Pemerintah bakal memasukkan pulsa
telepon dalam kategori barang kena cukai, hal itu disampaikan Pelaksana Tugas
(Plt) Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Bambang
Brodjonegoro. Menurutnya sebagaimana dikutip berbagai media, pengenaan cukai pada pulsa telepon
seluler dimaksudkan untuk membatasi penggunannya karena berdampak negatif pada
kesehatan.
Dikatakan Bambang, pengenaan cukai
pada pulsa telepon didasarkan pada Pasal 2 ayat (1) UU No. 39/2007 tentang
Cukai, dimana setiap komoditas
bisa dikenai cukai jika memiliki sifat atau karakteristik tertentu. Yakni,
konsumsinya perlu dikendalikan, peredarannya perlu diawasi, serta pemakaiannya
dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup. Selain
itu, pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan
keseimbangan. Dan menurutnya, berbagai riset menunjukkan bahwa penggunaan
telepon seluler lebih dari sepuluh tahun akan menggandakan risiko kanker otak.
Selain itu, radiasi telepon seluler dapat memicu kanker otak, tumor sel saraf
pendengaran, tumor kelenjar saliva, leukemia, dan limfoma.
Apa yang disampaikan pemerintah, laya
dikritisi dan mungkin pengenaan cukai pada pulsa harus ditolak. Ada berbagai
alasan yang dapat dikemukakan untuk menolak kebijakan ini:
1. UUD 1945 padal 28 hufuf f dinyatakan: “Setiap orang berhak untuk
berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan
lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis
saluran yang tersedia.” Ini artinya apa, bahwa berkomunikasi melalui media
apapun, termasuk telekomunikasi, merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia
Indonesia yang harus dipenuhi oleh negara. Hambatan atau halangan, termasuk
menambah beban untuk bisa mendapatkan kesempatan berkomunikasi, menjadi bagian
dari pelanggaran HAM.
2. Misi Kementerian Kominfo terkait telekomunikasi adalah bagaimana
memberikan tarif terjangkau pada masyarakat, dan itu terealisir sejak 2008,
dimana sebelumnya tertinggin di bawah Australia. Dengan tarif terjangka, maka
penetrasi dan teledensitas telekomunikasi meningkat, dan menjangkau ke
daerah-daerah, hingga semua lapisan.
3. Di tahun 2011, pemerintah telah menyedot uang masyarakat
pengguna telekomunikasi sebesar Rp. 12 trilyun-an, dengan penambahan cukai ini,
mau berapa lagi uang yang harus disetor masyarakat melalui jasa telekomunikasi
kepada negara. Padahal, sektor lain, justru menjadi beban karena harus subsidi
seperti listrik maupun BBM. Di sektor ini tak ada subsidi yang dikeluarkan
negara.
4. Angka Rp. 12 Trilyun didapat, selain melalui pemanfaatan
pendapat dari frekuensi, sebesar 0,5 % dari gross revenue operator yang
tentunya akan dimasukkan dalam struktur tarif ke masyarakat untuk BHP
Telekomunikasi.
5. Sementara itu, masyarakat juga telah menanggung untuk membangun
wilayah-wilayah terluar dan terpencil melalui program USO sebesar 1,25% dari
gross revenue operator, yang tentunya juga dimasukkan dalam struktur tarif ke
konsumen. Artinya, dalam tarif yang dibahas, 1,25% + 0,5 % disetor ke negara
sebagai BHP USO dan BHP Telekomunikasi.
6. Saat membeli pulsa, konsumen sudah dibebani PPN 10%, baik untuk
kartu prepaid maupun postpaid.
7. Hingga saat ini, belum ada penelitian yang secara tegas dan
jelas menyatakan ada korelasi hubungan kesehatan dengan penggunaan ponsel.
8. Sektor telekomunikasi sebagai sektor yang mandiri, harusnya
diberikan insentif, bukan diberikan hambatan. Apalagi, ke depan banyak target
pembangun broadband khususnya yang harus dicapai. Jangan membutakan diri, bahwa
sektor ini telah memberikan kontribusi terhadap PDB, dan banyak penelitian
menunjukkan ada hubungan antara sektor telekomunikasi dengan pembukaan lapangan
kerja dan peningkatan pertumbuhan ekonomi.