Seperti orang penting saja, saya dibikinin profil oleh Majalah Digicom di Edisi Agustus ini. Sebenarnya malu juga sih, sebab belum ada sesuatu yang dapat dibanggakan dari saya, belum banyak yang saya kerjakan dan berikan untuk masyarakat, apalagi negara ini. Tapi, ya tetap terima kasih buat Majalah Digicom. Bagi yang belum membacanya, berikut saya copy-kan isinya. Smeoga bermanfaat untuk dapat mengenal saya lebih dekat lagi.
Salam.
Terus Memberikan Yang Terbaik Bagi Negara
Itu adalah ambisi Heru Sutadi yang akrab di panggil Heru, untuk memajukan telekomunikasi Indonesia dalam pekerjaannya di BRTI yang dibentuk sebagai pengatur, pengawas dan pengendali industri telekomunikasi.
BRTI
Pria kelahiran Jakarta 1 April 1970 merasa pekerjaannya sebagai anggota komite regulasi telekomunikasi cukup menantang yaitu bagaimana caranya kita bisa secara bersama-sama mewujudkan masyarakat Indonesia ke arah masyarakat berbasis pengetahuan (knowledge based society). “Sebab seperti diketahui, tantangan ke depan adalah bagaimana menggunakan teknologi informasi dan komunikasi sebesar-besarnya untuk kesejahteraan masyarakat. Tiap apa yang kita kerjakan, amat sangat cepat dampaknya bagi masyarakat“ ujarnya.
Latar belakang pendidikan Heru juga sangat mendukung pekerjaanya yang sekarang yaitu S1 TEKNIK ELEKTRO UNIVERSITAS INDONESIA pada tahun 1996, S2 KOMUNIKASI UNIVERSITAS INDONESIA pada tahun 2003 dan S3 TEKNIK ELEKTRO UNIVERSITAS INDONESIA pada tahun 2007 sampai sekarang. “Saya di elektro, khususnya telekomunikasi, sangat sesuai dengan bidang yang saya geluti. Begitu juga dengan komunikasi, memungkinkan saya untuk dapat berkomunikasi dengan semua pemangku kepentingan (stakeholder). Saya mencoba menjawab tantangan dimana banyak orang teknik yang sulit berkomunikasi, dan orang komunikasi tanpa latar belakang teknik memadai sehingga apa yang disampaikan terkadang tidak tepat“ ujarnya.
Heru sudah bekerja di BRTI selama 2 setengah tahun, masa jabatannya habis pada akhir tahun ini. Walaupun selanjutnya bisa di seleksi untuk periode berikutnya. Jika ditanya akan suka duka yang dirasakan mestinya cukup bermacam-macam. “Sukanya banyak, dimana kebijakan yang kita ambil cepat sekali dampaknya bagi industri dan bagi masyarakat. Jika ada kebijakan yang menyangkut beberapa operator, dan para operator senang semua, wah kita juga ikut senang. Begitu juga jika ada kebijakan yang pro konsumen dan konsumen senang, dan industri tidak keberatan, kita juga bahagia. Dukanya, ya selalu tidak ada keputusan yang mampu memuaskan semua pihak. Beberapa kali kami di demo, bahkan pernah terjadi pembunuhan karakter juga. Tapi ya semua saya nikmati. Ini kan negara demokrasi, yang boleh beda pendapat asal pendapat disampaikan dengan cara-cara elegan. Saya sendiri waktu mahasiswa suka demo, bahkan tahun ‚98 masih juga demo, sehingga ya biasa-biasa saja menghadapinya. Beda pendapat itu kan karena KPI (key performance indicator) dari masing-masing pihak berbeda. KPI kami adalah bagaimana industri berkesinambungan dalam iklim yang kompetitif, konsumen dilindungi untuk mendapatkan layanan yang sesuai dengan harga yang dibayarkan ,dan negara mendapat pendapatan yang dapat menyumbang pembangunan“ ujarnya panjang lebar.
Dengan maraknya perang tariff operator saat ini, menurut Heru BRTI sudah bisa mengendalikan dan mencegah supaya operator tidak merugikan para konsumennya, “SMS sudah cukup siginifikan turun, meksi ada operator yang tetap menjual dengan harga tinggi. Tapi kita lihat saja, dengan persaingan yang ketat, yang jual dengan harga mahal akan ditinggal konsumen. BRTI juga tetap memantau apakah tarif yang ditawarkan benar atau tidak. Bahkan kami tak segan-segan meminta operator mengganti iklan yang tidak akurat dan lengkap karena cenderung nantinya konsumen yang dirugikan. BRTI juga bersama Komisi Penyiaran Indonesia Pusat sepakat untuk memantau iklan-iklan telekomunikasi di TV apakah memenuhi UU Perlindungan Konsumen atau tidak. Jika tidak lengkap dan akurat, sehingga bisa dianggap menipu ya akan distop iklannya” ujar Heru.
I can’t live without internet connection
Walaupun mengaku tidak gadget freak, pria yang memiliki banyak penghargaan ini mengaku tidak bisa hidup tanpa internet, “Selancar internet yang memang sudah kebiasaan, ini yang kadang-kadang membuat anak-anak dan istri merasa laptop lebih diperhatikan dan selalu dibawa ke mana-mana, termasuk ke luar negeri maupun daerah-daerah pedalaman. Menulis juga masih karena itu terkait dengan proses komunikasi yang harus saya lakukan. Olahraga juga kadang-kadang dilakukan untuk cari keringat” ujarnya.
“Saya bukan gadget freak. Saya lebih melihat alat elektronik sesuai dengan fungsinya. HP saya masih Nokia 9500 dan Sony Ericsson K 800 i. Saya memakai ponsel untuk sms maupun telepon. Buka email ataupun main YM saya tetap lebih suka melalui laptop, meski saya memiliki datacard sehingga saya bisa bukan internet di manapun dan kapan pun. Untuk foto, saya juga pakai kamera. Pakai ponsel berkamera ya jika ‘kepepet’ saja, maksudnya jika tidak bawa kamera.
Jika ditanya tentang gadget impiannya, lumayan kreatif dan mungkin saja bisa jadi ilham untuk para vendor. ”Saya pengen sih punya ponsel yang kayak jam tangan, tapi pasti kalau kirim sms sulit. Yang saya impikan, punya gadget dengan fasilitas tercanggih: kamera 10 Mpixel, kemampuan zoom tinggi, berat sedang, tidak terlalu besar/kecil, kalau bisa ya sudah wimax inside, jadi mungkin bisa tidak perlu pakai SIM card lagi”.
Harapannya yang belum terlaksana adalah membuat negara kita maju, ”karena saya bekerja di sektor telekomunikasi dan ICT, ya saya ingin ICT indonesia maju karena SDM-SDM kita sesungguhnya tidaklah kalah dengan SDM luar negeri. Saya ingin smeua penduduk indonesia bisa terkoneksi ke internet dan seluruh sistem mengoptimalkan pemanfaatan ICT sebagai alat mensejahterakan masyarakat”.
Pria yang bersahaja ini menjalani hidupnya sesuai dengan motto hidup yang diusungnya, mengalir seperti air, dan jangan susah melihat orang senang dan jangan senang melihat orang susah.
30 Agustus 2008
24 Agustus 2008
Maaf, Saya Belum Mau Jadi Caleg 2009
Berbondong-bondongnya masyarakat biasa, tokoh agama, selebriti dan tentu saja politisi, berusaha masuk dalam daftar calon legislatif, untuk menjadi politisi di DPR, DPRD maupun DPD, sampai sekarang belum juga membuat saya tergerak untuk ikut-ikutan menjadi politisi, calon legislatif, apalagi berkantor di Senayan, mewakili rakyat.
Saya punya beberapa alasan tentunya. Selain karena tidak ada partai yang mengajak saya, saya juga tidak mendekati partai-partai yang ada. Sehingga, ya pasti tidak ketemu. Alasan logis lainnya:
Pertama, tentu untuk menjadi calon-calon begituan diperlukan dana yang tidak sedikit. Dari cerita teman-teman saya, ada yang jual mobil untuk menjadi calon DPD pada 2004 lalu, dengan hasil nihil alias tetap tidak terpilih. Kemarin di berita-berita juga tersiar kabar calon bupati yang gagal hampir tewas bunuh diri, karena utang menumpuk dan tidak terbayar. Ya daripada stress, nanggung utang, baiknya tidak ikut-ikutan mencalonkan diri. Sebab kalaupun terpilih, tentu uang yang keluar sebelumnya, modal untuk capex dan opex, diharapkan dapat kembali. Menurut hitung-hitungan, jika pendapat dipotong ‘jatah partai’, sumbangan konstituen, jika dalam keadaan normal, pengembalian modal sulit diharapkan. Saya takut, seperti kata Slank, UUD, ujung-ujungnya duit.
Kedua, saya bukan orang terkenal apalagi selebriti yang punya massa atau fans. Saya orang biasa, yang pergi pagi, pulang malam, untuk bekerja memberikan layanan kepada publik/masyarakat. Saya juga tidak berusaha untuk mencoba “nyeleb” kayak politisi-politisi sekarang yang sering ikut-ikutan nongol di infotainment, dengan jas bermerk, mobil mewah maupun koleksi-koleksi, yang tidak bisa dibilang murah. Sementara saya, hanya sempat koleksi “kinder-Ï‹berashung” yang saya beli karena coklatnya enak dan mainan yang membutuhkan ketrampilan dalam menyusunnya, yang bermanfaat buat anak-anak saya. Suara saya juga tidak tergolong vokal atau berbeda (baca: asal beda) karena saya mencoba untuk menyampaikan realitas, sebagai konstruktor realitas sosial, tidak lebih. Karena bukan selebriti, ya tidak ada menarik dari saya, tidak ada sinetron pun yang saya bintangi, meski hanya untuk marah-marah, tampil sebagai tokoh antagonis, saya juga bisa hehe
Dan alasan ketiga, saya takut saya dimusuhi masyarakat. Menjadi orang penting itu baik, tapi kata Kang Ebet lebih penting jadi orang baik. Sekarang masyarakat dalam kondisi lelah dan tak banyak berharap dari pemimpin yang ada, termasuk politisi-politisi yang akan maju dalam Pemilu 2009. “Tak ada yang bisa dipercaya” kata mereka. Ya, wajar masyarakat berkata begitu, sebab janji-janji dalam pemilu ya memang hanya sekadar janji, tak ada yang ditepati. Harga-harga tetap membumbung tinggi, sampai mimpi pun tidak terbeli.
Dan itulah kelemahan saya terakhir, yaitu tidak suka berjanji. Saya takut, dalam agama dikatakan, jika berjanji tidak ditepati menjadi golongan orang munafik. Agar tidak suka memberikan janji-janji surga, mengatakan yang tidak sebenarnya, merasa sombong karena terkenal sebagai selebritis politis atau politis selebritis, saya belum sanggung menjadi politisi, apalagi mewakili aspirasi rakyat, yang terkadang mudah diucap tapi sulit dilaksanakan.
Saya punya beberapa alasan tentunya. Selain karena tidak ada partai yang mengajak saya, saya juga tidak mendekati partai-partai yang ada. Sehingga, ya pasti tidak ketemu. Alasan logis lainnya:
Pertama, tentu untuk menjadi calon-calon begituan diperlukan dana yang tidak sedikit. Dari cerita teman-teman saya, ada yang jual mobil untuk menjadi calon DPD pada 2004 lalu, dengan hasil nihil alias tetap tidak terpilih. Kemarin di berita-berita juga tersiar kabar calon bupati yang gagal hampir tewas bunuh diri, karena utang menumpuk dan tidak terbayar. Ya daripada stress, nanggung utang, baiknya tidak ikut-ikutan mencalonkan diri. Sebab kalaupun terpilih, tentu uang yang keluar sebelumnya, modal untuk capex dan opex, diharapkan dapat kembali. Menurut hitung-hitungan, jika pendapat dipotong ‘jatah partai’, sumbangan konstituen, jika dalam keadaan normal, pengembalian modal sulit diharapkan. Saya takut, seperti kata Slank, UUD, ujung-ujungnya duit.
Kedua, saya bukan orang terkenal apalagi selebriti yang punya massa atau fans. Saya orang biasa, yang pergi pagi, pulang malam, untuk bekerja memberikan layanan kepada publik/masyarakat. Saya juga tidak berusaha untuk mencoba “nyeleb” kayak politisi-politisi sekarang yang sering ikut-ikutan nongol di infotainment, dengan jas bermerk, mobil mewah maupun koleksi-koleksi, yang tidak bisa dibilang murah. Sementara saya, hanya sempat koleksi “kinder-Ï‹berashung” yang saya beli karena coklatnya enak dan mainan yang membutuhkan ketrampilan dalam menyusunnya, yang bermanfaat buat anak-anak saya. Suara saya juga tidak tergolong vokal atau berbeda (baca: asal beda) karena saya mencoba untuk menyampaikan realitas, sebagai konstruktor realitas sosial, tidak lebih. Karena bukan selebriti, ya tidak ada menarik dari saya, tidak ada sinetron pun yang saya bintangi, meski hanya untuk marah-marah, tampil sebagai tokoh antagonis, saya juga bisa hehe
Dan alasan ketiga, saya takut saya dimusuhi masyarakat. Menjadi orang penting itu baik, tapi kata Kang Ebet lebih penting jadi orang baik. Sekarang masyarakat dalam kondisi lelah dan tak banyak berharap dari pemimpin yang ada, termasuk politisi-politisi yang akan maju dalam Pemilu 2009. “Tak ada yang bisa dipercaya” kata mereka. Ya, wajar masyarakat berkata begitu, sebab janji-janji dalam pemilu ya memang hanya sekadar janji, tak ada yang ditepati. Harga-harga tetap membumbung tinggi, sampai mimpi pun tidak terbeli.
Dan itulah kelemahan saya terakhir, yaitu tidak suka berjanji. Saya takut, dalam agama dikatakan, jika berjanji tidak ditepati menjadi golongan orang munafik. Agar tidak suka memberikan janji-janji surga, mengatakan yang tidak sebenarnya, merasa sombong karena terkenal sebagai selebritis politis atau politis selebritis, saya belum sanggung menjadi politisi, apalagi mewakili aspirasi rakyat, yang terkadang mudah diucap tapi sulit dilaksanakan.
16 Agustus 2008
Sudahkah Indonesia Merdeka Sesungguhnya?
63 tahun lalu, soekarno-Hatta, atas nama Bangsa Indonesia, memproklamirkan Kemerdekaan Indonesia. Kemerdekaan yang direbut dengan segala pengorbanan, air mata, darah dan nyawa. Perjalanan Bangsa Indonesia membawa kita hingga sekarang, ke sini.
Satu pertanyaan mendasar yang perlu diajukan kita semua, sudahkah negara ini benar-benar merdeka? Tentu pertanyaan yang tidak sulit dijawab, ketika kemiskinan masih merajalela, kebodohan makin meluas karena biaya pendidikan yang kian mahal, kesehatan yang juga masih menjadi barang mewah, harga barang-barang melambung tinggi tanpa kendali. Memang, jalan-jalan seperti di Jakarta menjadi kian macet, PLN sering mati, jumlah selebriti meningkat bahkan sulit membedakan antara selebriti dan politisi, selebriti jadi politisi dan politisi jadi selebriti.
Namun, bukan kemajuan dan kemerdekaan yang terjadi. Kemajuan pasti ada, tapi macet di Jakarta, bukanlah kemerdekaan mengingat social cost dari bermacet-macet ria juga menjadi pemborosan nasional. Macet lebih merupakan kesalahan manajemen transportasi, mengurangi kapasitas jalan untuk busway, bukan dengan menambah kapasitas dengan infrastuktur baru. PLN memang sering mati, bukan berarti orang makin maju, membutuhkan energi lebih banyak untuk nge-charge ponsel, magic jar, maupun menyalakan komputer. Kenyataan itu tidak terbantah sebenarnya, tapi kebijakan energi nasional yang tidak jelas. Mendapatkan energi merupakan hak warga negara dan kewajiban negara untuk menyediakannya. Dengan jumlah penduduk yang kian banyak, alat-alat baru yang berbasis listrik, otomatis membutuhkan pasokan energi lebih banyak.
Jumlah selebriti meningkat juga bukan kemajuan sebenarnya, termasuk lahirnya politisi-politisi baru dari selebriti, maupun politisi jadi selebriti. Menjadi politisi dan selebriti sekarang ini lebih menjanjikan dibanding pekerjaan lainnya. Begitu banyak sarjana kita mengangur karena tak ada lapangan kerja. Sehingga, cara cepat hidup ‘lumayan’—kalau tak mau dibilang mewah, menjadi selebriti dan politisi merupakan pilihan yang utama bagi banyak orang. Lihat saja, banyak acara-acara TV menawarkan cara cepat jadi selebriti. Pemilu membuat orang berbondong menjadi politisi. Kabarnya, dengan 40-an partai, akan terekrut ratusan bahkan jutaan calon anggota legislatif DPR, DPRD, DPD, termasuk jadi Presiden.
Ketika memperingati 50 tahun Indonesia Merdeka di Taman Ismail Marzuki 13 tahun lalu, budayawan WS Rendra membacakan puisi yang sangat relevan untuk didengungkan terus, berjudul “Sajak Sebatang Lisong”. Selamat meresapinya, dan dengan segala kerendahan hati, saya ucapkan DIRGAHAYU REPUBLIK INDONESIA. Bagimu Negeri, Jiwa Raga Kami.
Sajak Sebatang Lisong
Satu pertanyaan mendasar yang perlu diajukan kita semua, sudahkah negara ini benar-benar merdeka? Tentu pertanyaan yang tidak sulit dijawab, ketika kemiskinan masih merajalela, kebodohan makin meluas karena biaya pendidikan yang kian mahal, kesehatan yang juga masih menjadi barang mewah, harga barang-barang melambung tinggi tanpa kendali. Memang, jalan-jalan seperti di Jakarta menjadi kian macet, PLN sering mati, jumlah selebriti meningkat bahkan sulit membedakan antara selebriti dan politisi, selebriti jadi politisi dan politisi jadi selebriti.
Namun, bukan kemajuan dan kemerdekaan yang terjadi. Kemajuan pasti ada, tapi macet di Jakarta, bukanlah kemerdekaan mengingat social cost dari bermacet-macet ria juga menjadi pemborosan nasional. Macet lebih merupakan kesalahan manajemen transportasi, mengurangi kapasitas jalan untuk busway, bukan dengan menambah kapasitas dengan infrastuktur baru. PLN memang sering mati, bukan berarti orang makin maju, membutuhkan energi lebih banyak untuk nge-charge ponsel, magic jar, maupun menyalakan komputer. Kenyataan itu tidak terbantah sebenarnya, tapi kebijakan energi nasional yang tidak jelas. Mendapatkan energi merupakan hak warga negara dan kewajiban negara untuk menyediakannya. Dengan jumlah penduduk yang kian banyak, alat-alat baru yang berbasis listrik, otomatis membutuhkan pasokan energi lebih banyak.
Jumlah selebriti meningkat juga bukan kemajuan sebenarnya, termasuk lahirnya politisi-politisi baru dari selebriti, maupun politisi jadi selebriti. Menjadi politisi dan selebriti sekarang ini lebih menjanjikan dibanding pekerjaan lainnya. Begitu banyak sarjana kita mengangur karena tak ada lapangan kerja. Sehingga, cara cepat hidup ‘lumayan’—kalau tak mau dibilang mewah, menjadi selebriti dan politisi merupakan pilihan yang utama bagi banyak orang. Lihat saja, banyak acara-acara TV menawarkan cara cepat jadi selebriti. Pemilu membuat orang berbondong menjadi politisi. Kabarnya, dengan 40-an partai, akan terekrut ratusan bahkan jutaan calon anggota legislatif DPR, DPRD, DPD, termasuk jadi Presiden.
Ketika memperingati 50 tahun Indonesia Merdeka di Taman Ismail Marzuki 13 tahun lalu, budayawan WS Rendra membacakan puisi yang sangat relevan untuk didengungkan terus, berjudul “Sajak Sebatang Lisong”. Selamat meresapinya, dan dengan segala kerendahan hati, saya ucapkan DIRGAHAYU REPUBLIK INDONESIA. Bagimu Negeri, Jiwa Raga Kami.
Sajak Sebatang Lisong
menghisap sebatang lisong
melihat Indonesia Raya
mendengar 130 juta rakyat
dan di langit
dua tiga cukung mengangkang
berak di atas kepala mereka
matahari terbit
fajar tiba
dan aku melihat delapan juta kanak - kanak
tanpa pendidikan
aku bertanya
tetapi pertanyaan - pertanyaanku
membentur meja kekuasaan yang macet
dan papantulis - papantulis para pendidik
yang terlepas dari persoalan kehidupan
delapan juta kanak - kanak
menghadapi satu jalan panjang
tanpa pilihan
tanpa pepohonan
tanpa dangau persinggahan
tanpa ada bayangan ujungnya
……………………..
menghisap udara
yang disemprot deodorant
aku melihat sarjana - sarjana menganggur
berpeluh di jalan raya
aku melihat wanita bunting
antri uang pensiunan
dan di langit
para teknokrat berkata :
bahwa bangsa kita adalah malas
bahwa bangsa mesti dibangun
mesti di up-grade
disesuaikan dengan teknologi yang diimpor
gunung - gunung menjulang
langit pesta warna di dalam senjakala
dan aku melihat
protes - protes yang terpendam
terhimpit di bawah tilam
aku bertanya
tetapi pertanyaanku
membentur jidat penyair - penyair salon
yang bersajak tentang anggur dan rembulan
sementara ketidak adilan terjadi disampingnya
dan delapan juta kanak - kanak tanpa pendidikan
termangu - mangu di kaki dewi kesenian
bunga - bunga bangsa tahun depan
berkunang - kunang pandang matanya
di bawah iklan berlampu neon
berjuta - juta harapan ibu dan bapak
menjadi gemalau suara yang kacau
menjadi karang di bawah muka samodra
……………………………
kita mesti berhenti membeli rumus - rumus asing
diktat - diktat hanya boleh memberi metode
tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan
kita mesti keluar ke jalan raya
keluar ke desa - desa
mencatat sendiri semua gejala
dan menghayati persoalan yang nyata
inilah sajakku
pamplet masa darurat
apakah artinya kesenian
bila terpisah dari derita lingkungan
apakah artinya berpikir
bila terpisah dari masalah kehidupan
RENDRA
( itb bandung - 19 agustus 1978 )
12 Agustus 2008
Memilih TI Sebagai Format Baru Pengembangan Teknologi
Beberapa minggu lalu, komunitas teknologi informasi mencatatkan beberapa rekor MURI baru. Selain rekor, di bulan Kebangkitan Teknologi Nasional ini, beberapa wilayah mendeklarasikan visinya menjadikan wilayahnya jadi pulau digital, semisal peluncuran Batam Digital Island. Dari aktivitas tersebut, nampaknya kini telah mulai membudaya kesadaran bahwa teknologi dapat dijadikan kendaraan agar wilayah di nusantara ini dapat kompetitif dan berdiri sejajar di antara daerah-daerah lainnya, bahkan dengan luar negeri.
Memang, bangsa ini perlu belajar, berusaha dan bekerja sekerasnya untuk menguasai teknologi sebab teknologi telah menjadi jantung perkembangan manusia sejak spesies pertama manusia, Homo habilis, yang hidup 2,5 juta tahun lalu.. Bahkan teknologi harus menjadi salah satu prioritas pembangunan bangsa ke depan. Hanya saja, yang jadi persoalan dan perdebatan adalah teknologi baru apakah yang akan dikembangkan? Apakah teknologi informasi dan komunikasi bisa jadi pilihan?
Sebelumnya, Indonesia memilih teknologi pesawat terbang dalam pengembangan teknologi di tanah air. Kegagalan yang membuat mayoritas karyawan PT Dirgantara Indonesia (dahulu PT IPTN, dan sebelumnya lagi adalah Industri Pesawat Terbang Nurtanio) ‘dirumahkan’ dan tidak jelas nasibnya, memberi pelajaran bahwa industri ini tidak begitu cocok bagi bangsa Indonesia.
Pengembangan teknologi yang berbiaya tinggi dan bergantung pada power orang tertentu, redup seiring tak ada dana cukup untuk membiayainya dan kekuasaan pendukung teknologi tersebut berkurang. Belajar dari kasus PT DI, kini merupakan saat yang tepat memikirkan kembali format baru pengembangan teknologi yang cocok dengan kondisi Indonesia dewasa ini serta lestari, ekonomis dan bermanfaat bagi kesejahteraan rakyat.
Trend Teknologi dan Format Baru
Kini, tranformasi teknologi terjalin transformasi lain, globalisasi, dan menciptakan paradigma baru yaitu era jaringan. Tak ada individu, lembaga kemasyarakatan, bisnis maupun pemerintah yang dapat mengabaikan perubahan ini. Sebab transformasi tersebut, membuat teknologi menjadi alat dalam pembangunan yang berpusat pada manusia, khususnya mengurangi angka kemiskinan.
Kombinasi transformasi teknologi dan globalisasi yang menciptakan era jaringan, membuat teknologi tingkat lanjut menjadi semakin cepat dan fundamental. Ada tiga bidang yang memimpin transformasi ini, yaitu teknologi komunikasi dan informasi, bioteknologi dan, yang baru muncul, nanoteknologi.
Teknologi komunikasi dan informasi melibatkan inovasi dalam dunia mikroelektronik, komputer (hardware dan software), telekomunikasi dan opto-elektronika. Inovasi ini memungkinkan proses dan penyimpanan informasi dalam jumlah sangat besar, juga pendistribusian dan akses informasi yang sangat cepat melalui jaringan. Perkembangan dalam dunia teknologi informasi di berbagai sektor bisa disebut sebagai revolusi komunikasi. Dunia menjadi begitu sempit dan manusia bisa berkomunikasi dengan amat sangat cepat di manapun berada dengan kehadiran internet, telepon selular (Ponsel) maupun satelit.
Dalam pemeringkatan keberhasilan pembangunan, diperkenalkan apa yang dinamakan human development index (HDI). Salah satu komponen penilaian, sejak tahun 2001, terkait dengan teknologi, UNDP memperkenalkan Technology Achievement Index (TAI). Tujuannya, melihat bagaimana sebuah negara menciptakan dan mendifusi teknologi yang merefleksikan kapasitas partisipasi inovasi teknologi.
Ada beberapa komponen yang menjadi fokus TAI: penciptaan teknologi dengan indikator berupa hak patent yang dimiliki per kapita dan pendapatan yang didapat dari royalti, difusi inovasi teknologi baru seperti difusi internet, difusi inovasi teknologi lama yang dalam hal ini adalah telepon dan listrik, serta keahlian masyarakat dalam menciptakan dan menggunakan teknologi. Sasarannya, membantu para pengambil kebijakan tiap negara menentukan strategi pengembangan teknologi.
Melihat trend perkembangan teknologi di era jaringan dewasa ini serta melihat nilai dari komponen-kompoen TAI, jenis teknologi yang mungkin bisa dipacu perkembangannya di tanah air adalah teknologi komunikasi dan informasi. Semisal difusi inovasi teknologi lama, peningkatan saluran telepon hingga ke desa-desa. Kebijakan untuk membuat telekomunikasi yang kompetitif diperlukan di sini.
Sebab penetrasi telepon ini akan mempengaruhi masyarakat dan organisasi dalam mendapatkan akses yang lebih baik terhadap informasi. Lebih jauh, difusi ini juga mempengaruhi difusi inovasi teknologi baru seperti internet, dan muaranya tentu saja membangun manusia Indonesia lebih bisa memberi kontribusi terhadap pembangunan.
Hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah HAKI serta penelitian dan pengembangan teknologi. Dalam soal HAKI, selain perlunya pemerintah lebih pro aktif dan mempermudah masyarakat mendaftarkan temuannya, perlu juga dibentuk lembaga yang mengorganisir mereka yang mempunyai keahlian programming, mungkin termasuk hacking dan cracking, untuk menghasilkan satu temuan yang bermanfaat.
Untuk mewujudkan hal tersebut, tentunya budget penelitian dan pengembangan harus ditingkatkan. Untuk mempromosikan teknologi yang berorientasi riset, pemerintah sedapat mungkin membangun hubungan antara perguruan tinggi dan industri. Hubungan sinergi keduanya merupakan kesempatan untuk mengeksploitasi kesempatan revolusi teknologi.
Untuk meraih keberhasilan seperti diinginkan, tentu tidak semudah dibayangkan. Hanya saja, jika kebijakan yang diambil benar, melibatkan serta bermanfaat bagi rakyat banyak, tidak ada yang tidak mungkin untuk mewujudkannya bersama-sama. Semoga Indonesia Bisa!
Memang, bangsa ini perlu belajar, berusaha dan bekerja sekerasnya untuk menguasai teknologi sebab teknologi telah menjadi jantung perkembangan manusia sejak spesies pertama manusia, Homo habilis, yang hidup 2,5 juta tahun lalu.. Bahkan teknologi harus menjadi salah satu prioritas pembangunan bangsa ke depan. Hanya saja, yang jadi persoalan dan perdebatan adalah teknologi baru apakah yang akan dikembangkan? Apakah teknologi informasi dan komunikasi bisa jadi pilihan?
Sebelumnya, Indonesia memilih teknologi pesawat terbang dalam pengembangan teknologi di tanah air. Kegagalan yang membuat mayoritas karyawan PT Dirgantara Indonesia (dahulu PT IPTN, dan sebelumnya lagi adalah Industri Pesawat Terbang Nurtanio) ‘dirumahkan’ dan tidak jelas nasibnya, memberi pelajaran bahwa industri ini tidak begitu cocok bagi bangsa Indonesia.
Pengembangan teknologi yang berbiaya tinggi dan bergantung pada power orang tertentu, redup seiring tak ada dana cukup untuk membiayainya dan kekuasaan pendukung teknologi tersebut berkurang. Belajar dari kasus PT DI, kini merupakan saat yang tepat memikirkan kembali format baru pengembangan teknologi yang cocok dengan kondisi Indonesia dewasa ini serta lestari, ekonomis dan bermanfaat bagi kesejahteraan rakyat.
Trend Teknologi dan Format Baru
Kini, tranformasi teknologi terjalin transformasi lain, globalisasi, dan menciptakan paradigma baru yaitu era jaringan. Tak ada individu, lembaga kemasyarakatan, bisnis maupun pemerintah yang dapat mengabaikan perubahan ini. Sebab transformasi tersebut, membuat teknologi menjadi alat dalam pembangunan yang berpusat pada manusia, khususnya mengurangi angka kemiskinan.
Kombinasi transformasi teknologi dan globalisasi yang menciptakan era jaringan, membuat teknologi tingkat lanjut menjadi semakin cepat dan fundamental. Ada tiga bidang yang memimpin transformasi ini, yaitu teknologi komunikasi dan informasi, bioteknologi dan, yang baru muncul, nanoteknologi.
Teknologi komunikasi dan informasi melibatkan inovasi dalam dunia mikroelektronik, komputer (hardware dan software), telekomunikasi dan opto-elektronika. Inovasi ini memungkinkan proses dan penyimpanan informasi dalam jumlah sangat besar, juga pendistribusian dan akses informasi yang sangat cepat melalui jaringan. Perkembangan dalam dunia teknologi informasi di berbagai sektor bisa disebut sebagai revolusi komunikasi. Dunia menjadi begitu sempit dan manusia bisa berkomunikasi dengan amat sangat cepat di manapun berada dengan kehadiran internet, telepon selular (Ponsel) maupun satelit.
Dalam pemeringkatan keberhasilan pembangunan, diperkenalkan apa yang dinamakan human development index (HDI). Salah satu komponen penilaian, sejak tahun 2001, terkait dengan teknologi, UNDP memperkenalkan Technology Achievement Index (TAI). Tujuannya, melihat bagaimana sebuah negara menciptakan dan mendifusi teknologi yang merefleksikan kapasitas partisipasi inovasi teknologi.
Ada beberapa komponen yang menjadi fokus TAI: penciptaan teknologi dengan indikator berupa hak patent yang dimiliki per kapita dan pendapatan yang didapat dari royalti, difusi inovasi teknologi baru seperti difusi internet, difusi inovasi teknologi lama yang dalam hal ini adalah telepon dan listrik, serta keahlian masyarakat dalam menciptakan dan menggunakan teknologi. Sasarannya, membantu para pengambil kebijakan tiap negara menentukan strategi pengembangan teknologi.
Melihat trend perkembangan teknologi di era jaringan dewasa ini serta melihat nilai dari komponen-kompoen TAI, jenis teknologi yang mungkin bisa dipacu perkembangannya di tanah air adalah teknologi komunikasi dan informasi. Semisal difusi inovasi teknologi lama, peningkatan saluran telepon hingga ke desa-desa. Kebijakan untuk membuat telekomunikasi yang kompetitif diperlukan di sini.
Sebab penetrasi telepon ini akan mempengaruhi masyarakat dan organisasi dalam mendapatkan akses yang lebih baik terhadap informasi. Lebih jauh, difusi ini juga mempengaruhi difusi inovasi teknologi baru seperti internet, dan muaranya tentu saja membangun manusia Indonesia lebih bisa memberi kontribusi terhadap pembangunan.
Hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah HAKI serta penelitian dan pengembangan teknologi. Dalam soal HAKI, selain perlunya pemerintah lebih pro aktif dan mempermudah masyarakat mendaftarkan temuannya, perlu juga dibentuk lembaga yang mengorganisir mereka yang mempunyai keahlian programming, mungkin termasuk hacking dan cracking, untuk menghasilkan satu temuan yang bermanfaat.
Untuk mewujudkan hal tersebut, tentunya budget penelitian dan pengembangan harus ditingkatkan. Untuk mempromosikan teknologi yang berorientasi riset, pemerintah sedapat mungkin membangun hubungan antara perguruan tinggi dan industri. Hubungan sinergi keduanya merupakan kesempatan untuk mengeksploitasi kesempatan revolusi teknologi.
Untuk meraih keberhasilan seperti diinginkan, tentu tidak semudah dibayangkan. Hanya saja, jika kebijakan yang diambil benar, melibatkan serta bermanfaat bagi rakyat banyak, tidak ada yang tidak mungkin untuk mewujudkannya bersama-sama. Semoga Indonesia Bisa!
07 Agustus 2008
Rekaman Adam Air dan Pesawat "Baling-Baling Bambu"
Alhamdulillah, setelah tulisan saya sebelumnya, kini sudah mulai ada kesadaran untuk tidak sekonyong-konyong mengatakan bahwa rekaman yang beredar di internet mengenai jatuhnya pesawat Adam Air 1 Januari 2008 sebagai bukan rekaman asli. Ya tentulah, masak hari ini rekaman asli dibawa-bawa keluar blackbox-nya, padahal kan flash disc gampang didapat, CD bisa dipakai dan berbagai perkembangan teknologi memungkinkan rekaman “asli” eh bajakan saja kita sebut, tersebar ke rana publik.
Sebetulnya, yang perlu didalami bukan soal siapa menyebarnya, melainkan ada esensi apa dari rekaman “bajakan” tersebut. Sebab, akhirnya publik tahu kalau pesawat Adam air itu “pesawat baling-baling bambu” alias pesawat busuk yang perangkat vital di dalamnya tidak berfungsi. Dan itu kan memamng bukan kejadian pertama, karena sebelumnya ada Adam Air yang juga nyasar sampai ke Timor.
Kalo kita baca AP, http://www.aviation.com/safety/080325-ap-adam-air-accident-report.html , yang disalahkan bukan Adam airnya tapi pilotnya dan memang rekaman yang “bajakan” itu ya sudah disebut-sebut dalam laporan AP berikut ini (dan perlu dibaca komentar kunci di akhir tulisan tersebut):
Pilot Error Cited in Adam Air Crash ReportBy Zakki Hakim, Associated Press Writer
posted: 25 March 2008 10:58 a.m. ET
JAKARTA, Indonesia (AP) — An Indonesian pilot shouted “Pull up! Pull up!” seconds before his jetliner plunged into the sea last year, killing all 102 people on board, according to an investigation Tuesday that blamed his errors and a faulty navigation system for the disaster.
“This is really bad. It is starting to fly like a bamboo ship,” said one of the two pilots before the Boeing 737 crashed, according to comments captured by the cockpit voice recorder. “This is crazy!”
Last week, the government revoked low-cost carrier Adam Air’s operating license because of its poor safety record.
The National Transportation Safety Committee said 154 recurring defects in the plane’s navigation system were reported in the months leading up to New Year’s Day crash, and that the carrier failed to properly address those reports or train pilots to deal with them.
The plane was flying from the main island of Java to an airport in the east of Indonesia when it spiraled from the sky at a height of 10,000 meters (33,000 feet). It took around two minutes to hit the sea, the report said.
Several days passed before fisherman and navy boats discovered wreckage from the plane floating on the ocean. Both flight data recorders were eventually recovered from the sea bed, but the plane’s mostly intact fuselage remains there.
Initially, the pilots reported a problem with the navigation system, but they sounded unconcerned, even joking at times 20 minutes before it went down. In the course of trying to fix the problem, the jetliner’s autopilot disengaged, causing the plane to bank to the right.
Pilots ignored warnings
The pilots were apparently unaware they were now flying the plane and ignored “a number of initial alerts, warnings and changes to displays” indicating the jetliner’s increasingly critical situation, the report said.
“The pilots did not detect and appropriately arrest the descent soon enough to prevent loss of control,” it said, adding that they apparently had no training on what to do if the Inertial Reference System failed, nor if the autopilot unexpectedly disengaged.
They made several wrong decisions in the seconds after the autopilot was turned off, the report said.
Indonesia’s poor safety record
The accident was one of a spate in Indonesia in recent years, including one involving the national carrier Garuda that killed 21, leading the EU to ban all Indonesian airlines and the United States to warn that they did not meet international standards.
Adam Air was one of dozens of new airlines to emerge in Indonesia after it deregulated its aviation industry in the 1990s. But trained aviation professionals, regulatory oversight and decent ground infrastructure are all lacking in the country, experts say.
The New Year’s Day crash was not the first incident involving faulty navigation systems on Adam Air jets.
In February 2006, another of its Boeing 737s went missing for hours following a navigation and communications breakdown and eventually made an emergency landing hundreds of miles from its destination in eastern Indonesia.
Relatives of those who died in the accident said they were angry with Adam Air following the release of the investigation results, with some vowing to pursue legal action against the airline.
“Adam Air has to be made responsible,” said Mac Politon, who lost an older brother.
Sebetulnya, yang perlu didalami bukan soal siapa menyebarnya, melainkan ada esensi apa dari rekaman “bajakan” tersebut. Sebab, akhirnya publik tahu kalau pesawat Adam air itu “pesawat baling-baling bambu” alias pesawat busuk yang perangkat vital di dalamnya tidak berfungsi. Dan itu kan memamng bukan kejadian pertama, karena sebelumnya ada Adam Air yang juga nyasar sampai ke Timor.
Kalo kita baca AP, http://www.aviation.com/safety/080325-ap-adam-air-accident-report.html , yang disalahkan bukan Adam airnya tapi pilotnya dan memang rekaman yang “bajakan” itu ya sudah disebut-sebut dalam laporan AP berikut ini (dan perlu dibaca komentar kunci di akhir tulisan tersebut):
Pilot Error Cited in Adam Air Crash ReportBy Zakki Hakim, Associated Press Writer
posted: 25 March 2008 10:58 a.m. ET
JAKARTA, Indonesia (AP) — An Indonesian pilot shouted “Pull up! Pull up!” seconds before his jetliner plunged into the sea last year, killing all 102 people on board, according to an investigation Tuesday that blamed his errors and a faulty navigation system for the disaster.
“This is really bad. It is starting to fly like a bamboo ship,” said one of the two pilots before the Boeing 737 crashed, according to comments captured by the cockpit voice recorder. “This is crazy!”
Last week, the government revoked low-cost carrier Adam Air’s operating license because of its poor safety record.
The National Transportation Safety Committee said 154 recurring defects in the plane’s navigation system were reported in the months leading up to New Year’s Day crash, and that the carrier failed to properly address those reports or train pilots to deal with them.
The plane was flying from the main island of Java to an airport in the east of Indonesia when it spiraled from the sky at a height of 10,000 meters (33,000 feet). It took around two minutes to hit the sea, the report said.
Several days passed before fisherman and navy boats discovered wreckage from the plane floating on the ocean. Both flight data recorders were eventually recovered from the sea bed, but the plane’s mostly intact fuselage remains there.
Initially, the pilots reported a problem with the navigation system, but they sounded unconcerned, even joking at times 20 minutes before it went down. In the course of trying to fix the problem, the jetliner’s autopilot disengaged, causing the plane to bank to the right.
Pilots ignored warnings
The pilots were apparently unaware they were now flying the plane and ignored “a number of initial alerts, warnings and changes to displays” indicating the jetliner’s increasingly critical situation, the report said.
“The pilots did not detect and appropriately arrest the descent soon enough to prevent loss of control,” it said, adding that they apparently had no training on what to do if the Inertial Reference System failed, nor if the autopilot unexpectedly disengaged.
They made several wrong decisions in the seconds after the autopilot was turned off, the report said.
Indonesia’s poor safety record
The accident was one of a spate in Indonesia in recent years, including one involving the national carrier Garuda that killed 21, leading the EU to ban all Indonesian airlines and the United States to warn that they did not meet international standards.
Adam Air was one of dozens of new airlines to emerge in Indonesia after it deregulated its aviation industry in the 1990s. But trained aviation professionals, regulatory oversight and decent ground infrastructure are all lacking in the country, experts say.
The New Year’s Day crash was not the first incident involving faulty navigation systems on Adam Air jets.
In February 2006, another of its Boeing 737s went missing for hours following a navigation and communications breakdown and eventually made an emergency landing hundreds of miles from its destination in eastern Indonesia.
Relatives of those who died in the accident said they were angry with Adam Air following the release of the investigation results, with some vowing to pursue legal action against the airline.
“Adam Air has to be made responsible,” said Mac Politon, who lost an older brother.
02 Agustus 2008
Keaslian Rekaman Adam Air
Memang selalu menjadi pertanyaan yang menarik mengenai rekaman sebuah pembicaraan, apakah asli atau tidak.
Begitu juga yang terjadi dengan hasil rekaman yang beredar di internet tentang apa yang terjadi dalam cockpit pesawat Adam Air berjenis Boeing 737-400 yang “nyemplung” ke laut bersama 96 penumpang (dimana terdiri dari 85 orang dewasa, 7 anak-anak dan 4 bayi) dan enam awak pesawat (2 pilot dan 4 cabin crew) pada 1 Januari 2007 lalu.
Beberapa pihak menyatakan rekaman itu “tidak dapat dipertanggungjawabkan keasliannya”, bahasa yang halus untuk menyatakan bahwa rekaman itu palsu, sebab untuk membaca rekaman pembicaraan dari blackbox yang ditemukan di dasar laut butuh satu alat dan saat ini posisinya “aman” tersimpan dalam satu kotak yang tertutup.
Hanya saja, ada pihak yang mengatakan itu asli. Saya sendiri sebagai “pengamat telematika” cenderung mengatakan “sulit menerima jika dikatakan bahwa rekaman pembicaraan yang beredar luas di internet itu sebagai tidak asli. Ada beberapa penjelasan mengenai hal itu:
1. Pembicaran yang terjadi, tidak jauh berbeda dengan apa yang disampaikan dalam laporan lengkap Komite Nasional Keselamatan Transportasi. Dalam laporan lengkap setebal 84 halaman yang bisa diunduh di http://www.aviationrecord.com/search-results.aspx?articleType=Article View&articleId=293 misalnya saja mengenai instruksi untuk fly heading 070, crossing radial 307 mike kilo sierra dan FMS yang bermasalah. Berikut kutipan dari Laporan Akhir KNKT:
06:54:08.3 UPG instructed, Adam 574 heading 070 for tracking to DIOLA.
06:54:16.0 UPG repeated the instruction, 574 fly heading 070.
06:54:24.2 The PIC remarked to the copilot the wind is normal again.
06:54:30.3 The copilot responded to the controller’s instruction, affirm, so thecontroller instructed, roger fly 070°.
06:55:58.0 Following a request from the PIC, the copilot asked the UPGLower controller to confirm their position by radar.
06:56:04.3 The controller informed the crew, Adam 574, position is 125 milesmike kilo sierra, crossing radial 307 mike kilo sierra.
06:56:11.5 The copilot replied ok that’s confirm Adam 574.
06:56:15.7 The CVR showed that the pilots again started expressing concernsabout the cockpit instrument discrepancies, such as, the EFIS andFMS are messed up. The CVR continued to record until 06:57:52.1.06:58 The radar target changed to flight plan track on the controller’s screendisplay. That meant that the secondary radar return was no longer received by the ground radar head. The last radar position of the aircraft was 118° 13´ East and 03° 55´ South at FL 350 (35,000 feet) at 06:58.
2. Dari rekaman dan hasil laporan KNKT terlihat bahwa masa krisis adalah sama, sekitar 5 menit.
3. Menjelang jatuh, terdengar alarm yang biasa muncul ketika pesawat dalam posisi terlalu menukik ke atas atau terjun bebas berbunyai BANK ANGLE, BANK ANGLE, BANK ANGLE, BANK ANGLE, yang bisa dicek dengan Microsoft flight simulator.
4. Dengan teknologi digital, proses perpindahan data dari DFDR (digital flight data recorder) dimungkinkan dengan mudah dan cepat. Sehingga, sulit mengatakan bahwa data rekaman pembicaraan asli tidak tersebar/bocor ke mana-mana.
Fact ABOUT ADAM AIR ACCIDENT:
SYNOPSIS
On 1 January 2007, a Boeing Company 737-4Q8 aircraft, registered PK-KKW, operated byAdam SkyConnection Airlines (AdamAir) as flight number DHI 574, was on ascheduled passenger flight from Surabaya (SUB), East Java to Manado (MDC), Sulawesi,at FL 350 (35,000 feet) when it disappeared from radar.
The aircraft departed from Djuanda Airport, Surabaya at 05:59 Coordinated Universal Time(UTC) under the instrument flight rules (IFR), with an estimated time of arrival (ETA) atSam Ratulangi Airport, Manado of 08:14. The pilot in command (PIC) was the pilot flyingfor the sector to Manado and the copilot was the monitoring/support pilot. There were 102people on board; two pilots, 4 cabin crew, and 96 passengers comprised of 85 adults, 7children and 4 infants.
The Indonesian Navy, Army, Air Force, Police, and Search and Rescue organization, aSingaporean Air Force Fokker 50 aircraft, the USNS Mary Sears, National TransportationSafety Committee of Indonesia, Air Accident Investigation Bureau of Singapore,Singapore Navy Divers, and other resources searched for the wreckage of PK-KKW in theMakassar Strait, in the vicinity of the last radar return.
Nine days after the aircraft disappeared, wreckage was found in the water and on the shorealong the coast near Pare-Pare, Sulawesi. Locator beacon signals from the flight recorderswere heard on 21 January 2007 and their positions logged. The attempt to recover therecorders was suspended when it was determined that the wreckage was located in theocean at a depth of about 2,000 meters, requiring specialized recovery equipment notavailable in the Region.
The salvage operation to recover the flight recorders commenced on 24 August 2007 andthe DFDR and CVR were recovered on 27 and 28 August 2007 respectively. The CVRrevealed that both pilots were concerned about navigation problems and subsequentlybecame engrossed with trouble shooting Inertial Reference System (IRS) anomalies for atleast the last 13 minutes of the flight, with minimal regard to other flight requirements. Thisincluded identification and attempts at corrective actions.
History of the FlightOn 1 January 2007, a Boeing Company 737-4Q8 aircraft, registered PK-KKW,operated by Adam SkyConnection Airlines (AdamAir) as flight number DHI574, was on a scheduled passenger flight from Surabaya (SUB), East Java toManado (MDC), Sulawesi, at FL 350 (35,000 feet) when it disappeared from radar.
The aircraft departed from Djuanda Airport, Surabaya at 05:59 CoordinatedUniversal Time1 (UTC) under the instrument flight rules (IFR), with an estimatedtime of arrival (ETA) at Sam Ratulangi Airport, Manado of 08:14. The fuelendurance on departure from Surabaya was 4 hours 30 minutes, and the crew hadflight planned for an alternate of Gorontalo (GTO). The pilot in command (PIC)was the pilot flying for the sector to Manado and the copilot was themonitoring/support pilot.
Aircraft Data
Registration Mark : PK–KKW
Manufacturer : Boeing Company
Country of Manufacturer : United States of AmericaType Model : B737-4Q8Serial Number : 24070
Date of manufacture : 1989
Certificate of Airworthiness : 2288
Issued : 20 December 2006
Valid to : 19 January 2007
Certificate of Registration : 2288
Issued : 20 December 2006
Validity : 19 December 2007
Category : Regular Commercial
FlightCrew (Cockpit/Cabin) : 2 pilots and 4 cabin crew
Passengers seats : 170
Time Since New : 45,371 hours
Cycles Since New : 26,725 cyclesLast C2 Check Inspection : November 2005
Next Major Inspection : C3 (March 2007)Last Minor Inspection : A13 (19 Dec 2006) 45,261 hoursNext Minor Inspection : A14 (19 Jan 2007) 45,511 hoursThe aircraft, a Boeing 737-4Q8, first flew on 11 January 1989. The aircraft wasleased from a holding company by AdamAir, and had many previous owners andoperators.
Engine Data
Engine Type : Turbo-fanManufacturer : GE/SNECMAModel : CFM 56 -3C1Serial Number Engine 1 : 725133– TSN : 42,171 hours– CSN : 22,916 cyclesSerial Number Engine 2 : 726404– TSN : 30,785 hours– CSN : 19,854 cycles
Langganan:
Postingan (Atom)