*JK Berubah, SBY Tetap Tenang, Mega Harus Berubah
Debat Calon Presiden untuk Pemilu 8 Juli mendatang kembali digelar. Dibanding Debat Capres yang pertama, Debat Capres kali ini terasa lebih hidup. Mungkin didukung oleh moderator Aviliani yang secara lugas dan tanpa beban melontarkan pertanyaan-pertanyaan kepada para kandidat, serta mungkin para kandidat sudah mulai terbiasa dengan kebiasaan debat, dan tentunya termasuk kebebasan yang diberikan jika para kandidat ingin berjalan-jalan di panggung (tidak diam di tempat saja) saat menjawab pertanyaan.
Yang cukup mencolok berubah adalah JK dimana JK kembali menjadi dirinya sendiri. Setelah dalam debat pertama yang nampaknya JK berada di bawah bayang-bayang SBY, yang secara psikologis masih bermitra sebagai Wakil Presiden, dengan batik panjang yang dikenakannya, JK berubah menjadi lebih percaya diri dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dengan tangkas.
Sementara itu, SBY tetap tenang seperti biasa, menjawab pertanyaan-pertanyaan dengan hati-hati. Namun begitu, ketika ada sentilan-sentilan dari kandidat lain, SBY juga tidak kalah sigap membalas sentilan-sentilan, sehingga membuat ebat menjadi lebih hidup. Namun memang, saling sentil yang terjadi belum mengarah pada posisi menjelek-jelekan atau bahkan saling menjatuhkan.
Yang nampaknya tidak berubah adalah Megawati. Mega mungkin nampaknya perlu lebih bersemangat dalam menjawab pertanyaan, konsisten dan lebih melihat ke depan. Sebab, dalam beberapa kali menjawab, Mega selalu kembali ke belakang (flash back) tentang apa yang sudah dilakukannya dulu sewaktu menjadi Presiden. Tanpa cara pandang yang lebih luas, keluar dari kungkungan apa yang dilakukan pada masa lalu (terlebih apresiasi prestasi terhadap Mega tidak begitu baik, terbukti Mega kalah dalam Pipres 2004), membuat Mega yang dulu akan sama dengan Mega sekarang, yang muaranya akan kalah lagi dalam Pilpres mendatang. Memang Mega sempat mengemukakan bahwa JK pernah menjadi ”pembantunya” (baca: Menko Kesra-nya), namun arah pembicaraanya ke mana tidak secara jelas disampaikan.
Secara keseluruhan, Debat Capres kali ini lebih baik, namun memang tetap harus dicoba untuk menggunakan sistem panelis, sehingga proses elaborasi dan variasi pertanyaan juga akan lebih berwarna. Yang juga belum berubah adalah debat yang sering terpotong oleh iklan-iklan. Sehingga yang terjadi seperti parade iklan yang diselingi debat. Iklan sesungguhnya bisa disampaikan di saat pembuka dan penutup saja.
25 Juni 2009
23 Juni 2009
Catatan Kecil Debat Cawapres
Setelah beberapa hari lalu digelar Debat Capres untuk Pemilihan Presiden Putaran I 8 Juli mendatang, malam ini giliran para pendamping, calon wakil presiden, yang dipertemukan dalam Debat Cawapres. Hadir tiga kandidat cawapres : Prabowo Subianto, Boediono dan Wiranto. Acara dimoderatori oleh Rektor Universitas Islam Negeri Jakarta Komaruddin Hidayat. Entah bagaimana, Komaruddin sebelumnya juga adalah Rektor Universitas Paramadina, sama seperti moderator Debat Capres yang lalu, Anis Baswedan.
Debat ini cukup menarik, mengingat selamat ini Cawapres selalu digandengkan dengan Capres, atau diistilahkan dengan satu paket, sehingga jarang cawapres diuji kemampuan dalam menjawab masalah-masalah bangsa, kemampuan berbicara, dan segala macam kemampuan lainnya, secara sendiri.
Terlepas apakah Debat Cawapres ini akan mempengaruhi pilihan rakyat dalam Pilpres nanti atau tidak, mengingat figur Capres yang tentu akan lebih kuat, ada beberapa catatan yang bisa diambil dari komunikasi politik yang disampaikan maupun terlihat dari para kandidat Cawapres:
1. Penampilan. Penampilan ketiga kandidat cawapres hampir senada, dengan peci hitam. Entah, apakah memang untuk mencerminkan citra seorang muslim atau seperti apa, sesungguhnya yang perlu diingat adalah jika sebagai aksesoris, tidak semua orang cocok dan pas menggunakan peci. Prabowo dan Boediono memakai batik, sementara Wiranto memakai baju kemeja panjang. Catatan yang menarik, batik yang dipakai Prabowo sudah terlalu sering dipakai sehingga hal itu bisa diterjemahkan bahwa Prabowo ingin menunjukkan continuity (ini biasa dilakukan agar rakyat/publik selalu ingat dirinya dalam ”bentuk” yang sama di berbagai forum, atau Prabowo tidak punya corak batik lainnya, tentu hanya Prabowo yang bisa menjawab. Jika di Amerika Serikat Clinton sebelum jadi Presiden dipermak agar tampak lebih tua dengan mengecat rambutnya jadi putih, para cawapres nampaknya perlu mempermak dirinya agar tampak lebih segar dan muda, sebab betapapun mayoritas pemilih Pemilu tetaplah orang-orang/generasi muda.
2. Secara materi, pertanyaan dalam topik ”Membangun Jati Diri Bangsa” merupakan topik yang terbuka sehingga tiap Cawapres bisa menerjemahkan menurut pengalaman masing-masing. Sehingga, beda saat debat Capres, walalupun Boediono sebagai orang pemerintahan, tidak langsung itu berarti Boediono diuntungkan, apalagi Prabowo maupun Wiranto merupakan orang dengan didikan militer kental, sehingga topik ini hanya merupakan pengejawantahan sikap dan pengalaman yang didapat selama ini, bahkan bisa jadi memeprtegas iklan-iklan kampanye mereka, seperti iklan Prabowo yang mengusung masalah utang, kemiskinan, kemandirian bangsa bahkan menjadi ”Macan Asia”.
3. Isi dan Cara Menjawab Pertanyaan. Dari cara menjawab, Wiranto terkesan mengusai panggung dan lebih santai, bahkan diselingi dengan menyanyi. Boediono secara makro mengetahui persoalan yang diajukan, namun memang terlihat beberapa hal berada di luar kemampuannya menjawab, sehingga yang terjawab adalah hal-hal yang normatif saja. Pembawaan Boediono yang begitu tenang dan kalem, memang tidak bisa diharapkan Boediono akan bicara meledak-ledak. Namun, jawaban Boediono yang terlalu berhati-hati juga sangat kentara seklai, sehingga terasa tidak lepas. Mungkin jika topiknya soal ekonomi Boediono akan bicara hal-hal yang lebih dalam dan strategis, daripada seperti saat ini yang hanya kulit-kulit luar-nya saja. Prabowo tampil dengan semangat, namun nampaknya kurang “galak” dan ”menggebu-gebu” seperti yang disuarakannya dalam iklan-iklan kampanye-nya.
4. Konsistensi Program. Semua kandidat sangat konsisten menonjolkan dan mengkomunikasikan pesan/motto kampanyenya dalam Debat Cawapres ini. Namun mungkin yang terjadi, agak sulit juga menghubungkan isu-isu yang diharus ditanggapi Cawapres dengan motto kampanye nya, kecuali saat prolog dan epilog saja.
Adapun secara umum, ada beberapa catatan mengenai debat Cawapres ini:
1. Posisi moderator agak sedikit tidak sentral, berbeda saat Debat Cpares sebelumnya, sehingga bintangnya tetap adalah para kandidat Cawapres. Namun begitu, tetap perlu dipertimbangkan bahwa baiknya menggunakan sistem panelis, sehingga nilai ke-”bintang”-an capres/cawapres tetap bersinar, sebab perhatian publik akan ke capres bukan moderator tunggal karena sistem panelis.
2. Acara Debat Cawapres ini terasa hilang ruh-nya saat harus terpotong dengan iklan-iklan, sehingga yang terjadi seperti parade iklan yang diselingi Debat Cawapres. Baiknya, iklan disajikan di awal dan akhir debat saja, sementara acaranya Debat nya sendiri harus lah utuh sebagai satu kesatuan, sebagaimana debat sesungguhnya yang terjadi bisa off air. Ini cukup serius.
3. Meski hampir sama dengan saat Debat Capres, debat yang sesungguhnya belum terjadi, meski ini yang dikatakan tim kampanye para Capres/Cawapres sebagai debat ala Timur. Perbedaan pendapat sudah mulai dimunculkan, meski itu kurang tajam. Agar tajam, sesungguhnya moderator bisa masuk untuk lebih mendalam pendapat dan memperdebatkannya dengan pendapat kandidat lainnya. Yang justru ramai adalah tayangan seperti di TVOne, dimana terjadi perdebatan di antara Tim Kampanye pasangan Capres/Cawapres, plus dengan para pengamat politik—yang nampaknya juga “fans” bahkan nampak sekali jadi “pembela” pasangan Capres/Cawapres. Untuk kasus ini, saya iseng-iseng bertanya ke putri saya, suka yang mana acara debatnya, eh benar, dia pilih perdebatan yang terjadi antara Tim Kampanye pasangan Capres/Cawapres, plus dengan para pengamat politik. “Lebih hidup dan tidak bikin boring,” katanya hehe anak kecil saja tahu ya... (herusutadi@hotmail.com)
Debat ini cukup menarik, mengingat selamat ini Cawapres selalu digandengkan dengan Capres, atau diistilahkan dengan satu paket, sehingga jarang cawapres diuji kemampuan dalam menjawab masalah-masalah bangsa, kemampuan berbicara, dan segala macam kemampuan lainnya, secara sendiri.
Terlepas apakah Debat Cawapres ini akan mempengaruhi pilihan rakyat dalam Pilpres nanti atau tidak, mengingat figur Capres yang tentu akan lebih kuat, ada beberapa catatan yang bisa diambil dari komunikasi politik yang disampaikan maupun terlihat dari para kandidat Cawapres:
1. Penampilan. Penampilan ketiga kandidat cawapres hampir senada, dengan peci hitam. Entah, apakah memang untuk mencerminkan citra seorang muslim atau seperti apa, sesungguhnya yang perlu diingat adalah jika sebagai aksesoris, tidak semua orang cocok dan pas menggunakan peci. Prabowo dan Boediono memakai batik, sementara Wiranto memakai baju kemeja panjang. Catatan yang menarik, batik yang dipakai Prabowo sudah terlalu sering dipakai sehingga hal itu bisa diterjemahkan bahwa Prabowo ingin menunjukkan continuity (ini biasa dilakukan agar rakyat/publik selalu ingat dirinya dalam ”bentuk” yang sama di berbagai forum, atau Prabowo tidak punya corak batik lainnya, tentu hanya Prabowo yang bisa menjawab. Jika di Amerika Serikat Clinton sebelum jadi Presiden dipermak agar tampak lebih tua dengan mengecat rambutnya jadi putih, para cawapres nampaknya perlu mempermak dirinya agar tampak lebih segar dan muda, sebab betapapun mayoritas pemilih Pemilu tetaplah orang-orang/generasi muda.
2. Secara materi, pertanyaan dalam topik ”Membangun Jati Diri Bangsa” merupakan topik yang terbuka sehingga tiap Cawapres bisa menerjemahkan menurut pengalaman masing-masing. Sehingga, beda saat debat Capres, walalupun Boediono sebagai orang pemerintahan, tidak langsung itu berarti Boediono diuntungkan, apalagi Prabowo maupun Wiranto merupakan orang dengan didikan militer kental, sehingga topik ini hanya merupakan pengejawantahan sikap dan pengalaman yang didapat selama ini, bahkan bisa jadi memeprtegas iklan-iklan kampanye mereka, seperti iklan Prabowo yang mengusung masalah utang, kemiskinan, kemandirian bangsa bahkan menjadi ”Macan Asia”.
3. Isi dan Cara Menjawab Pertanyaan. Dari cara menjawab, Wiranto terkesan mengusai panggung dan lebih santai, bahkan diselingi dengan menyanyi. Boediono secara makro mengetahui persoalan yang diajukan, namun memang terlihat beberapa hal berada di luar kemampuannya menjawab, sehingga yang terjawab adalah hal-hal yang normatif saja. Pembawaan Boediono yang begitu tenang dan kalem, memang tidak bisa diharapkan Boediono akan bicara meledak-ledak. Namun, jawaban Boediono yang terlalu berhati-hati juga sangat kentara seklai, sehingga terasa tidak lepas. Mungkin jika topiknya soal ekonomi Boediono akan bicara hal-hal yang lebih dalam dan strategis, daripada seperti saat ini yang hanya kulit-kulit luar-nya saja. Prabowo tampil dengan semangat, namun nampaknya kurang “galak” dan ”menggebu-gebu” seperti yang disuarakannya dalam iklan-iklan kampanye-nya.
4. Konsistensi Program. Semua kandidat sangat konsisten menonjolkan dan mengkomunikasikan pesan/motto kampanyenya dalam Debat Cawapres ini. Namun mungkin yang terjadi, agak sulit juga menghubungkan isu-isu yang diharus ditanggapi Cawapres dengan motto kampanye nya, kecuali saat prolog dan epilog saja.
Adapun secara umum, ada beberapa catatan mengenai debat Cawapres ini:
1. Posisi moderator agak sedikit tidak sentral, berbeda saat Debat Cpares sebelumnya, sehingga bintangnya tetap adalah para kandidat Cawapres. Namun begitu, tetap perlu dipertimbangkan bahwa baiknya menggunakan sistem panelis, sehingga nilai ke-”bintang”-an capres/cawapres tetap bersinar, sebab perhatian publik akan ke capres bukan moderator tunggal karena sistem panelis.
2. Acara Debat Cawapres ini terasa hilang ruh-nya saat harus terpotong dengan iklan-iklan, sehingga yang terjadi seperti parade iklan yang diselingi Debat Cawapres. Baiknya, iklan disajikan di awal dan akhir debat saja, sementara acaranya Debat nya sendiri harus lah utuh sebagai satu kesatuan, sebagaimana debat sesungguhnya yang terjadi bisa off air. Ini cukup serius.
3. Meski hampir sama dengan saat Debat Capres, debat yang sesungguhnya belum terjadi, meski ini yang dikatakan tim kampanye para Capres/Cawapres sebagai debat ala Timur. Perbedaan pendapat sudah mulai dimunculkan, meski itu kurang tajam. Agar tajam, sesungguhnya moderator bisa masuk untuk lebih mendalam pendapat dan memperdebatkannya dengan pendapat kandidat lainnya. Yang justru ramai adalah tayangan seperti di TVOne, dimana terjadi perdebatan di antara Tim Kampanye pasangan Capres/Cawapres, plus dengan para pengamat politik—yang nampaknya juga “fans” bahkan nampak sekali jadi “pembela” pasangan Capres/Cawapres. Untuk kasus ini, saya iseng-iseng bertanya ke putri saya, suka yang mana acara debatnya, eh benar, dia pilih perdebatan yang terjadi antara Tim Kampanye pasangan Capres/Cawapres, plus dengan para pengamat politik. “Lebih hidup dan tidak bikin boring,” katanya hehe anak kecil saja tahu ya... (herusutadi@hotmail.com)
18 Juni 2009
Komunikasi Politik dan Catatan Kritis Debat Calon Presiden
Malam ini (18/62009), digelar acara Debat Capres untuk Pemilihan Presiden Putaran I 8 Juli mendatang. Dalam acara yang disiarkan secara langsung beberapa stasiun televisi, hadir kandidat presiden: Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla. Debab Capres dimoderatori oleh Anis Baswedan, Rektor Universitas Paramadina, dengan pembawa acara adalah Helmi Yahya.
Debat Capres ini tentu amat sangat berpengaruh terhadap publik dalam menentukan pilihan pada Pilpres mendatang. Dan tentunya, dapat dianalisis secara komunikasi politik. Selain analisis komunikasi politik ketiganya, ada beberapa catatan kritis mengenai debat ini.
Analisis Komunikasi Politik
Debat capres merupakan bagian dari pemasaran politik, sehingga momentum ini perlu dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk menggaet pembeli (baca: pemilih). Satu hal terpenting dalam pemasaran politik yang dapat dipakai politisi untuk mengendalikan opini publik adalah citra mengenai dirinya. Dalam era televisi dimana kesempatan menyampaikan pendapat dalam hitungan detik, masyarakat menilai politisi dalam waktu yang singkat sehingga kesan yang tertinggal dalam benak pemirsa lebih penting daripada pesan.
Citra merk untuk sebuah produk mewakili semua persepsi tentang merk dan dibentuk berdasar informasi yang dimiliki konsumen tentang merk tersebut termasuk juga pengalaman pribadi yang berkait dengan merk tersebut. Citra dari merk juga diasosiasikan dengan perusahaan penjualnya. Perubahan karakteristik fisik dari merk dapat mengubah citra umum tentang produk.
Sama dengan citra merk, citra politik tidak dapat dipisahkan dari obyek politik yang mempengaruhi perasaan orang dan sikap tentang politisi. Dalam politik, citra diciptakan melalui impresi visual yang dikomunikasikan lewat tampilan fisik politisi, kemunculan di media, pengalaman serta rekornya sebagai pemimpin politik yang semua informasi tersebut terintegrasikan ke dalam pemikiran rakyat. Citra dari kandidat juga dipengaruhi oleh seberapa besar dukungan rakyat dalam negara kepadanya.
Agar sukses dalam memasarkan produk atau politisi, citra yang jelas harus disampaikan dalam pesan tunggal yang menggambarkan produk atau sifat utama dari politisi. Pesan juga harus disampaikan secara berbeda sehingga tidak membingungkan dengan pesan yang sama dari kompetitor lain. Agar efektif, citra harus dikomunikasikan secara konsisten pada setiap pesan.
Dari Debat Capres ini, beberapa analisis yang dapat saya kemukakan:
1. Secara materi, pertanyaan dalam topik ”Tata Pemerintahan dan Penegakan Supremasi Hukum” tentu incumbent, yaitu SBY dan JK cukup diuntungkan mengingat keduanya paham dan sangat tahu isu-isu dan perkembangan terakhir mengenai topik yang dimaksud, sehingga angka dan data bisa disajikan dengan baik. Mega, karena sudah meninggalkan kursi kepresiden sejak 2004, hanya bisa mengungkap apa yang telah dikerjakannya di masa lalu.
2. Penampilan. Penampilan SBY cukup sederhana dan gagah, sementara Mega cukup memberikan gambaran seorang calon Ibu bangsa, dengan pakaian cukup baik berwarna cerah. Sementara mungkin JK perlu melakukan perbaikan mengingat pakaiannya—jas—hari ini kurang begitu pas di badan, dan ini agak aneh padahal JK biasanya menggunakan pakaian ”biasa” (bukan jas), sehingga terlihat JK agak kurang sederhana—meski jas yang dipakainya tanpa dasi.
3. Isi dan Cara Menjawab Pertanyaan. Cara menjawab ketiganya, secara umum bersifat normatif, dan lebih banyak saling mendukung, tak ada perbedaan tajam ketiganya. Mega lebih hal-hal bersifat praktis, demikian juga JK, sementara SBY lebih bersifat makro dan strategis. Diakui atau tidak, jawaban SBY lebih taktis dibanding Megadan JK, namun untuk kesederhanaan isi jawaban, apa yang disampaikan Mega lebih sederhana, mudah dicerna, meski tingkat analisis Mega dalam menjawab juga tidak dalam. JK sendiri dalam debat capres ini kurang memberikan jawaban taktis dan bebas seperti selama ini jika tampil sendiri. Posisinya tampil bersama dengan SBY, yang presiden, nampaknya mempengaruhi psikologis JK.
4. Konsistensi Program. SBY dan JK terus mengkomunikasikan pesan/motto kampanyenya dalam Debat Capres ini. SBY berulang kali mengemukakan kata ”lanjutkan” dan JK juga memberikan catatan penutup ”Lebih Cepat, Lebih Baik”. Mega dalam hal ini agak kurang menonjolkan slogan yang selama ini diusungnya, ”Membangun Ekonomi Kerakyatan”, atau mungkin karena topiknya bukan ekonomi, sehingga persoalan ekonomi kerakyatan belum terlalu dielaborasi oleh Mega.
Catatan Kritis Debat Capres
Beberapa catatan kritis yang dapat saya berikan:
1. Posisi ketiga capres dibanding posisi Anis Baswedan sebagai moderator, terasa yang menjadi ”bintang” adalah Anis. Sebab, selain memoderatori acara, Anis seperti dosen penguji tunggal yang menguji tiga mahasiswa sekaligus. Ke depan, perlu dipertimbangkan menggunakan sistem panelis, sehingga nilai ke-”bintang”-an capres/cawapres tetap bersinar, sebab perhatian publik akan ke capres bukan moderator tunggal karena sistem panelis.
2. Sesuai dengan namanya Debat Capres, acara ini tidak memunculkan perdebatan sesungguhnya, karena ketika ada satu isu, yang harusnya diharapkan adanya perbedaan pandangan, namun ternyata hampir senada—kalau tak mau dibilang sama, termasuk juga Megawati yang meng-klaim sebagai oposisi pemerintah, yang mana SBY dan JK dalam posisi hingga kini masih sebagai orang pemerintahan. Harusnya dilemparkan isu-isu terkini yang memang terdapat pro dan kontra antara mereka, dan dalam bentuk pertanyaan yang tajam bukan normatif. Misalnya: ”Menurut Bapak/Ibu Capres, siapakah yang paling berperan dalam perdamaian Aceh”, atau ”Apa peran Bapak/Ibu Capres dalam swasembada pangan”, sebab klaim-klaim sepihak itulah yang perlu didengar masyarakat, siapa sebenarnya yang bekerja dan punya ide-ide brilian.
3. Hendaknya acara Debat Capres tidak dicampurkan dengan budaya massa--politainment, yang kerap diselingi iklan, sehingga terasa iklan lebih mendominasi acara dibanding debat itu sendiri, dan juga rasa serta fokus debat, yang tensinya bisa kian meningkat kehangatannya, namun karena diselingi iklan jadi dingin kembali.
Debat Capres ini tentu amat sangat berpengaruh terhadap publik dalam menentukan pilihan pada Pilpres mendatang. Dan tentunya, dapat dianalisis secara komunikasi politik. Selain analisis komunikasi politik ketiganya, ada beberapa catatan kritis mengenai debat ini.
Analisis Komunikasi Politik
Debat capres merupakan bagian dari pemasaran politik, sehingga momentum ini perlu dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk menggaet pembeli (baca: pemilih). Satu hal terpenting dalam pemasaran politik yang dapat dipakai politisi untuk mengendalikan opini publik adalah citra mengenai dirinya. Dalam era televisi dimana kesempatan menyampaikan pendapat dalam hitungan detik, masyarakat menilai politisi dalam waktu yang singkat sehingga kesan yang tertinggal dalam benak pemirsa lebih penting daripada pesan.
Citra merk untuk sebuah produk mewakili semua persepsi tentang merk dan dibentuk berdasar informasi yang dimiliki konsumen tentang merk tersebut termasuk juga pengalaman pribadi yang berkait dengan merk tersebut. Citra dari merk juga diasosiasikan dengan perusahaan penjualnya. Perubahan karakteristik fisik dari merk dapat mengubah citra umum tentang produk.
Sama dengan citra merk, citra politik tidak dapat dipisahkan dari obyek politik yang mempengaruhi perasaan orang dan sikap tentang politisi. Dalam politik, citra diciptakan melalui impresi visual yang dikomunikasikan lewat tampilan fisik politisi, kemunculan di media, pengalaman serta rekornya sebagai pemimpin politik yang semua informasi tersebut terintegrasikan ke dalam pemikiran rakyat. Citra dari kandidat juga dipengaruhi oleh seberapa besar dukungan rakyat dalam negara kepadanya.
Agar sukses dalam memasarkan produk atau politisi, citra yang jelas harus disampaikan dalam pesan tunggal yang menggambarkan produk atau sifat utama dari politisi. Pesan juga harus disampaikan secara berbeda sehingga tidak membingungkan dengan pesan yang sama dari kompetitor lain. Agar efektif, citra harus dikomunikasikan secara konsisten pada setiap pesan.
Dari Debat Capres ini, beberapa analisis yang dapat saya kemukakan:
1. Secara materi, pertanyaan dalam topik ”Tata Pemerintahan dan Penegakan Supremasi Hukum” tentu incumbent, yaitu SBY dan JK cukup diuntungkan mengingat keduanya paham dan sangat tahu isu-isu dan perkembangan terakhir mengenai topik yang dimaksud, sehingga angka dan data bisa disajikan dengan baik. Mega, karena sudah meninggalkan kursi kepresiden sejak 2004, hanya bisa mengungkap apa yang telah dikerjakannya di masa lalu.
2. Penampilan. Penampilan SBY cukup sederhana dan gagah, sementara Mega cukup memberikan gambaran seorang calon Ibu bangsa, dengan pakaian cukup baik berwarna cerah. Sementara mungkin JK perlu melakukan perbaikan mengingat pakaiannya—jas—hari ini kurang begitu pas di badan, dan ini agak aneh padahal JK biasanya menggunakan pakaian ”biasa” (bukan jas), sehingga terlihat JK agak kurang sederhana—meski jas yang dipakainya tanpa dasi.
3. Isi dan Cara Menjawab Pertanyaan. Cara menjawab ketiganya, secara umum bersifat normatif, dan lebih banyak saling mendukung, tak ada perbedaan tajam ketiganya. Mega lebih hal-hal bersifat praktis, demikian juga JK, sementara SBY lebih bersifat makro dan strategis. Diakui atau tidak, jawaban SBY lebih taktis dibanding Megadan JK, namun untuk kesederhanaan isi jawaban, apa yang disampaikan Mega lebih sederhana, mudah dicerna, meski tingkat analisis Mega dalam menjawab juga tidak dalam. JK sendiri dalam debat capres ini kurang memberikan jawaban taktis dan bebas seperti selama ini jika tampil sendiri. Posisinya tampil bersama dengan SBY, yang presiden, nampaknya mempengaruhi psikologis JK.
4. Konsistensi Program. SBY dan JK terus mengkomunikasikan pesan/motto kampanyenya dalam Debat Capres ini. SBY berulang kali mengemukakan kata ”lanjutkan” dan JK juga memberikan catatan penutup ”Lebih Cepat, Lebih Baik”. Mega dalam hal ini agak kurang menonjolkan slogan yang selama ini diusungnya, ”Membangun Ekonomi Kerakyatan”, atau mungkin karena topiknya bukan ekonomi, sehingga persoalan ekonomi kerakyatan belum terlalu dielaborasi oleh Mega.
Catatan Kritis Debat Capres
Beberapa catatan kritis yang dapat saya berikan:
1. Posisi ketiga capres dibanding posisi Anis Baswedan sebagai moderator, terasa yang menjadi ”bintang” adalah Anis. Sebab, selain memoderatori acara, Anis seperti dosen penguji tunggal yang menguji tiga mahasiswa sekaligus. Ke depan, perlu dipertimbangkan menggunakan sistem panelis, sehingga nilai ke-”bintang”-an capres/cawapres tetap bersinar, sebab perhatian publik akan ke capres bukan moderator tunggal karena sistem panelis.
2. Sesuai dengan namanya Debat Capres, acara ini tidak memunculkan perdebatan sesungguhnya, karena ketika ada satu isu, yang harusnya diharapkan adanya perbedaan pandangan, namun ternyata hampir senada—kalau tak mau dibilang sama, termasuk juga Megawati yang meng-klaim sebagai oposisi pemerintah, yang mana SBY dan JK dalam posisi hingga kini masih sebagai orang pemerintahan. Harusnya dilemparkan isu-isu terkini yang memang terdapat pro dan kontra antara mereka, dan dalam bentuk pertanyaan yang tajam bukan normatif. Misalnya: ”Menurut Bapak/Ibu Capres, siapakah yang paling berperan dalam perdamaian Aceh”, atau ”Apa peran Bapak/Ibu Capres dalam swasembada pangan”, sebab klaim-klaim sepihak itulah yang perlu didengar masyarakat, siapa sebenarnya yang bekerja dan punya ide-ide brilian.
3. Hendaknya acara Debat Capres tidak dicampurkan dengan budaya massa--politainment, yang kerap diselingi iklan, sehingga terasa iklan lebih mendominasi acara dibanding debat itu sendiri, dan juga rasa serta fokus debat, yang tensinya bisa kian meningkat kehangatannya, namun karena diselingi iklan jadi dingin kembali.
13 Juni 2009
Belajar ICT dari India
Sebagai Katalis Transformasi dan Tempat Complain
Berbicara mengenai India, memang sungguh menarik. Pasalnya, meski kemiskinan masih merajalela di mana-mana karena jumlah penduduknya yang besar, namun dalam hal potensi sektor teknologi informasi, India termasuk negara yang kuat. Sebab seperti diketahui, selain terkenal dengan Taj Mahal-nya, India juga dikenal sebagai negara pengembangan perangkat lunak (software) dan sumber daya manusia asal India dipakai bahkan menduduki posisi kunci di perusahaan-perusahaan terdepan di dunia yang berbisnis di sektor teknologi informasi.
Dengan modal itu, tak mengherankan jika India menunjukkan kecenderungan pemanfaatan e-government yang meningkat secara signifikan, sedikitnya 15 persen per tahun. Karenanya, ada nada optimis bahwa India akan menjadi salah satu negara terdepan di dunia dalam hal pemanfaatan e-government. Hal itu telah dimulainya di tingkat regional.
Orang Muda dan Terdidik
Berdasar penelitian yang dilakukan market information group, TNS, yang menarik dari penggunaan e-government di India adalah penggunanya yang mayoritas berusia 35-44 tahun (46%) dan 25-34 tahun (45%). Termasuk 35% berusia di bawah 25 tahun. Sehingga, walaupun pada kenyataannya e-government dimanfaatkan untuk segala usia, namun yang terbanyak adalah orang muda.
Orang Muda dan Terdidik
Berdasar penelitian yang dilakukan market information group, TNS, yang menarik dari penggunaan e-government di India adalah penggunanya yang mayoritas berusia 35-44 tahun (46%) dan 25-34 tahun (45%). Termasuk 35% berusia di bawah 25 tahun. Sehingga, walaupun pada kenyataannya e-government dimanfaatkan untuk segala usia, namun yang terbanyak adalah orang muda.
Dari penelitian yang sama didapat pula bahwa pengguna internet pada rentang usia 25-34 dan 35-44 itulah yang lebih banyak memanfaatkan segala jenis layanan e-government yang disediakan dibanding rentang usia lainnya. Dan pengguna layanan e-government berjenis kelamin pria lebih banyak dibanding perempuan. Sedang berdasar jenjang pendidikan, mayoritas yang memanfaatkan e-government adalah orang-orang terdidik, dimana pengguna tertinggi berlatar belakang pendidikan tinggi dan pascasarjana.
Adapun jika melihat jenis pemanfaatannya, di India para pengguna mengakses layanan pemerintahan secara elektronik dengan berbagai keperluan. Di antaranya adalah untuk mencari informasi dan downloading. Pencarian informasi di sini termasuk mendapatkan informasi dari situs-situs pemerintahan dan hasil cetakan formulir yang dipunyai kemudian mengirimkannya lewat pos maupun mesin faksimili. Penggunaan lainnya adalah memberikan informasi pribadi maupun keluarga untuk disampaikan ke pemerintah seperti formulir pajak yang sudah diisi, aplikasi layanan-layanan maupun perubahan alamat.
Kemudian, e-government juga untuk dimanfaatkan untuk membayar tagihan-tagihan yang terkait dengan pemerintahan serta melibatkan penggunaan kartu kredit atau rekening bank semisal untuk membayar surat ijin mengemudi, pembayaran sampah maupun pelanggaran lalu lintas. Tak ketinggalan, e-government juga digunakan masyarakat di sana untuk mengekspresikan serta berpartisipasi dalam konsultasi antara komunitas dengan pemerintah.
Transformasi dan Complain
Transformasi dan Complain
Di India, e-government berperan sebagai katalis transformasi di India. Hal itu bisa dilihat di Kerala, kota kecil di Barat Daya India, yang berdiri pada tahun 1956. Pemerintah Daerah Kerala dan Pemerintah Pusat begitu mendukung Kerala dengan teknologi, finansial, struktur bisnis model dan proses reengineering untuk mengimplementasikan proyek-proyek e-government yang spesifik.
Jadilah Kerala kini menikmati teledensitas telepon yang paling tinggi di India. Semua sentral telepon telah berganti dari analog ke digital. Kerala juga mempunyai dua gerbang kabel bawah laut dengan kapasitas bandwidth 10 giga bits per detik, yang menangani sekitar 70 persen dari trafik komunikasi data nasional. Kerala juga berhasil mengatasi kegagapan masyarakat akan teknologi informasi dan menelurkan sekitar 4000 insinyur tiap tahunnya.
Dengan menyiapkan masyarakat, prioritas dan sumberdaya yang ada, serta kemauan politik, e-government di Kerala dapat mempromosikan pembanguan ekonomi dan good governance untuk membantu warga dan kalangan bisnis menemukan kesempatan-kesempatan baru. E-government merupakan katalis transformasi dari birokrasi era industri ke era informasi.
Bayangkan, tanpa e-government, maka banyak proses bisnis membutuhkan jalan berliku dan dilakukan secara manual. Tak heran, dengan cara seperti itu, dibutuhkan waktu 1-10 tahun untuk mendapatkan persetujuan. Tentu saja, jika hal itu didiamkan berlarut-larut, maka Kerala akan ditinggal para investor yang lebih memilih lingkungan bisnis yang lebih atraktif dan efisien dalam pengurusan perijinan dan segala macamnya. Sebab dalam ekonomi global, pemerintah lokal dan nasional secara aktif berkompetisi untuk mendapatkan investasi, pekerjaan dan juga pajak.
Peran strategis lain dari pengembangan e-government di India adalah untuk transparansi dan melawan korupsi. Untuk peran tersebut, implementasi bukti nyata dapat dilihat dengan apa yang terjadi di Karnataka dan Gujarat yang masing-masing mengimplementasikan komputerisasi data pertanahan dan komputerasi pos-pos pengecekan.
Dengan proyek berlabel “Bhoomi” sebagai layanan online data pertanahan di Karnataka memperlihatkan bagaimana database pemerintahan begitu terbuka yang memungkinkan pemberdayaan warga masyarakat dari keputusan yang sewenang-wenang. Di Karnataka, ada sekitar 20 juta data yang dimiliki 6,7 juta petani yang telah terkomputeriasi.
Sebelumnya, petani harus mencari akuntan pedesaan yang sulit ditemui karena tugasnya yang terus berkelilin dari satu desa ke desa lain, untuk mendapatkan salinan dokumen yang dibutuhkan untuk banyak keperluan semisal pinjaman bank. Seitdaknya, dibutuhkan waktu 3-30 hari untuk mendapatkan dokumen tersebut dengan biaya 100-2000 Rupee, tergantung kepentingan dokumen bagi petani dan ukuran tanah. Sementara untuk perubahan data dibutuhkan waktu 1-2 tahun memperbaharui dokumen yang dimaksud.
Melalui proyek Bhoomi, kopi salinan dari dokumen bisa didapatkan secara online dengan memasukkan nama pemilik atau nomor persil pada kios-kios komputer di 180 kantor badan pertanahan dengan biaya hanya 15 Rupee. Para petani juga dapat melihat aplikasi mutasi tanah melalui komputer layar sentuh yang tersedia. Selain itu, secara bertahap, database pertanahan juga mulai di-upload sehingga dapat dilihat melalui situs internet.
Dari evaluasi yang dilakukan tim independen, didapat hasil bahwa program Bhoomi telah meningkatkan layanan pemerintahan dan menekan korupsi. Selama periode 12 bulan, 5,5 juta petani telah membayar 15 Rupee sehingga menjadi pemasukan bagi negara sekitar 82,5 juta Rupee atau sekitar Rp. 15 miliar.
Gujarat juga merasakan manfaat pengembangan e-government dengan menghadirkan komputerisasi di sepuluh pos pengecekan antarkota menuju Kota Gujarat. Tujuan pengecekan adalah menginspeksi beban muatan truk-truk yang masuk dan validitas dokumen. Jika dibandingkan, dengan sistem manual hanya didapatkan dua persen truk yang diketahui kelebihan muatan, namun dengan komputerisasi termasuk menggunakan jembatan timbang elektronik, 100 % truk-truk yang kelebihan dapat dikenai penalti.
Dengan mengurangi korupsi di jembatan timbang tersebut, denda yang didapat pun secara signifikan meningkat. Selama tiga tahun uang denda yang didapat hingga mencapai 50 juta Dolar Amerika Serikat. Hanya saja, sayangnya, kemudian pimpinan proyek ini dipindahkan, dan operator swasta yang menjalankan sistem tersebut angkat kaki karena tidak diperpanjangnya kontrak akibat perselisihan pembayaran. Dan karena korupsi tidak secara murni hanya menyangkut administrasi dan satu sisi saja, pendapatan memang tetap pada angka 50 juta dolar Amerika Serikat, namun angka itu didapat saat sistem tidak bekerja. Disebut-sebut sesungguhnya angka itu hanyalah 10% dari denda yang berhasil dikumpulkan.
E-government di India juga dapat dimanfaatkan sebagai tempat complain jika ada sesuatu yang tidak disukai masyarakat terhadap pemerintah. Bahkan dibuatkan situs khusus untuk itu complaints.mdconline.gov.id yang diluncurkan Maret lalu. Aplikasi yang dibangun Banglore-based eGovernments Foundation didesain untuk untuk menerima keluhan dari warga masyarakat pada beberapa layanan yang disediakan Municipal Corporation of Delhi (MDC), dan juga menelusuri bagaimana pelayan publik merespons keluhan yang disampaikan.
Rencana 5 Tahun
Rencana 5 Tahun
Dalam pengembangan ICT, Pemerintah India mempunyai rencana besar dengan menyiapkan rencana pembangunan lima tahun (2002-2005). Termasuk dalam rencana tersebut adalah membangun portal sebagai one stop destination untuk akses informasi publik dan membuat database warga negara dan menerbitkan smart card, yang memungkinkan berfungsi sebagai kartu multifungsi: untuk membayar tagihan, pemilu elektronik dan pembuatan ataupun perpanjangan passport. Dana yang dialokasikan untuk proyek database itu sendiri mencapai 130 juta Dolar Amerika Serikat.
Namun begitu, konsep-konsep tersebut sebagian kecil sudah terealisasikan. Seperti di Kota Andra Pradesh, sebelah Selatan India, yang telah berubah menjadi zona high-tech. Pemerintah Daerah di sana selama tiga tahun menyiap infrastruktur teknologi informasi yang dibutuhkan untuk kemudian membangun “i-community”. Dengan memberikan layanan pemerintahan secara elektronik seperti pembayaran tagihan, registrasi kelahiran dan kematian, koneksi ke sekolah lokal maupun rumah sakit, termasuk juga layanan kesehatan dan pertanian.
Hanya saja, mengingat sumber daya manusia yang berlebih di India, banyak pekerja yang memprotes keberadaan proyek i-community ini. Karenanya, konsep yang dikembangkan di Andra Pradesh terlihat akan sulit untuk bisa dijadikan percontohan di daerah-daerah lain. Apalagi, pada kenyataannya, banyak pegawai negara yang tidak mengerti bagaimana cara menggunakan komputer atau mengaksesnya.
Persoalan di Andra Pradesh, di atasi Kota Banglore dengan menempatkan komputer di tiap departemen, membuat situs untuk tiap distrik dan melatih para pegawai negara di sana agar bisa menggunakan teknologi informasi. Selain itu, dibangun pula 225 pusat pelatihan di seluruh kota untuk mengedukasi pelajar, perempuan dan keluarga dengan pendapat rendah tentang manfaat teknologi informasi. Rencana berikutnya adalah menyiapkan 7.500 kios informasi di seluruh penjuru wilayah.
Dalam pengembangan infrastruktur, yang menarik adalah India mungkin berbeda dengan negara-negara lain seperti Indonesia yang jaga image untuk tidak bekerja sama dengan vendor-vendor tertentu, India bekerja sama dengan beberapa vendor. Misalnya saja IBM yang membangun e-government center di Gurgaon. Pusat e-government menawarkan teknologi, dukungan dan infrastruktur untuk membantu pemerintah dan provider layanan untuk mendesain, membangun dan melakukan pengujian konsep aplikasi layanan pemerintahan secara elektronik di sana.Bahkan IBM menghadirkan e-district pertama di India, yaitu di distrik Tiruvar di Tamil Nadu.
Begitu juga dengan Oracle yang terlibat dalam proyek e-government di 28 kota di India. Beberapa proyek yang sukses dengan memanfaatkan teknologi Oracle di antaranya adalah eSeva di Andhra Pradesh yang menydiakan layanan pemerintah ke warga masyarakat hingga mencapai sejuta transaksi per bulannya, kemudian juga pada Jawatan Kereta Api India yang menangani 75 ribu pemesanan tiap bulannya untuk 74 kota. Oracle juga meluncurkan E-Governance Center of Excellence, yang akan menyediakan platform untuk membangun model aplikasi e-governance.
Tak ketinggalan adalah perusahaan dunia, Microsoft. Dalam kunjungan ke India tahun 2002, Bill Gates menyatakan bahwa perusahaannya akan menginvestasikan 400 juta Dolar Amerika Serikat di India yang dalam tiga tahun akan ditingkatkan. Investasi itu akan digunakan untuk pendidikan, kerja sama, inovasi teknologi dan ekspansi Microsoft Development Center, setelah dibangun di Kanada. Jadilah kini India sebagai salah satu dari Microsoft center yang ada di dunia. Hal yang sama, untuk mebangun Microsoft center, sempat ditawarkan Indonesia saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bertemu dengan Bill Gates di Amerika Serikat bulan Mei lalu.
Namun hingga kini belum jelas bagaimana kelanjutan ajakan Indonesia itu. Apalagi hal itu tentu akan menjadi kontradiksi, sebab di lain pihak pemerintah sendiri begitu menggembar-gemborkan untuk menggunakan produk open source dengan program bertajuk Indonesia Go Open Source (IGOS), sehingga penggiat IGOS pun berkeberatan dengan keinginan pemerintah bekerja sama dengan Microsoft. Belajar dari India, dengan sumberdaya teknologi informasi yang pada kenyataannya jauh lebih baik daripada Indonesia, agaknya bantuan, kerja sama maupun investasi, selama itu menguntungkan untuk kemajuan bangsa, bermanfaat dalam mengembangkan sumber daya manusia, perlu mendapat pertimbangan tersendiri.
Pernah dimuat di Majalah E-Indonesia.
07 Juni 2009
Dampak Media pada Individu
Ada tiga bagian besar yang dikedepankan dalam pembahasan mengenai media individu. Yaitu, teori efek media, penelitian media media dan efek media yang berupa prilaku antisosial maupun prososial.
Teori Efek Media
Beberapa teori mengenai konsekuensi penggunaan media terhadap individu:
¨ Teori Peluru atau Teori Hypodermic. Media amat sangat berpengaruh dan dampaknya cepat seperti peluru atau jarum suntik hypodermic.
¨ Multistep Flow. Efek media tidak secara langsung terjadi, namun melalui pengaruh persoanl opinion leader. Pemimpin opini itu sendiri lebih banyak dipengaruhi elit media daripada saluran media massa sehari-hari.
¨ Efek Terbatas. Efek media terbatas karena khalayak dapat memilih pesan yang diinginkan.
¨ Teori Pembelajaran Sosial (Social Learning Theory). Teori ini menjelaskan bahwa pemirsa meniru apa yang mereka lihat di media sebagai proses observational learning.
¨ Teori Kultivasi. Teori ini berpendapat bahwa terpaan media massa menanamkan pandangan tentang dunia yang secara konsisten menghadirkan “kenyataan”.
¨ Priming. Teori ini menyatakan bahwa stimulasi gambaran media berhubungan dengan apa yang dipikirkan khalayak.
Penelitian Efek Media
Efek media berubah baik dalam kognisi, sikap, emosi atau prilaku sebagai hasil dari terpaan media massa. Ada bermacam metode penelitian untuk mempelajari hal tersebut, yang tiap jenis penelitian mempunyai kelebihan dan kekurangan. Beberapa penelitian efek media tersebut meliputi:
Ø Pendekatan Deduktif. Pendekatan ini berdasarkan hukum sebab akibat. Efek media diprediksikan berdasar teori yang ada dan prediksi tersebut diuji secara observasi sistematis. Terpaan media massa biasanya dilihat sebagai “sebab” atau variabel bebas. Terpaan terhadap isi media dilihat sebagai “akibat”, yang bisa berupa prilaku antisosial maupun prososial, yang disebut varibel dependent.
Ø Pendekatan Induktif. Lewat pendekatan ini, observasi dilakukan lebih dulu baru kemudian melahirkan teori. Pendekatan ini melihat bahwa media, budaya dan masyarakat saling mempengaruhi satu sama lain sehingga tidak ada aliran satu arah dari sebab ke akibat. Karena bersikap kritis terhadap media, sering juga pendekatan ini disebut dengan teori kritis.
Ø Metode Kualitatif vs. Kuantitatif. Metode kualitatif dipakai seperti dalam studi simbol dalam isi media. Sedang kuantitatif dipakai untuk menghitung temuan dan menganalisa dengan statistik hubungan antara variabel bebas dan variabel dependent.
Ø Analisis Isi. Analisis isi mengkuantifikasikan isi media. Analisis isi dapat menggambarkan secara detil isi media dan mengidentifikasikan kecenderungan isi pada waktu tertentu. Hanya saja, analisis isi tidak bisa dipakai untuk menyimpulkan media efek karena khalayak sering memahami media secara berbeda dengan peneliti.
Ø Penelitian Eksperimental. Studi penelitian eksperimental terhadap efek media mengontrol kondisi yang diteliti secara cermat. Subyek eksperimen harus secara acak dibagi dalam kelompok untuk meminimalisasi dampak perbedaan individu di antara subyek, jika tidak hasilnya hanya akan menggambarkan karakter subyek dan bukan efek dari isi media.
Ø Penelitian Survei. Studi ini lebih umum daripada penelitian eksperimental akrena yang dijadikan sampel mewakili populasi yang lebih luas. Penelitian ini bisa menghasilkan temuan yang ambivalen dengan sebab dan akibat. Seperti, dimungkinkan misalnya seorang anak yang agresif senang bermain video games yang berisi kekerasan, atau kekerasan itulah yang justru menyebabkan bermain video games. Atau dimungkinkan, antara prilaku kekerasan dan penggunaan video games disebabkan oleh faktor ketiga, seperti longgarnya pengawasan orang tua.
Ø Penelitian Etnografi. Merupakan adaptasi dari teknik yang digunakan para antropolog untuk melihat budaya secara keseluruhan. Karenanya, etnografi merupakan cara alami untuk melihat dampak dari komunikasi media. Etnografi menempatkan media dalam konteks luas dari kehidupan dan budaya pengguna media. Meski terkadang menggunakan kueioner, etnografi sering dilihat sebagai alternatif penelitian survei. Survei memungkinkan untuk membandingkan banyak orang sesuai pertanyaan standar.
Efek Media
A. Prilaku Antisosial
Yang dimaksud dengan prilaku antisosial adalah bertentangan dengan norma-norma sosial yang ada. Termasuk di dalamnya pelanggaran hukum seperti pembunuhan, perkosaan ataupun narkotika. Para peneliti memberikan perhatian lebih pada tayangan kekerasan di televisi, namun begitu ada beberapa kategori efek media yang juga patut diberi perhatian, termasuk kecurigaan sosial, prilaku seksual dan penyalahgunaan obat-obatan.
a. Violence (Kekerasan). Efek kekerasan di televisi pada anak menjadi perhatian utama penelitian. Hal itu karena anak-anak mempunyai masalah dalam membedakan antara “dunia nyata” dan dunia lewat layar kaca. Anak-anak juga banyak menghabiskan waktu di depan televisi tanpa supervisi orang tua. Tak ketinggalan, anak-anak akan meniru kekerasan yang ditontonnya.
b. Prejudice (kecurigan). Media mempromosikan masalah seks, rasis dan hal intolerance lainnya. Media juga mendukung hadirnya stereotype, membuat generalisasi tentang sekelompok orang berdasar informasi yang terbatas. Stereotip media ini berpengaruh terhadap seluruh kelompok dalam masyarakat.
c. Prilaku Seksual. Hadirnya materi pornografi lewat majalah, video maupun internet menghadirkan kecenderungan baru efek seks dalam media: perkosaan dan pelecehan seksual.
d. Penyalahgunaan Narkoba. Tayangan mengenai rokok, minuman keras dan pemakaian narkoba ternyata meningkatkan konsumsi terhadap hal tersebut. Sehingga, ditengarai ada hubungan antara terpaan mengenai rokok, minuman keras dan pemakaian narkoba pada anak-anak dan remaja dengan konsumsi produk-produk tersebut.
e. Efek Media Komputer. Meluasnya pemakaian komputer dan internet menyebabkan beberapa dampak yang khusus pula. Seperti: kecanduan, depresi, prilaku antisosial dan computerphobia atau cyberphobia.
B. Prilaku Prososial
Berlawanan dengan antisosial, yang dimaksud dengan prilaku prososial adalah prilaku yang memiliki nilai-nilai positif yang ingin ditingkatakan pada anak-anak dan masyarakat, seperti kerja sama, berbagi, toleran, cinta kasih, penghormatan, penggunaan kontrasepsi, meningkatkan kemampuan membaca dan sebagainya.
Promosi prilaku prososial dilakukan melalui: kampanye informasi, pendidikan nonformal, mewaspadai efek iklan serta efek komunikasi politik.
DAFTAR PUSTAKA
Joseph Straubhaar dan LaRose, Robert. Media Now: Communication Media in the Information Age. Wadsworth, 2002.
Teori Efek Media
Beberapa teori mengenai konsekuensi penggunaan media terhadap individu:
¨ Teori Peluru atau Teori Hypodermic. Media amat sangat berpengaruh dan dampaknya cepat seperti peluru atau jarum suntik hypodermic.
¨ Multistep Flow. Efek media tidak secara langsung terjadi, namun melalui pengaruh persoanl opinion leader. Pemimpin opini itu sendiri lebih banyak dipengaruhi elit media daripada saluran media massa sehari-hari.
¨ Efek Terbatas. Efek media terbatas karena khalayak dapat memilih pesan yang diinginkan.
¨ Teori Pembelajaran Sosial (Social Learning Theory). Teori ini menjelaskan bahwa pemirsa meniru apa yang mereka lihat di media sebagai proses observational learning.
¨ Teori Kultivasi. Teori ini berpendapat bahwa terpaan media massa menanamkan pandangan tentang dunia yang secara konsisten menghadirkan “kenyataan”.
¨ Priming. Teori ini menyatakan bahwa stimulasi gambaran media berhubungan dengan apa yang dipikirkan khalayak.
Penelitian Efek Media
Efek media berubah baik dalam kognisi, sikap, emosi atau prilaku sebagai hasil dari terpaan media massa. Ada bermacam metode penelitian untuk mempelajari hal tersebut, yang tiap jenis penelitian mempunyai kelebihan dan kekurangan. Beberapa penelitian efek media tersebut meliputi:
Ø Pendekatan Deduktif. Pendekatan ini berdasarkan hukum sebab akibat. Efek media diprediksikan berdasar teori yang ada dan prediksi tersebut diuji secara observasi sistematis. Terpaan media massa biasanya dilihat sebagai “sebab” atau variabel bebas. Terpaan terhadap isi media dilihat sebagai “akibat”, yang bisa berupa prilaku antisosial maupun prososial, yang disebut varibel dependent.
Ø Pendekatan Induktif. Lewat pendekatan ini, observasi dilakukan lebih dulu baru kemudian melahirkan teori. Pendekatan ini melihat bahwa media, budaya dan masyarakat saling mempengaruhi satu sama lain sehingga tidak ada aliran satu arah dari sebab ke akibat. Karena bersikap kritis terhadap media, sering juga pendekatan ini disebut dengan teori kritis.
Ø Metode Kualitatif vs. Kuantitatif. Metode kualitatif dipakai seperti dalam studi simbol dalam isi media. Sedang kuantitatif dipakai untuk menghitung temuan dan menganalisa dengan statistik hubungan antara variabel bebas dan variabel dependent.
Ø Analisis Isi. Analisis isi mengkuantifikasikan isi media. Analisis isi dapat menggambarkan secara detil isi media dan mengidentifikasikan kecenderungan isi pada waktu tertentu. Hanya saja, analisis isi tidak bisa dipakai untuk menyimpulkan media efek karena khalayak sering memahami media secara berbeda dengan peneliti.
Ø Penelitian Eksperimental. Studi penelitian eksperimental terhadap efek media mengontrol kondisi yang diteliti secara cermat. Subyek eksperimen harus secara acak dibagi dalam kelompok untuk meminimalisasi dampak perbedaan individu di antara subyek, jika tidak hasilnya hanya akan menggambarkan karakter subyek dan bukan efek dari isi media.
Ø Penelitian Survei. Studi ini lebih umum daripada penelitian eksperimental akrena yang dijadikan sampel mewakili populasi yang lebih luas. Penelitian ini bisa menghasilkan temuan yang ambivalen dengan sebab dan akibat. Seperti, dimungkinkan misalnya seorang anak yang agresif senang bermain video games yang berisi kekerasan, atau kekerasan itulah yang justru menyebabkan bermain video games. Atau dimungkinkan, antara prilaku kekerasan dan penggunaan video games disebabkan oleh faktor ketiga, seperti longgarnya pengawasan orang tua.
Ø Penelitian Etnografi. Merupakan adaptasi dari teknik yang digunakan para antropolog untuk melihat budaya secara keseluruhan. Karenanya, etnografi merupakan cara alami untuk melihat dampak dari komunikasi media. Etnografi menempatkan media dalam konteks luas dari kehidupan dan budaya pengguna media. Meski terkadang menggunakan kueioner, etnografi sering dilihat sebagai alternatif penelitian survei. Survei memungkinkan untuk membandingkan banyak orang sesuai pertanyaan standar.
Efek Media
A. Prilaku Antisosial
Yang dimaksud dengan prilaku antisosial adalah bertentangan dengan norma-norma sosial yang ada. Termasuk di dalamnya pelanggaran hukum seperti pembunuhan, perkosaan ataupun narkotika. Para peneliti memberikan perhatian lebih pada tayangan kekerasan di televisi, namun begitu ada beberapa kategori efek media yang juga patut diberi perhatian, termasuk kecurigaan sosial, prilaku seksual dan penyalahgunaan obat-obatan.
a. Violence (Kekerasan). Efek kekerasan di televisi pada anak menjadi perhatian utama penelitian. Hal itu karena anak-anak mempunyai masalah dalam membedakan antara “dunia nyata” dan dunia lewat layar kaca. Anak-anak juga banyak menghabiskan waktu di depan televisi tanpa supervisi orang tua. Tak ketinggalan, anak-anak akan meniru kekerasan yang ditontonnya.
b. Prejudice (kecurigan). Media mempromosikan masalah seks, rasis dan hal intolerance lainnya. Media juga mendukung hadirnya stereotype, membuat generalisasi tentang sekelompok orang berdasar informasi yang terbatas. Stereotip media ini berpengaruh terhadap seluruh kelompok dalam masyarakat.
c. Prilaku Seksual. Hadirnya materi pornografi lewat majalah, video maupun internet menghadirkan kecenderungan baru efek seks dalam media: perkosaan dan pelecehan seksual.
d. Penyalahgunaan Narkoba. Tayangan mengenai rokok, minuman keras dan pemakaian narkoba ternyata meningkatkan konsumsi terhadap hal tersebut. Sehingga, ditengarai ada hubungan antara terpaan mengenai rokok, minuman keras dan pemakaian narkoba pada anak-anak dan remaja dengan konsumsi produk-produk tersebut.
e. Efek Media Komputer. Meluasnya pemakaian komputer dan internet menyebabkan beberapa dampak yang khusus pula. Seperti: kecanduan, depresi, prilaku antisosial dan computerphobia atau cyberphobia.
B. Prilaku Prososial
Berlawanan dengan antisosial, yang dimaksud dengan prilaku prososial adalah prilaku yang memiliki nilai-nilai positif yang ingin ditingkatakan pada anak-anak dan masyarakat, seperti kerja sama, berbagi, toleran, cinta kasih, penghormatan, penggunaan kontrasepsi, meningkatkan kemampuan membaca dan sebagainya.
Promosi prilaku prososial dilakukan melalui: kampanye informasi, pendidikan nonformal, mewaspadai efek iklan serta efek komunikasi politik.
DAFTAR PUSTAKA
Joseph Straubhaar dan LaRose, Robert. Media Now: Communication Media in the Information Age. Wadsworth, 2002.
01 Juni 2009
Tulisanku Mengenai Tantangan TIK bagi Presiden Mendatang Dimuat Bisnis Indonesia
Alhamdulillah, hari ini tulisan ku dimuat di rubrik opini harian Bisnis Indonesia. Terima kasih Bisnis Indonesia.
Berikut isi lengkapnya:
Tantangan TIK untuk presiden mendatang
Sektor teknologi informasi dan komunikasi (TIK) sangat berkepentingan terhadap pemilihan presiden dan siapa yang akan terpilih sebagai pasangan presiden dan wakil presiden. Pertama, pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dalam Pemilu Legislatif April lalu memberikan citra negatif terhadap pemanfaatan TIK. Meski mengeluarkan biaya tidak sedikit, TIK dinilai tidak mampu membantu mempercepat penetapan hasil pemilu. Hasil yang tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi pada Pemilu 2004.
Alhasil, pilpres mendatang menjadi ujian apakah TIK hanya sekadar menghabiskan uang negara atau membantu mengakselerasi hasil perhitungan suara secepat hitung cepat (quick count).
Kedua, peran TIK ke depan akan menjadi demikian signifikan seiring dengan perubahan paradigma ekonomi, dari ekonomi industri ke arah ekonomi digital yang kreatif, apalagi pada 2015.
Dalam World Summit on Information Society (WSIS) telah disepakati bahwa di tahun tersebut, separuh penduduk dunia diharapkan sudah terkoneksi ke Internet.
Di tingkat ASEAN dan APEC bahkan disepakati dengan kewajiban broadband service obligation (BSO), sehingga seluruh desa yang diharapkan sudah mempunyai akses telepon pada 2010 perlu ditingkatkan dengan terkoneksi ke Internet berpita lebar (broadband).
Pada hari Kebangkitan Nasional 20 Mei lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melakukan dua milestone terkait dengan TIK, yaitu uji coba televisi digital dan peresmian akses telekomunikasi di daerah terpencil dan wilayah perbatasan.
Upaya ini penting dicatat mengingat migrasi dari analog ke digital merupakan sebuah keniscyaan yang tidak bisa diabaikan, dan pemasangan telepon ke desa-desa merupakan jawaban pengentasan kemiskinan akses telekomunikasi 31.824 desa yang belum tersentuh teleponi dasar.
Dalam banyak studi dipercaya peningkatan infrastruktur telekomunikasi memberikan kontribusi signifikan dalam pertumbuhan ekonomi. Namun, peresmian tersebut tentu bukanlah menjadi akhir tantangan sektor TIK Indonesia.
Indikator kemampuan Indonesia dalam memanfaatkan TIK dalam pembangunan ekonomi di antaranya dapat dilihat dalam E-Readiness yang dikeluarkan The Economist Intelligence Unit.
Untuk 2008, Indonesia hanya berada di peringkat 68, turun satu peringkat dari tahun sebelumnya, dengan nilai 3.59, sedangkan menurut World Economic Forum dalam Global Information Technology Report 2008-2009, Indonesia berada pada posisi 83 dari 134 negara, di bawah Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Vietnam.
Untuk mengubah kondisi-apalagi Presiden Yudhoyono pernah meyakini bahwa pada 2030 nasib Indonesia akan berubah-menjadi satu dari lima negara maju di dunia-ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan oleh presiden terpilih mendatang terkait dengan ICTnomic (ekonomi berbasis TIK).
Hal itu adalah konektivitas dan infrastruktur, lingkungan bisnis, lingkungan sosial dan budaya serta visi dan kebijakan pemerintah. Dalam hal konektivitas dan infrastruktur ada tiga tantangan utama: ketersediaan akses yang mengarah ke broadband, tarif yang terjangkau bagi masyarakat serta layanan yang berkualitas bagi semua.
Dalam hal lingkungan bisnis, perlu ditekankan bahwa menambahkan "e" (electronic) di depan e-commerce, e-government, e-health dan e-education, tidaklah mengubah hal utamanya menyangkut commerce, government, health ataupun education.
Terkait dengan sosial dan budaya, SDM Indonesia perlu mendapat literasi mengenai pemanfaatan TIK dan menggunakannya secara cerdas. Pada akhir 2008, diperkirakan jumlah pengguna Internet Indonesia baru sekitar 30 juta atau sekitar 13% dari populasi yang ada.
Sulit rasanya bicara ekonomi digital jika edukasi masyarakat dan pengetahuan mengenai Internet tidak cukup baik. Yang cukup unik, selain masyarakat yang sudah melek Internet, Indonesia sejatinya masih memiliki masyarakat yang ada di pedalaman dan masih alergi terhadap pemanfaatan teknologi baru, ditambah dengan mayoritas masyarakat yang agraris.
Belajar dari Malaysia, negeri jiran yang bercokol di posisi 34 e-readiness, jauh-jauh hari yaitu pada 1991 PM Mahathir Muhammad mengemukakan Vision 2020 agar negaranya menjadi negara maju. Itu dilakukan dengan membangun Multimedia Super Corridor (MSC).
MSC merupakan proyek pembangunan terkait dengan TIK yang paling komprehensif. Lebih dari sekadar technology park, MSC merupakan kendaraan untuk mentransformasikan sosial dan ekonomi Malaysia menuju masyarakat berpengetahuan pada 2020.
Langkah Mesir dalam pengembangan industri dalam negeri layak juga dicontoh. Pada 2005 Pemerintah Mesir membentuk Information Technology Industry Development Authority (ITIDA) untuk membangun sektor TIK yang berorientasi ekspor.
Beberapa langkah yang dilakukan ITIDA di antaranya adalah membangun dan memperluas industri TIK di tingkat nasional, meningkatkan kesempatan bagi produk-produk TIK lanjutan Mesir untuk diekspor, memberi ruang bagi investasi di industri TIK serta membantu pembangunan dan pertumbuhan perusahaan yang bekerja di sektor TIK.
Belum masuk UU
Tantangan lainnya adalah menjawab perkembangan konvergensi. Konvergensi menjadi kunci masa depan TIK. Bahkan, tidak perlu menunggu waktu terlalu lama, konvergensi antara telekomunikasi, media (penyiaran) dan informatika telah hadir. Hanya saja, perkembangan tersebut belum tecermin dalam UU yang terkait dengan telekomunikasi, termasuk penyiaran.
Selain UU tersebut, UU lain yang bersinggungan dengan TIK adalah UU No. 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik serta UU No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Semangat utama perubahan menuju regulasi konvergen adalah menjaga harmonisasi antara kepentingan masyarakat banyak dan industri telekomunikasi, antara kemajuan teknologi konvergensi dengan kebutuhan masyarakat akan layanan teknologi informasi yang murah, andal, aman dan berkualitas, juga antara kepentingan nasional dan global.
Satu hal yang tidak bisa diabaikan adalah format regulator TIK ke depan. Saat ini ada begitu banyak lembaga negara yang dapat dijadikan perbandingan. Namun, industri konvergensi tentu membutuhkan regulator yang unik, tetapi harus independen dari kepentingan penyelenggara.
Adopsi masyarakat dan sektor bisnis terhadap pemanfaatan TIK juga perlu dikedepankan sebagai ukuran kesuksesan implementasi dari saluran digital untuk masyarakat dan kalangan bisnis.
Hal yang belum tergarap secara maksimal adalah membuat dan mengembangkan konten lokal yang mencerdaskan, menarik dan memberikan nilai tambah bagi masyarakat.
Dari trafik Internet Indonesia saat ini, mayoritas bersifat download dibandingkan dengan upload dan lari ke jaringan internasional. Inilah tantangan yang harus dijawab pemimpin mendatang.
Berikut isi lengkapnya:
Tantangan TIK untuk presiden mendatang
Sektor teknologi informasi dan komunikasi (TIK) sangat berkepentingan terhadap pemilihan presiden dan siapa yang akan terpilih sebagai pasangan presiden dan wakil presiden. Pertama, pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dalam Pemilu Legislatif April lalu memberikan citra negatif terhadap pemanfaatan TIK. Meski mengeluarkan biaya tidak sedikit, TIK dinilai tidak mampu membantu mempercepat penetapan hasil pemilu. Hasil yang tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi pada Pemilu 2004.
Alhasil, pilpres mendatang menjadi ujian apakah TIK hanya sekadar menghabiskan uang negara atau membantu mengakselerasi hasil perhitungan suara secepat hitung cepat (quick count).
Kedua, peran TIK ke depan akan menjadi demikian signifikan seiring dengan perubahan paradigma ekonomi, dari ekonomi industri ke arah ekonomi digital yang kreatif, apalagi pada 2015.
Dalam World Summit on Information Society (WSIS) telah disepakati bahwa di tahun tersebut, separuh penduduk dunia diharapkan sudah terkoneksi ke Internet.
Di tingkat ASEAN dan APEC bahkan disepakati dengan kewajiban broadband service obligation (BSO), sehingga seluruh desa yang diharapkan sudah mempunyai akses telepon pada 2010 perlu ditingkatkan dengan terkoneksi ke Internet berpita lebar (broadband).
Pada hari Kebangkitan Nasional 20 Mei lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melakukan dua milestone terkait dengan TIK, yaitu uji coba televisi digital dan peresmian akses telekomunikasi di daerah terpencil dan wilayah perbatasan.
Upaya ini penting dicatat mengingat migrasi dari analog ke digital merupakan sebuah keniscyaan yang tidak bisa diabaikan, dan pemasangan telepon ke desa-desa merupakan jawaban pengentasan kemiskinan akses telekomunikasi 31.824 desa yang belum tersentuh teleponi dasar.
Dalam banyak studi dipercaya peningkatan infrastruktur telekomunikasi memberikan kontribusi signifikan dalam pertumbuhan ekonomi. Namun, peresmian tersebut tentu bukanlah menjadi akhir tantangan sektor TIK Indonesia.
Indikator kemampuan Indonesia dalam memanfaatkan TIK dalam pembangunan ekonomi di antaranya dapat dilihat dalam E-Readiness yang dikeluarkan The Economist Intelligence Unit.
Untuk 2008, Indonesia hanya berada di peringkat 68, turun satu peringkat dari tahun sebelumnya, dengan nilai 3.59, sedangkan menurut World Economic Forum dalam Global Information Technology Report 2008-2009, Indonesia berada pada posisi 83 dari 134 negara, di bawah Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Vietnam.
Untuk mengubah kondisi-apalagi Presiden Yudhoyono pernah meyakini bahwa pada 2030 nasib Indonesia akan berubah-menjadi satu dari lima negara maju di dunia-ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan oleh presiden terpilih mendatang terkait dengan ICTnomic (ekonomi berbasis TIK).
Hal itu adalah konektivitas dan infrastruktur, lingkungan bisnis, lingkungan sosial dan budaya serta visi dan kebijakan pemerintah. Dalam hal konektivitas dan infrastruktur ada tiga tantangan utama: ketersediaan akses yang mengarah ke broadband, tarif yang terjangkau bagi masyarakat serta layanan yang berkualitas bagi semua.
Dalam hal lingkungan bisnis, perlu ditekankan bahwa menambahkan "e" (electronic) di depan e-commerce, e-government, e-health dan e-education, tidaklah mengubah hal utamanya menyangkut commerce, government, health ataupun education.
Terkait dengan sosial dan budaya, SDM Indonesia perlu mendapat literasi mengenai pemanfaatan TIK dan menggunakannya secara cerdas. Pada akhir 2008, diperkirakan jumlah pengguna Internet Indonesia baru sekitar 30 juta atau sekitar 13% dari populasi yang ada.
Sulit rasanya bicara ekonomi digital jika edukasi masyarakat dan pengetahuan mengenai Internet tidak cukup baik. Yang cukup unik, selain masyarakat yang sudah melek Internet, Indonesia sejatinya masih memiliki masyarakat yang ada di pedalaman dan masih alergi terhadap pemanfaatan teknologi baru, ditambah dengan mayoritas masyarakat yang agraris.
Belajar dari Malaysia, negeri jiran yang bercokol di posisi 34 e-readiness, jauh-jauh hari yaitu pada 1991 PM Mahathir Muhammad mengemukakan Vision 2020 agar negaranya menjadi negara maju. Itu dilakukan dengan membangun Multimedia Super Corridor (MSC).
MSC merupakan proyek pembangunan terkait dengan TIK yang paling komprehensif. Lebih dari sekadar technology park, MSC merupakan kendaraan untuk mentransformasikan sosial dan ekonomi Malaysia menuju masyarakat berpengetahuan pada 2020.
Langkah Mesir dalam pengembangan industri dalam negeri layak juga dicontoh. Pada 2005 Pemerintah Mesir membentuk Information Technology Industry Development Authority (ITIDA) untuk membangun sektor TIK yang berorientasi ekspor.
Beberapa langkah yang dilakukan ITIDA di antaranya adalah membangun dan memperluas industri TIK di tingkat nasional, meningkatkan kesempatan bagi produk-produk TIK lanjutan Mesir untuk diekspor, memberi ruang bagi investasi di industri TIK serta membantu pembangunan dan pertumbuhan perusahaan yang bekerja di sektor TIK.
Belum masuk UU
Tantangan lainnya adalah menjawab perkembangan konvergensi. Konvergensi menjadi kunci masa depan TIK. Bahkan, tidak perlu menunggu waktu terlalu lama, konvergensi antara telekomunikasi, media (penyiaran) dan informatika telah hadir. Hanya saja, perkembangan tersebut belum tecermin dalam UU yang terkait dengan telekomunikasi, termasuk penyiaran.
Selain UU tersebut, UU lain yang bersinggungan dengan TIK adalah UU No. 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik serta UU No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Semangat utama perubahan menuju regulasi konvergen adalah menjaga harmonisasi antara kepentingan masyarakat banyak dan industri telekomunikasi, antara kemajuan teknologi konvergensi dengan kebutuhan masyarakat akan layanan teknologi informasi yang murah, andal, aman dan berkualitas, juga antara kepentingan nasional dan global.
Satu hal yang tidak bisa diabaikan adalah format regulator TIK ke depan. Saat ini ada begitu banyak lembaga negara yang dapat dijadikan perbandingan. Namun, industri konvergensi tentu membutuhkan regulator yang unik, tetapi harus independen dari kepentingan penyelenggara.
Adopsi masyarakat dan sektor bisnis terhadap pemanfaatan TIK juga perlu dikedepankan sebagai ukuran kesuksesan implementasi dari saluran digital untuk masyarakat dan kalangan bisnis.
Hal yang belum tergarap secara maksimal adalah membuat dan mengembangkan konten lokal yang mencerdaskan, menarik dan memberikan nilai tambah bagi masyarakat.
Dari trafik Internet Indonesia saat ini, mayoritas bersifat download dibandingkan dengan upload dan lari ke jaringan internasional. Inilah tantangan yang harus dijawab pemimpin mendatang.
Langganan:
Postingan (Atom)