujuan, sebetulnya TKI telah menjadi obyek pemerasan dan penipuan. Penipuan terjadi karena bergentayangannya pencari kerja atas nama PJTKI tertentu, yang ternyata PJTKI palsu alias "bodong". Pemerasan terjadi saat TKI ingin segera diberangkatkan ke luar negeri. Karena lowongan kerja bersifat rebutan, siapa sanggup membayar lebih dari nilai yang telah ditetapkan, yang bersangkutan diiming-imingi segera dikirim.

Persoalan utama tidak henti-hentinya kasus yang menimpa TKI karena TKI hanya dilihat sebagai komoditas. Akibatnya, tidak ada arah jelas mengenai pengiriman TKI ke luar negeri. Kita mestinya melihat negara tetangga Filipina. Mayoritas, mereka mengirim tenaga kerja ke luar negeri sebagai tenaga kerja terdidik. Jadilah banyak pekerja negara ini mengisi posisi paramedis ataupun engineer. Berbeda dengan kita yang mayoritas menjadi tenaga kerja tidak terdidik.

Meski tidak pada posisi yang menguntungkan dan menyenangkan, mengalirnya TKI ke luar negeri akibat jasa tenaga kerja menjadi pasar yang menjanjikan harapan. Bagi TKI, kerja ke luar negeri diharapkan bisa memberi penghasilan lebih besar. Bagi PJTKI, pengiriman tenaga ke luar negeri merupakan lahan bisnis empuk, di mana mereka bisa "bermain" lewat biaya pengiriman TKI, jasa penampungan, dan potongan harga pesawat. Pemerintah, selain mengurangi pengangguran, ekspor tenaga kerja diharapkan menambah devisa dari penghasilan yang dikirim maupun di bawa TKI ke tanah air.

Meski sebagai pejuang devisa, yang disayangkan belum adanya peraturan perundang-undangan yang menjamin keselamatan TKI yang bekerja di luar negeri. Jika hanya mengandalkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No 104A, keefektifannya diragukan sebab hanya bersifat sektoral terkait Depnaker saja. Selain itu, hingga kini pemerintah memberangkatkan TKI ke luar negeri hanya memberangkatkan saja. Jaminan keselamatan di negara tujuan tidak terjamin karena tidak adanya kesepakatan bersama negara penerima TKI.
Akibatnya, seperti banyak kasus di Arab Saudi, masalah TKI diselesaikan menurut wewenang pemerintah setempat dan posisi pemerintah kita tidak bisa mengintervensi keputusan yang mereka ambil.

Meski dalam cerita, tidak tertutup kemungkinan banyak TKI mendapat posisi cukup baik dan perlakuan begitu baik dari majikan. Bahkan, saat pulang tidak hanya diantar hingga bandara setempat, namun hingga sampai ke Indonesia. Perlakuan atas TKI tampaknya berbeda tergantung negara penerima. Apalagi di negara maju, yang begitu menghargai pekerja sebagai aset perusahaan.

Hanya saja sambil menunggu lahirnya UU Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Luar Negeri (PPTKLN) serta kesepakatan jelas dan menjamin TKI dengan negara penerima, baiknya semua bentuk pengiriman tenaga kerja dihentikan sementara. Jika tidak, kasus menyangkut TKI akan kian bertumpuk, sementara pemerintahnya tak bisa berbuat apa- apa. Padahal, pemerintah tetap merupakan kunci harapan perbaikan penanganan masalah TKI. Pedulikah?

18 April 2008

UU ITE dan Tantangan "Cybercrime"

Setelah menanti bertahun- tahun, DPR mensahkan Rancangan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau ITE menjadi undang-undang.

Walaupun bagi sebagian kalangan kebutuhan akan UU yang mengatur informasi dan transaksi elektronik dirasa terlalu mewah dan tidak mempunyai dampak besar terhadap kehidupan bermasyarakat dan bernegara, namun sesungguhnya bangsa ini memerlukan kepastian hukum menyangkut hal-hal yang berbau elektronik, apalagi dengan berubahnya modus kejahatan yang tadinya bersifat offline (tradisional) menjadi online sebagai akibat kemajuan teknologi informasi dan komunikasi.

Penting untuk dicatat, meski penetrasi semisal internet di Indonesia masih cukup rendah, namun posisi Indonesia di dunia hitam kejahatan cyber cukup disegani. Nama Indonesia naik turun dalam posisi dominan kejahatan internet, seperti dicatat AC Nielsen tahun 2001 Indonesia berada pada posisi keenam terbesar di dunia atau keempat di Asia dalam tindak kejahatan cyber. Kemudian data ClearCommerce yang bermarkas di Texas, Amerika Serikat, mencatatkan, pada 2002 Indonesia berada di urutan kedua setelah Ukraina sebagai negara asal carder terbesar di dunia.

VeriSign, perusahaan keamanan teknologi informasi dunia, mencatat bahwa Indonesia berada pada peringkat paling atas di dunia dalam hal persentase kejahatan penipuan perbankan di dunia. Sementara dalam hal kuantitas, posisi Indonesia berada di urutan ketiga. Karena dicap sebagai sarang teroris dunia maya, orang Indonesia yang ingin berbelanja lewat internet sering tidak dipercaya lagi oleh merchant luar negeri.

Kompleks
Satu kata yang dapat menggambarkan apa yang disebut dengan cybercrime adalah kompleks. Hal itu dikarenakan hampir semua kejahatan yang bersifat kejahatan tradisional dengan bantuan teknologi informasi dapat berubah menjadi kejahatan baru yang kemudian dapat disebut sebagai cybercrime. Ada beberapa terminologi yang dipakai mengenai cybercrime.
Krone (2005) mengatakan, cybercrime adalah kriminalitas terhadap data dan hak cipta. Ini kemudian ditambahkan termasuk fraud, unauthorized access, pornografi anak, dan cyberstalking (Zeviar-Geese, 1997). Terminologi lain yang mungkin dapat mewakili pengertian cybercrime adalah kejahatan yang melibatkan komputer atau jaringan sebagai alat, target, ataupun tempat melakukan kriminalitas (Wikipedia).

Dalam catatan beberapa literatur dan situs-situs yang mengetengahkan cybercrime, berpuluh jenis kejahatan yang berkaitan dengan dunia cyber. Yang masuk dalam kategori kejahatan umum yang difasilitasi teknologi informasi, antara lain penipuan kartu kredit, penipuan bursa efek, penipuan perbankan, pornografi anak, perdagangan narkoba, serta terorisme. Sementara itu, kejahatan yang menjadikan sistem dan fasilitas teknologi informasi sebagai sasaran, di antaranya denial-of-service attack, defacing, cracking, ataupun phreaking.

Kejahatan internet yang marak di Indonesia meliputi penipuan kartu kredit, penipuan perbankan, defacing, cracking, transaksi seks, judi online, dan terorisme dengan korban berasal selain dari negara-negara luar—seperti AS, Inggris, Australia, Jerman, Korea, dan Singapura—juga beberapa daerah di Tanah Air.

Yang cukup menarik adalah judi lewat media internet. Walaupun pihak kepolisian begitu gencar dan menyatakan perang terhadap judi, namun ternyata hanya beberapa ratus meter dari Istana Negara kemudian diketahui menjalankan bisnis judi lewat internet dengan alamat www.indobetonline.com.

Untuk memerangi kejahatan cyber yang telah, sedang, dan akan muncul, mendesak diperlukannya kepastian hukum. Idealnya kita memiliki cyberlaw yang menjadi payung bagi aturan-aturan yang terkait dengan dunia cyber, namun karena RUU ITE telah menempuh waktu yang lama untuk dibawa ke parlemen dan dibahas, UU ITE sesungguhnya dapat pula dijadikan payung karena beberapa hal yang terkait dengan kepastian hukum mengenai informasi elektronik telah diadopsi UU ITE semisal perebutan nama domain, HAKI, perlindungan informasi pribadi, hacking, cracking, carding, serta perdagangan password.

Tak ketinggalan adalah UU ini juga mengikuti tren kejahatan cyber yang mengglobal, seperti kasus penipuan lewat e-mail yang dilakukan penjahat cyber dari negara-negara seperti Nigeria, Afrika Selatan, yang banyak menelan korban orang Indonesia. Itu artinya, yurisdiksi UU nantinya berlaku di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan untuk setiap orang di luar Indonesia yang melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam UU tersebut yang akibatnya dirasakan di Indonesia.

Begitu juga pengadilan di Indonesia berwenang mengadili setiap tindak pidana di bidang teknologi informasi yang dilakukan oleh setiap orang, baik di Indonesia maupun di luar Indonesia, yang akibatnya dirasakan di Indonesia.

Namun begitu, pengesahan UU ITE bukanlah akhir cerita dan jadi jaminan bahwa kejahatan
cyber akan berkurang. Hanya berselang dua hari setelah UU ini disahkan, situs www.depkominfo.go.id di-deface hacker. Selain kasus ini menjadi tantangan dan pekerjaan rumah (PR) pertama sejak UU ITE disahkan, PR lainnya adalah dibutuhkannya segera peraturan pemerintah sebagai penjabaran apa yang menjadi semangat UU ITE.

Selain itu, agar efektif, perlu juga dijalin kerja sama antardepartemen dan instansi dalam lingkup nasional, regional, maupun global. Pengetahuan masyarakat untuk dapat menggunakan teknologi informasi secara bertanggung jawab dan aman juga perlu ditingkatkan. Begitu juga dengan peningkatan pengetahuan dan kemampuan penegak hukum (polisi, jaksa, hakim) mengenai seluk-beluk cybercrime. Tak ketinggalan adalah perlunya segera lembaga yang bertanggung jawab terhadap ”keamanan” cyber guna memantau lalu lintas traffic data walau bukan untuk menyadap. Muaranya jelas agar Indonesia tidak akan terisolasi dari ekonomi digital yang mengglobal.

13 April 2008

Tantangan Industri Konten ke Depan

Setelah dimulainya pemberian layanan telepon bergerak seluler generasi ketiga (3G) secara komersial oleh lima operator telekomunikasi (Hutchison CP Telecommunication, Natrindo Telepon Seluler, Telkomsel, Excelcomindo Pratama dan Indosat), itu artinya Indonesia telah memasuki babakan baru dalam industri teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dari narrowband (pita sempit) ke arah broadband (pita lebar). Setelah 3G, telah menunggu giliran pula teknologi WiMax untuk diadopsi dan generasi keempat telepon bergerak seluler (4G) yang kini masih dalam tahap pengembangan.

Selain menyangkut seberapa jauh infrastruktur dengan teknologi pita lebar tersebut menjangkau masyarakat, yang tak bisa diabaikan adalah layanan apa saja yang bisa disajikan bagi penggunanya. Apalagi jika 4G sudah hadir, dengan kemampuan transmisi data hingga 155 Mbps atau setara 1890 kanal 64 Kbps. Melalui pengalaman beberapa negara yang telah lebih dulu mengimplementasi pita lebar, konten mempunyai peran strategis. Tanpa konten yang menarik, menghibur maupun mendidik, infrastruktur yang ada dapat diibaratkan jalan tol berlajur banyak yang hanya dilalui sebuah motor bebek saja, yang tentunya mubazir.

Mengingat perannya yang cukup siginifikan, baiknya pembicaraan soal TIK tidak melulu didominasi perdebatan mengenai adopsi teknologi saja—semisal 3G, WiMax, NGN, 4G, serta apakah menggunakan jaringan publik atau jaringan private, tapi juga perlu dibarengi dengan gugatan, konten apakah yang akan diberikan pada masyarakat agar masyarakat Indonesia menjadi cerdas, tidak menjadi korban terpaan teknologi serta masyarakat yang sejahtera sebagai muaranya.

Cukup menarik untuk melihat bagaimana perkembangan konten dalam industri TIK di sini. Ada beberapa hal yang bisa dicatat. Pertama, terjadinya pasang surut layanan konten Indonesia. Ini dapat dilihat dari konten dotcom lokal yang menggurita saat menjelang dan beberapa tahun setelah masa reformasi di tahun 1998, namun setelah itu hanya beberapa yang mampu bertahan dan dikategorikan sukses. Walaupun belum optimal, beruntung kini hampir seluruh pemerintahan dari pusat hingga daerah bisa diakses melalui internet.

Yang juga ke arah surut saat ini adalah layanan premium call. Pada awalnya layanan ini begitu diminati, namun karena stigma negatif sebagai layanan esek-esek dengan iklan-iklan yang menggoda dan menampilkan wanita dengan busana minim, layanan ini ditinggalkan. Berbeda dengan premium call, SMS premium saat ini sedang mendaki masa keemasannya. Meski begitu, waktu akan menguji apakah layanan ini juga akan ditinggalkan seiring dengan makin banyaknya penyedia konten nakal yang menguras pulsa konsumen.

Kedua, dengan pita yang kian lebar, layanan seperti video call, mobile TV maupun video on demand, mulai ditawarkan ke publik. Namun, disebut-sebut hampir sama dengan konten televisi kita yang bersifat latah dan hampir senada dengan dipenuhi tayangan mistik, sinetron ABG dan berita gosip, belum terlihat layanan yang menjadi ciri khas operator 3G di sini. Dikhawatirkan, tanpa variasi layanan untuk memaksimalkan lebar pita yang ada, yang akan menjadi killer application tetap saja suara (voice), sehingga, ilustrasi motor di jalan tol terjadi.

Dan ketiga, bersamaan dengan maraknya investasi asing di sektor TIK kita, termasuk penguasaan asing di beberapa operator telekomunikasi, industri konten juga tidak bisa menghindari hal itu. Mayoritas industri konten Indonesia saat ini juga dikuasai asing. Hal ini tentu memprihatinkan dan membuat kita bertanya-tanya apakah orang Indonesia tidak ada yang pintar untuk membuat konten yang bagus. Ataukah memang, kepintaran orang-orang kita di bidang TIK hanya yang negatif saja, semisal cybercrime yang selalu masuk dalam urutan 10 besar di dunia?

Sebenarnya peluang untuk berusaha di bidang konten cukup terbuka hanya memang diperlukan kreativitas. Misalnya saja mengembangkan konten yang melibatkan media semacam televisi, diperkirakan layanan itu akan mendapat sambutan yang cukup signifikan. Hal itu sesuai dengan suasana bangsa ini yang sedang bergerak ke arah demokratisasi, dimana masyarakat ingin dilibatkan dalam berbagai aktivitas dan didengarkan pendapatnya.

Apalagi, sekarang ini pun banyak dilakukan program-program televisi yang mencari idola, baik itu dalam bidang musik, lawak maupun atlet secara instan. Audisi yang biasanya dilakukan berpusat di satu tempat, dengan fasilitas seperti teknologi 3G, hal itu dapat dilakukan hanya dari rumah sehingga tanpa harus mengeluarkan dana untuk transportasi dan akomodasi. Bahkan kalau perlu pendapat masyarakat melalui polling, SMS dan internet dapat dimanfaatkan.

Permainan (games) serta musik bergerak dapat dielaborasi juga untuk meramaikan industri konten. Di Eropa, pasar games meningkat sebesar 77.2 % per tahun dan akan tetap pada angka itu hingga 2010. Sementara untuk musik, akan terbangun pasar yang memungkinkan layanan jaringan seperti MP3 dan realtone download. Termasuk dengan kemampuan handset dan memory card untuk dapat menyimpan ratusan bahkan ribuan lagu serta dapat menyajikan musik dengan kualitas suara yang prima.

Mobile TV juga dipercaya mempunyai masa depan yang potensial, apalagi televisi begitu penting terhadap kehidupan keseharian banyak orang. Hanya, seperti kasus Indonesia, TV telah menjadi ‘tamu tak diundang yang selalu datang’ karena tak berbayar. Sehingga, untuk menjadikan TV kemudian berbayar tidaklah mudah. Di sisi lain, dengan tanpa bayar, maka operator tidak kebagian apa-apa karena seluruh pemasukan menjadi hak stasiun televisi.

Yang mungkin terjadi adalah operator akan menyajikan layanan video atau informasi berdasar pesanan pengguna, atau bisa juga operator seluler membuat stasiun televisi sendiri. Dengan begitu, operator akan mendapat pemasukan semisal dari iklan, sehingga tayangan televisi dapat dinikmati pengguna secara gratis. Tentu saja, hal-hal yang terkait dengan regulasi penyiaran ini perlu dipertegas sejak awal agar operator tahu apa saja yang harus dilakukan dan ke mana perijinan diminta.

Sementara itu, melihat potensinya yang besar, industri konten dalam negeri perlu mendapat perhatian karena konten yang bersifat lokal akan lebih mampu menarik pelanggan menggunakan teknologi pita lebar. Konten-konten yang memberikan pendidikan alternatif juga selayaknya mendapat tempat tersendiri. Untuk itu, pola kerja sama yang selama ini dikembangkan, ada baiknya ditinjau ulang mengingat banyak penyedia konten yang mendapat perlakuan tidak adil, dengan pembagian keuntungan yang kecil serta target yang cukup tinggi, dari operator. Dengan kondisi seperti itu, hanya penyedia konten besar, sering berpromosi lewat televisi dan menampilkan selebritas saja yang mampu hidup.

Aturan yang jelas dan tegas juga perlu diberlakukan terhadap penyedia konten, termasuk operatornya. Selain agar konsumen tidak dijadikan ‘mesin ATM’ yang setiap saat dapat dikuras uangnya, juga agar industri konten tidak tercemari oleh penyedia konten nakal, yang bisa-bisa membuat masyarakat tidak percaya dan tertarik lagi apapun konten yang ditawarkan. Kalau sudah begitu, bukan saja penyedia konten saja yang dirugikan, tapi juga industri TIK secara keseluruhan menjadi tidak menarik dan berguna lagi. Peran regulator dinantikan di sini.

05 April 2008

Merindukan Iklan Telekomunikasi Bernilai Tambah





Jika kita cermati iklan-iklan operator telekomunikasi yang ada di media cetak dan elektronik beberapa waktu terakhir ini, ibaratnya seperti menonton ”perang”. Para operator seakan tak pernah kehabisan kreativitas untuk saling mencela dan menjatuhkan satu sama lain. Meski awalnya, sejak pertengahan tahun silan, masih terkesan malu-malu.

Dimulai oleh Esia—dengan bintang iklannya Ringgo Agus Rahman—mulai meledek operator lain melalui visual warna-warna yang dianggap mewakili operator GSM yang ingin diusiknya, seperti biru XL, kuning Indosat dan merah Telkomsel. Rupanya gayung bersambut, dan makin ke sini, perang makin vulgar, tak cuma menyentuh area visual, tapi juga dengan ungkapan verbal yang saling menyudutkan operator lain.

Telepon bergerak, meski penetrasinya baru sekitar 40%, namun potret ramainya ”perang” iklan menggambarkan betapa ketatnya persaingan di industri telekomunikasi Indonesia. Perebutan pasar yang ada, bahkan terkesan lebih keras ketimbang persaingan di industri lain, semisal industri kartu kredit.

Bahkan jika ditelaah lebih dalam, di industri kartu kredit, peperangan sebenarnya lebih seru. Bukan rahasia lagi, kartu kredit bank A dalam mengakusisi pelanggan baru menawarkan program transfer tagihan. Tagihan seseorang di kartu kredit bank A akan dilunasi bank B. Dan si pemegang kartu di bank A, cukup melunasi utangnya tanpa bunga setelah memegang kartu kredit bank B. Kalau kita menggunakan terminologi negatif, ini adalah saling caplok nasabah. Cuma dalam komunikasinya, bank penerbit kartu kredit tak pernah mendiskreditkan atau mencela produk dan layanan kompetitornya.

Di industri telekomunikasi, persoalannya serupa. Pelanggan baru bisa saja berasal dari pengguna ponsel baru, atau pelanggan operator lain. Saat ini, sepertinya pelanggan operator lainlah yang dibidik oleh semua operator, sehingga komunikasinya terkesan mati-matian menjelekkan kompetitornya. Misalnya saja iklan operator CDMA—yang dalam hal ini operator fixed wireless access (FWA) yang terang-terangan menganggap operator GSM jauh lebih mahal ketimbang CDMA, walau kita ketahui bahwa ada juga operator yang menggunakan teknologi CDMA tapi memiliki lisensi seluler. Atau, antaroperator seluler yang membanding-banding harga antara layanan yang diberikan dengan layanan operator seluler lain lengkap dengan embel-embel tambahan semisal ”Tong Kosong Berbunyi Nyaring”.

Merupakan hal lumrah, ketika penetrasi pasar meluas dan masuk ke segmen yang lebih bawah, maka taktik yang digunakan adalah tarif. Karena, biasanya segmen ini lebih sensitif terhadap harga. Dan jika kemudian ada sejumlah operator yang masuk dan berebut di pasar, perang tarif pun tak bisa dihindari. Setelah menawarkan Rp. 10/detik, ada operator memberikan Rp. 1/detik, yang kemudian dibalas dengan iklan operator lain Rp. 0,5/detik, lalu Rp. 0,1/detik serta terakhir Rp. 0,000…1 (dengan banyak nol di belakang koma) per detik. Selain membuat iklan satu halaman di media cetak nasional, bintang-bintang cantik dan lucu pun ditampilkan untuk memancing perhatian pengguna baru dan mempertahankan pelanggan lama.

Perang tarif, yang kemudian diikuti dengan penurunan tarif, tentu menguntungkan bagi pengguna layanan telekomunikasi. Dan ini rasanya sah-sah saja. Dimana pelanggan selular bisa mendapatkan layanan dengan harga yang makin murah, dan tentunya layanan yang tetap berkualitas. Hanya sayangnya, penurunan tarif ini tidak diimbangi dengan komunikasi yang memadai, yang bisa menjelaskan tentang keunggulan program masing-masing operator.
Yang ada, para operator malah sibuk beriklan dengan pesan yang intinya mengatakan program operator lain lebih jelek, atau tarif yang diberikan operator lain itu palsu, menjebak dan sebaginya. Dan kemudian yang terekam di benak pelanggan bukan lah pada keunggulan masing-masing program operator, tapi justru trik-trik dan gaya yang dipakai dalam promosi tarif. Realitas ini juga menjadi perhatian regulator telekomunikasi yang menilai iklan-iklan tarif telekomunikasi saat ini kerap menyesatkan karena tidak informatif.

Disebut tidak informatif, hal itu karena informasi yang disampaikan sering tidak lengkap. Misalnya tarif promosi sekian rupiah, di situ tidak disebutkan apakah untuk sesama operator atau lintas operator. Dengan informasi yang hanya sepotong, bisa saja masyarakat tertipu karena langsung beranggapan bahwa harga tersebut memang murah. Selain tidak informatif, pola iklan tarif sekarang yang lebih banyak saling serang untuk mempromosikan tarif baru yang diklaimnya termurah.

Tentu jadi pertanyaan, apa esensi dari tarif Rp. 0,0000…1 yang ditawarkan, benarkah pelanggan mendapatkan layanan yang “nyaris” gratis. Secara bisnis tentu saja tak ada pedagang yang mau jual dengan hasil kosong. Kemudian, bagaimana dengan program yang diklaim tanpa syarat dan ketentuan berlaku, namun sebaliknya justru makin penuh dengan syarat dan ketentuan. Begitu juga dengan operator FWA berteknologi CDMA, sesuai KM. 35/2004, dengan mobilitas terbatas pada satu kode area, wajar jika FWA menawarkan tarif yang lebih murah dibanding seluler.

Perang tarif yang diusung dengan iklan yang begitu gencar, memang dalam waktu singkat bisa menggelembungkan jumlah pelanggan. Karena memang banyak yang terbujuk ”kemurahan” harga. Namun, dengan ”perang” iklan yang saling menjatuhkan dan tak memberi edukasi kepada pengguna secara memadai, tentu saja tidak akan sehat bagi industri ini. Apalagi ketika tarif yang dikedepankan, tak ada batas how low can you go dan 1001 jurus gimmick marketing bisa dikeluarkan.

Tentu hal ini menjadi tantangan bagi semua operator untuk bisa keluar dari zone peperangan iklan dan menciptakan selling point yang berbeda. Apalagi, pada akhirnya, tarif murah tak cukup untuk mempertahankan pelanggan, tapi juga diperlukan kualitas jaringan seperti success call ratio, penanganan gangguan jaringan, drop call maupun kecepatan pelayanan pelanggan (customer care).

Selain informasi yang lengkap tentang tarif yang diberikan, alangkah cantiknya jika dalam iklan-iklan mendatang para operator juga berpikir untuk mengedepankan informasi mengenai quality of services serta informasi-informasi lain yang bernilai tambah seperti penjelasan mengenai perbedaan layanan-layanan telekomunikasi sehingga layanan yang satu bisa lebih murah dibanding layanan lain, memberikan pencerahan pada konsumen untuk menggunakan telepon secara bijak, serta informasi mendidik lainnya yang berguna bagi konsumen. Bahkan dalam skala nasional, dirindukan iklan-iklan yang dapat ikut serta membangun karakter bangsa. Kita tunggu saja!