Perbincangan mengenai Long Term Evolution (LTE), generasi selanjutnya dari generasi ketiga (3G) dalam teknologi telekomunikasi bergerak, menyeruak menyusul kabar adanya beberapa operator telekomunikasi bergerak yang telah bersiap mengadopsi teknologi ini dengan meminta kepada pemerintah untuk dapat melakukan uji coba. Bukan hanya operator, para penyedia perangkat (vendor) pun gencar mempromosikan produk terbarunya utnuk dapat dipakai di operator.
Ketika diundang berbicara dalam Forum LTE Asia di Hong Kong tahun lalu, mengingat posisi Indonesia sebagai dynamic follower alias pasar, dan bukan produsen perangkat, pertanyaan yang banyak diajukan adalah kapan Indonesia akan mengadopsi LTE? Pertanyaan tersebut sama seperti ketika pemerintah belum mengeluarkan kebijakan mengenai WiMAX atau bahkan 3G. Harap maklum, selain pasar, negara ini dikenal haus akan teknologi baru, sehingga hampir semua teknologi telekomunikasi di adopsi dan ada di sini. Sebut saja AMPS, CDMA, GSM, GPRS/EDGE, 3G maupun WiMAX. Sehingga, kebijakan kapan Indonesia akan mengadopsi LTE, amat sangat ditunggu.
Sebenarnya, sebelum menjawab pertanyaan kapan Indonesia akan mengadopsi LTE, pertanyaan dasar yang perlu dijawab lebih dahulu adalah apakah kita perlu mengadopsi LTE? Hal itu mengingat jaringan 3G saja belum tersebar merata, dan baru saja operator Telkomsel dan Indosat ’menebus’ tambahan 5 MHz kedua di akhir tahun lalu. Selain itu, tentunya, adalah manfaat apa yang akan didapat jika LTE diadopsi. Jika hanya menjadikan negara sebesar Indonesia sebagai pasar, dan tidak ada nilai tambah lain, LTE bisa jadi tidak diperlukan.
Agar bisa diadopsi, LTE kemungkinan harus mengikuti kewajiban yang sama seperti dibebankan saat akan menentukan adopsi WiMAX dimana untuksubscriber station wajib memenuhi sekurang-kurangnya 30% tingkat kandungan dalam negeri dan 50% untuk base station. LTE bisa saja diadopsi jika memang memberikan kesempatan bagi lokal untuk berkontribusi berupashare teknologi, membuka lapangan kerja dan lebih bagus lagi jika dapat membangun pabrik di sini. Selain itu, tentunya adopsi LTE juga akan tergantung pada para operator apakah memang LTE diperlukan untuk menjawab kebutuhan pita lebar (broadband) masyarakat.
Soal kapan akan diadopsi, jika melihat negara tetangga Singapura, Infocomm Development Authority (IDA) sebagai regulator juga baru melakukan konsultan publik terkait spektrum yang digunakan untuk 4G, yaitu 2,3 GHz dan 2,5 GHz (yang di Eropa dikenal dengan 2,6 GHZ). Walaupun konsultasi dilakukan hingga 7 Juni mendatang, namun nampaknya peluncuran komersial LTE akan tertunda karena pita frekuensi 2,3/2,6 GHz tidak lowong setidaknya hingga 2015.
Sementara itu, pemerintah Malaysia berencana akan melakukan lelang di frekuensi 2,6 GHz untuk LTE tahun depan. Adapun besar pita yang akan dilelang adalah dua blok 70 (2 x 70) MHz dan satu blok 50 (1 x 50) MHz. Namu begitu, akan ada konsultasi publik lebih dulu terkait dengan rencana melelang frekuensi di 2,6 GHz tersebut. Selain itu, regulator MCMC juga melakukan konsultasi tertutup dengan empat operator di sana—Maxis, Celcom, Digi dan U Mobile, terkait dengan refarming spektrum 2G di 850 MHz, 900 MHz and 1800 MHz untuk 3G.
Di Eropa, beberapa negara seperti Norwegia, Swedia dan Finlandia sudah melelang frekuensi 2,6 GHz untuk layanan telekomunikasi bergerak. Di Jerman, lelang dalam proses. Sementara di Belanda, Austria dan mungkin juga Inggris, lelang direncanakan dua tahun mendatang. Dan nampaknya, di berbagai dunia, ada kebutuhan yang besar terhadap frekuensi di 2,6 GHz. Selain itu, tentunya adalah penggunaan spektrum frekuensi yang ditinggalkan televisi analog ke digital di rentang 790-862 MHz, yang disebut juga dengan digital dividend, untuk LTE. Seperti Australia yang akan menggunakan digital dividend untuk layanan data broadband pada 2011 atau 2012, sebesar 2 x 20 MHz.
Lalu bagaimana dengan kondisi Indonesia untuk adopsi LTE? Yang jelas, saat ini yang kendala utama adalah frekuensi. Untuk frekuensi 2,6 GHz, walau pada pita frekuensi 2500 – 2520 MHz dan 2670 – 2690 MHz, tidak diberikan lagi izin baru untuk aplikasi non BWA, pita frekuensi 2520 – 2670 MHz digunakan untuk penyelenggaraan infrastruktur telekomunikasi bagi layanan penyiaran berbayar melalui satelit yang dilaksanakan oleh Media Citra Indostar. Meski disebut banyak pihak penguasaan frekuensi 150 MHz dinilai teralu besar, proses evaluasi optimalisasi frekuensi, juga akan butuh waktu. Sementara itu, untuk dapat memanfaatkan digital dividend, juga nampaknya masih butuh waktu panjang. Dari rencana digitalisasi radio dan televisi yang dikeluarkan pemerintah, paling cepat 2015 dan paling lambat 2018, tidak ada lagi siaran analog karena sudah pindah ke digital.
Yang juga menarik dari kondisi di sini adalah Indonesia belum setahun menyelesaikan lelang WiMAX, yang hingga kini belum ada satupun pemenang lelang secara resmi memberikan layanan komersialnya. Ini perlu juga diperhatikan, mengingat belum jelas apakah antara LTE dan WiMAX akan saling berkompetisi atau komplemen, sebab keduanya akan fokus di layanan data berpita lebar (broadband) dengan alokasi frekuensi LTE yang lebih besar per bloknya sekitar 20 MHz, sementara WiMAX ‘hanya’ 15 MHz.
Idealnya, adopsi LTE dilakukan setelah melihat pengalaman keberhasilan adopsi LTE di beberapa negara lain, minimal se-kawasan, namun tetap dengan memperhatikan keunikan negeri ini. Sehingga, proses komunikasi dan diskusi dengan negara se-ASEAN maupun Asia Pasifik, perlu diintensifkan. Sebab selain harmonisasi frekuensi untuk interoperabilitas, teknologi yang dipakai bersama di banyak negara tentunya juga akan lebih murah. Apalagi kalau kita dapat memproduksi perangkat LTE sendiri, maka potensi eksport juga besar. (herusutadi@hotmail.com)