14 Desember 2008

IPTV: Potensi dan Regulasi

Televisi berbasis protokol internet dipercaya akan menjadi salah satu killer applications layanan yang mengonvergensikan telekomunikasi, penyiaran, dan informatika pada masa depan. Mengacu pada analisis Gartner, saat ini pelanggan IPTV dunia naik 64 persen dibandingkan tahun sebelumnya sehingga mencapai 19,6 juta. Selain pengguna, pendapatan pun naik 93,5 persen hingga menjadi 4,5 miliar dollar AS.

Televisi berbasis protokol internet (IPTV) yang menawarkan layanan lebih daripada sekadar internet TV makin berkembang sejak tahun 2007. Hal itu didorong dengan hadirnya para pemain baru, misalnya YouTube, situs jejaring sosial seperti MySpace dan Facebook, serta munculnya beberapa layanan baru oleh broadcaster, seperti Hulu dari NBC dan News Corp. Dengan demikian, tidak mengherankan jika Multimedia Research Group memprediksi bahwa pelanggan IPTV tahun 2009 akan meningkat menjadi 36,9 juta.

Di Indonesia, yang serius akan segera memasuki bisnis ini adalah PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom). Dari berita media massa, dikatakan bahwa PT Telkom, PT Indonusa Telemedia (TelkomVision), dan PCCW International Limited telah menandatangani kerja sama untuk penyediaan layanan IPTV di sini. Adapun mengapa PCCW yang digandeng disebut-sebut bahwa PCCW dianggap sukses mengoperasikan salah satu IPTV komersial terbesar di dunia dan pertama kali memperkenalkan teknologi quadruple play di Hongkong, yang memungkinkan media konten dan layanan interaktif disalurkan melalui platform fixed line, broadband internet, TV, dan seluler.

Di Asia, IPTV telah menjadi primadona penyumbang pendapatan, seperti dialami PCCW di Hongkong, Telekom Malaysia, dan SingTel. Potensi IPTV di Indonesia cukup besar. Berdasarkan Roadmap Infrastruktur Telekomunikasi yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi tahun lalu, diperkirakan akan ada 4,8 juta pengguna IPTV tahun 2011. Angka tersebut memang merupakan angka realistis mengingat bahwa saat ini saja sudah begitu marak hadir layanan video streaming (broadcasting) melalui melalui situs-situs, seperti Kompas.com, Detik.com, OkeZone.com, serta TV streaming dari TV One dan SCTV.

IPTV merupakan sistem di mana layanan televisi digital dikirimkan dengan menggunakan internet protokol melalui infrastuktur jaringan. IPTV menawarkan kualitas layanan end-to-end berbeda dengan internet TV yang berbasis best effort untuk inovasi yang tak terbatas, seperti siaran televisi, video on demand, personal video recorder, pay per view dari siaran langsung, high definition TV, serta personalisasi tayangan.

Arsitektur IPTV memang beragam, tetapi kecenderungannya adalah berbasis Next Generation Networks (NGN) sebagaimana telah didefinisikan dalam ITU-T Y.2012 mengenai NGN Framework Reference Architecture. IPTV berbasis NGN menggunakan Network Attachment Control Functions (NACF) untuk fungsi otentifikasi dan konfigurasi IP, Resource and Admission Control Functions (RACF) untuk fungsi kontrol sumber daya dan izin masuk, serta Service Control Functions (SCF) untuk fungsi kontrol layanan.

Karena berbasis NGN dan protokol internet, isu teknis IPTV tidak bisa diabaikan begitu saja, Seperti dalam hal interkoneksi dan routing. Paradigma interkoneksi dan routing yang selama ini lebih bersifat ”best effort” harus diubah ke arah berbasis kualitas layanan (quality of service, QoS) sebab kebutuhan lebar pita untuk format video MPEG-4 berkisar dari 5 kbps hingga 4 Mbps. Tanpa mengubah rezim interkoneksi dan pemikiran mengenai routing, layanan berkualitas end-to-end tentu sulit didapatkan.

Yang menarik, selain QoS, IPTV juga harus memerhatikan kualitas pengalaman dari pengguna (quality of experience, QoE). Hal itu karena sifat kualitas layanan yang diberikan haruslah end-to-end sebab belum tentu layanan yang keluar dari jaringan penyedia layanan IPTV sama kualitasnya dengan yang dinikmati pengguna. Dengan demikian, ada rekomendasi standar minimal untuk QoE yang menyangkut hal-hal teknis, seperti jitter, durasi maksimum atas error tunggal, error tiap empat jam maupun banyaknya paket yang hilang, periode kehilangan, dan rata-rata kehilangan dalam pengiriman video streaming berbasis IP.

Selain isu teknis, isu lain yang tidak kalah pentingnya adalah terkait dengan regulasi. Pertama adalah bagaimana menghitung dan mengatur perubahan rezim interkoneksi dari berbasis biaya (cost based) ke QoS based dengan pengembangan layanan berbasis internet protokol. QoS based merupakan alternatif biaya interkoneksi pada jaringan berbasis IP, selain berdasar volume based. Interkoneksi ini punya korelasi kuat dengan tarif ritel yang ditawarkan kepada pengguna.

Kedua, mengatur standar minimal kualitas pelayanan. Seperti dijelaskan sebelumnya, ada kualitas pelayanan (QoS) dan kualitas pengalaman dari pengguna (QoE). Jika melihat rekomendasi yang dikeluarkan ITU, sedikitnya ada 13 rekomendasi yang terkait dengan QoS.
Sementara untuk QoE, rekomendasi dibedakan pada transport bit stream-nya 8 Mbps, 10 Mbps, atau 12 Mbps, di mana masing-masing mempunyai tolok ukur minimum yang berbeda.

Ketiga, bagaimana mengatur, siapa yang akan mengatur dan mengawasi serta perizinan apa saja yang diperlukan untuk memberikan layanan IPTV. Persoalan ini menjadi krusial sebab ketika kita bicara teknologi berbasis IP, itu artinya sudah mengarah ke konvergensi. Kendalanya, sektor telekomunikasi, penyiaran, dan informatika punya undang-undang (UU) yang berbeda dengan persoalan yang berbeda.

Seperti UU Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, yang dibangun dalam nuansa teknologi berbasis TDM, belum berbasis IP. Adapun UU No 32/2002 tentang Penyiaran lebih bernuansa analog, belum digital, dan bersifat broadcast, belum interaktif. Dengan kendala tersebut, termasuk siapa yang ”berhak” mengeluarkan izin, idealnya layanan IPTV dibolehkan setelah tatanan regulasi diperbaiki.

Alternatif lain, apa yang diberikan operator telekomunikasi dalam layanan mobile TV bisa dijadikan preseden. Operator dapat memberikan layanan mobile TV, tetapi tayangan TV yang lewat telepon seluler haruslah berasal dari lembaga penyiaran, termasuk lembaga penyiaran berlangganan. Cara ini dipakai India dalam mengatur layanan IPTV. Pemberi layanan IPTV dapat dilakukan jika memiliki izin terkait dengan UU Telekomunikasi dan lembaga penyiaran juga telah memiliki izin sesuai UU Penyiaran.

Namun, hal itu tetap bukan berarti penyatuan ataupun harmonisasi antara regulasi yang mengatur telekomunikasi, penyiaran, dan informatika dapat dikesampingkan sebab perkembangan teknologi tidak bisa dicegah. (Kompas, Rabu, 10 Desember 2008)

1 komentar:

Amisha mengatakan...

Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut