Konvergensi menjadi kunci masa depan teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Bahkan tak perlu menunggu waktu terlalu lama, konvergensi antara telekomunikasi, media (penyiaran) dan informatika telah hadir di sekitar kita. Secara mudahnya, lihat saja ponsel-ponsel sekarang ini, selain untuk berbicara, juga bisa mengirim SMS/MMS, mobile TV, faksimili, video call, maupun berinternet ria. Semua itu menyebabkan kita sekarang kesulitan untuk memilah-milah mana yang menjadi domain telekomunikasi, media maupun informatika, karena batas-batas ketiganya kian kabur.
Hanya saja, perkembangan tersebut belum tercermin dalam UU yang terkait dengan telekomunikasi, termasuk penyiaran. UU No.36/1999 tentang Telekomunikasi disahkan ketika circuit switch belum digantikan packet switch, dan TDM based belum ke arah IP based. Sementara UU Penyiaran No. 32/2002 juga masih bicara dalam teknologi analog, belum digital. Faktor itulah yang menjadi salah satu pendorong bahwa kita memerlukan UU baru yang dapat mengikuti perkembangan jaman, baik berkonvergensi maupun bersinergi.
Selain faktor tersebut, hal utama lainnya yang mendesak perlu direvisinya UU 36/1999 adalah peningkatan peran telekomunikasi dalam kehidupan masyarakat yang kurang diimbangi dengan perangkat hukum yang melindungi masyarakat sebagai pengguna. Padahal, dalam lima tahun terakhir, prilaku dan gaya hidup masyarakat Indonesia telah mengalami perubahan yang drastis. Karena merasakan manfaatnya, kebutuhan telekomunikasi bergeser menjadi kebutuhan pokok yang harus mereka penuhi sehari-hari. Mulai dari masyarakat maju hingga masyarakat awam, di kota-kota hingga ke desa-desa, dari mulai orang tua hingga anak-anak, dari para eksekutif hingga petani maupun buruh.
UU baru juga dibutuhkan karena terjadinya tarik menarik dan trade-off antara kepentingan nasional dan kepentingan global dalam dunia tanpa batas yang akan semakin diperkuat intensitas kehadirannya dengan perkembangan konvergensi. Era konvergensi akan mendorong ketanpabatasan dalam informasi, industri, investasi dan individual customers. Yang dimaksud dengan kepentingan nasional di sini meliputi hal-hal yang diamanatkan oleh konstitusi seperti kemakmuran dan keadilan, kecerdasan masyarakat, pertahanan keamanan dan lain-lain. Kepentingan global diwakili oleh korporasi-korporasi yang akan memasuki pasar Indonesia, kepentingan politik pemerintahan negara-negara asing dan lain sebagainya.
Dalam bidang informasi misalnya, kepemilikan asing dalam industri telekomunikasi nasional memungkinkan pihak-pihak asing mengetahui aliran informasi, aliran uang (dalam transaksi perbankan dan finansial) maupun aliran barang (yang terdata dalam sistem informasi pelabuhan, sistem informasi pelabuhan udara). Kepemilikan asing dalam industri juga memungkinkan mereka mengetahui hal-hal yang menjadi rahasia negara.
Dalam bidang industri, industri global akan berhadapan langsung dengan industri nasional, baik untuk skala korporasi besar maupun perusahaan-perusahaan kecil. Bila deregulasi diarahkan ke persaingan bebas global, maka Indonesia sebagai salah satu marketplace akan dikuasai oleh kekuatan korporasi global.
Terkait dengan hal tersebut, UU yang baru nanti semestinya melindungi ketahanan negara dan bangsa serta privasi para penduduknya agar tidak diketahui dengan mudah oleh pihak-pihak asing.UU seyogyanya menjaga kaidah fair-trade, sehingga industri nasional dalam sektor teknologi informasi dan komunikasi juga maju, termasuk berkembangnya small medium and micro enterprises (SMME).
Yang menjadi tantangan adalah bagaimana mengatur suasana persaingan yang kondusif, win-win dan tidak saling mematikan antara industri nasional dan para pemain asing. Dengan menjaga harmonisasi ini, diharapkan Indonesia ke depan segera akan mencapai ”Teknologi Komunikasi dan Informasi (TKI) untuk semua” secara berkelanjutan yang pada gilirannya akan mendukung kemajuan masyarakat Indonesia secara keseluruhan, dan bukan menjadikan Indonesia hanya sekadar pasar dengan potensi pembeli yang sangat menjanjikan. Semoga.
28 Juli 2008
21 Juli 2008
Ghost Voter dan Akurasi Data Pemilih Pemilu 2009
Untuk pelaksanaan agenda Pemilu 2009 memilih anggota DPR/DPRD dan DPD, Pilpres Putaran I serta Pilpres Putaran II, Komisi Pemilihan Umum (KPU) memaparkan kebutuhan total anggaran untuk agenda tersebut mencapai Rp. 47,9 triliun. Terlepas dari apakah angka yang diusulkan KPU ke APBN itu ‘hanya’ Rp. 22,3 triliun dan sisanya dari APBD itu lebih besar atau lebih kecil dari anggaran Pemilu 2004, serta dapat dipangkas atau tidak, perlu disepakati bahwa Pemilu 2009 haruslah lebih baik daripada Pemilu 2004.
Yang cukup krusial dan dapat dijadikan cerminan efisiensi anggaran negara adalah masalah pendaftaran pemilih. Pendaftaran pemilih merupakan tahap pertama yang menentukan hak pilih seseorang dan salah satu faktor penentu keberhasilan Pemilu. Jika seorang warga negara telah memenuhi semua persyaratan sebagai pemilih, ia memiliki hak untuk terdaftar sebagai pemilih dan memberikan suaranya pada Pemilu. Dalam Pemilu 2004 lalu, diperkenalkan apa yang disebut dengan Pendaftaran Pemilih dan Penduduk Berkelanjutan (P4B).
Dalam pelaksanaan P4B, ada dua prinsip yang dipegang. Pertama, tidak ada WNI yang tidak terdaftar, dan tidak ada penduduk WNI yang terdaftar dua kali atau lebih dalam basis data penduduk Indonesia. Dan kedua, tidak ada WNI yang berhak memilih tapi tidak terdaftar, dan tidak ada WNI yang berhak memilih terdaftar dua kali atau lebih dalam daftar pemilih tetap dan tambahan. Dari semangatnya, P4B menawarkan validitas data yang tinggi dan efisiensi. Hanya saja, dalam perjalanannya, ditemukan bahwa proses dan hasil P4B bermasalah.
Beberapa temuan yang mengemuka di antaranya adalah adanya pemilih yang telah meninggal dunia mendapatkan kartu pemilih. Bahkan ada kasus, Balita pun terdaftar jadi pemilih Pemilu. Kasus lain, banyak pemilih yang seharusnya mempunyai hak pilih, tidak terdaftar sebagai pemilih. Yang menarik, kartu pemilih warna biru yang tercetak untuk diberikan pada pemilih, tak hanya banyak yang tidak akurat dalam pencetakan nama, tanggal lahir, jenis kelamin serta alamat, tapi juga banyak yang tercetak lebih dari satu kartu untuk pemilih yang sama.
Hal tersebut memprihatinkan. Data yang kacau dan tidak akurat akan mengakibatkan agenda Pemilu lainnya memiliki potensi kecurangan dan berujung pada konflik. Fenomena yang sering mengemuka, pihak yang kalah, apalagi dengan angka tipis, akan mengangkat isu banyaknya pemilih yang pro dengan partai atau calon tertentu tersebut tidak terdaftar, ada penggelembungan suara maupun ghost voter sebagai biang kekalahan. Muaranya, Pemilu ataupun Pilkada didesak untuk diulang karena sarat dengan kecurangan. Realitas tersebut seharusnya menjadi catatan penting bagaimana mendaftar pemilih untuk Pemilu 2009.
Mengingat masalah data pemilih dan kependudukan mempunyai kaitan yang erat, apalagi data sudah harus di tangan KPU dan KPUD sebagai pengguna paling lambat April 2008 sesuai dengan Surat Edaran Mendagri No. 470/1551/SJ, data penduduk dan pemilih perlu segera dimutakhirkan dan bersifat tidak setengah-setengah. Artinya, data yang didapatkan nantinya bukan semata untuk Pemilu saja—menentukan siapa yang sudah mempunyai hak pilih, tapi merupakan data yang dapat digunakan untuk kepentingan lebih besar, yaitu Single Identity Number (SIN) atau identitas tunggal nasional.
Tentu saja dalam implementasinya proses survei akan membutuhkan kerja ekstra karena harus secara komprehensif mendapatkan data ‘tambahan’ di luar data pribadi biasa tiap warga negara seperti foto, golongan darah ataupun sidik jari. Selain data ‘tambahan’ yang unik, data-data biasa semisal nama, tanggal lahir, alamat maupun jenis kelamin, harus didapat secara akurat.
Memang untuk menuju SIN ada beberapa tahapan lagi yang harus ditempuh, tapi paling tidak data awal tersebut merupakan embrio SIN yang dapat digunakan untuk pemutakhiran dan mengakuratkan identitas pribadi seperti KTP dan lainnya, yang sama untuk individu yang sama. Ini merupakan pemecah kebuntuan untuk memulai SIN. Sebab diskursus mengenai SIN masih berputar-putar mengenai bagaimana konsep penomoran SIN, dimana saat ini masing-masing instansi memiliki sistem penomoran dan data yang berbeda, sementara esensi mendapatkan data individu warga negaranya sendiri terlupakan. Dan proses ini tetap harus dilakukan bagaimanapun konsep penomoran SIN nantinya.
Dengan data yang sama untuk individu yang sama dan kemudian juga terintegrasi, sulit bagi seorang WNI untuk mempunyai misalnya KTP atau Paspor ganda. Kasus-kasus mutakhir seperti pelarian burunon kakap ke LN meski sudah dicekal, penipuan melalui SMS ataupun teror melalui telepon seluler yang sulit dilacak meski kebijakan registrasi bagi kartu prabayar diterapkan, tidak akan terjadi jika tiap indvidu mempunyai hanya satu kartu identitas dengan data yang akurat.
Dalam urusan Pemilu, ditahap pertama setidaknya data mengenai jumlah penduduk dan pemilih dari tingkatan nasional hingga desa/kelurahan didapat secara presisi. Sehingga, kasus adanya dugaan pemilih fiktif semisal di Sulawesi Utara dimana Komite Edukasi Pemilih Pintar (KEPP) Sulawesi Utara menduga ada 200 ribu ghost voter di sana, tidak terjadi lagi.
Pada tahap selanjutnya, kartu yang datanya salah cetak ataupun tercetak lebih dari satu kali dapat dihindari. Begitu juga tak ada Balita ataupun orang yang sudah meninggal lama tapi tetap dapat kartu untuk memilih. Dengan kemajuan seperti itu, setidaknya sasaran tembak untuk menggagalkan hasil Pemilu, termasuk Pilkada, yang diakibatkan validitas data penduduk dan pemilih dapat dihindari. Dan itu dapat dilakukan dengan segera memutakhirkan data penduduk dan pemilih secara akurat dan komprehensif.
Yang cukup krusial dan dapat dijadikan cerminan efisiensi anggaran negara adalah masalah pendaftaran pemilih. Pendaftaran pemilih merupakan tahap pertama yang menentukan hak pilih seseorang dan salah satu faktor penentu keberhasilan Pemilu. Jika seorang warga negara telah memenuhi semua persyaratan sebagai pemilih, ia memiliki hak untuk terdaftar sebagai pemilih dan memberikan suaranya pada Pemilu. Dalam Pemilu 2004 lalu, diperkenalkan apa yang disebut dengan Pendaftaran Pemilih dan Penduduk Berkelanjutan (P4B).
Dalam pelaksanaan P4B, ada dua prinsip yang dipegang. Pertama, tidak ada WNI yang tidak terdaftar, dan tidak ada penduduk WNI yang terdaftar dua kali atau lebih dalam basis data penduduk Indonesia. Dan kedua, tidak ada WNI yang berhak memilih tapi tidak terdaftar, dan tidak ada WNI yang berhak memilih terdaftar dua kali atau lebih dalam daftar pemilih tetap dan tambahan. Dari semangatnya, P4B menawarkan validitas data yang tinggi dan efisiensi. Hanya saja, dalam perjalanannya, ditemukan bahwa proses dan hasil P4B bermasalah.
Beberapa temuan yang mengemuka di antaranya adalah adanya pemilih yang telah meninggal dunia mendapatkan kartu pemilih. Bahkan ada kasus, Balita pun terdaftar jadi pemilih Pemilu. Kasus lain, banyak pemilih yang seharusnya mempunyai hak pilih, tidak terdaftar sebagai pemilih. Yang menarik, kartu pemilih warna biru yang tercetak untuk diberikan pada pemilih, tak hanya banyak yang tidak akurat dalam pencetakan nama, tanggal lahir, jenis kelamin serta alamat, tapi juga banyak yang tercetak lebih dari satu kartu untuk pemilih yang sama.
Hal tersebut memprihatinkan. Data yang kacau dan tidak akurat akan mengakibatkan agenda Pemilu lainnya memiliki potensi kecurangan dan berujung pada konflik. Fenomena yang sering mengemuka, pihak yang kalah, apalagi dengan angka tipis, akan mengangkat isu banyaknya pemilih yang pro dengan partai atau calon tertentu tersebut tidak terdaftar, ada penggelembungan suara maupun ghost voter sebagai biang kekalahan. Muaranya, Pemilu ataupun Pilkada didesak untuk diulang karena sarat dengan kecurangan. Realitas tersebut seharusnya menjadi catatan penting bagaimana mendaftar pemilih untuk Pemilu 2009.
Mengingat masalah data pemilih dan kependudukan mempunyai kaitan yang erat, apalagi data sudah harus di tangan KPU dan KPUD sebagai pengguna paling lambat April 2008 sesuai dengan Surat Edaran Mendagri No. 470/1551/SJ, data penduduk dan pemilih perlu segera dimutakhirkan dan bersifat tidak setengah-setengah. Artinya, data yang didapatkan nantinya bukan semata untuk Pemilu saja—menentukan siapa yang sudah mempunyai hak pilih, tapi merupakan data yang dapat digunakan untuk kepentingan lebih besar, yaitu Single Identity Number (SIN) atau identitas tunggal nasional.
Tentu saja dalam implementasinya proses survei akan membutuhkan kerja ekstra karena harus secara komprehensif mendapatkan data ‘tambahan’ di luar data pribadi biasa tiap warga negara seperti foto, golongan darah ataupun sidik jari. Selain data ‘tambahan’ yang unik, data-data biasa semisal nama, tanggal lahir, alamat maupun jenis kelamin, harus didapat secara akurat.
Memang untuk menuju SIN ada beberapa tahapan lagi yang harus ditempuh, tapi paling tidak data awal tersebut merupakan embrio SIN yang dapat digunakan untuk pemutakhiran dan mengakuratkan identitas pribadi seperti KTP dan lainnya, yang sama untuk individu yang sama. Ini merupakan pemecah kebuntuan untuk memulai SIN. Sebab diskursus mengenai SIN masih berputar-putar mengenai bagaimana konsep penomoran SIN, dimana saat ini masing-masing instansi memiliki sistem penomoran dan data yang berbeda, sementara esensi mendapatkan data individu warga negaranya sendiri terlupakan. Dan proses ini tetap harus dilakukan bagaimanapun konsep penomoran SIN nantinya.
Dengan data yang sama untuk individu yang sama dan kemudian juga terintegrasi, sulit bagi seorang WNI untuk mempunyai misalnya KTP atau Paspor ganda. Kasus-kasus mutakhir seperti pelarian burunon kakap ke LN meski sudah dicekal, penipuan melalui SMS ataupun teror melalui telepon seluler yang sulit dilacak meski kebijakan registrasi bagi kartu prabayar diterapkan, tidak akan terjadi jika tiap indvidu mempunyai hanya satu kartu identitas dengan data yang akurat.
Dalam urusan Pemilu, ditahap pertama setidaknya data mengenai jumlah penduduk dan pemilih dari tingkatan nasional hingga desa/kelurahan didapat secara presisi. Sehingga, kasus adanya dugaan pemilih fiktif semisal di Sulawesi Utara dimana Komite Edukasi Pemilih Pintar (KEPP) Sulawesi Utara menduga ada 200 ribu ghost voter di sana, tidak terjadi lagi.
Pada tahap selanjutnya, kartu yang datanya salah cetak ataupun tercetak lebih dari satu kali dapat dihindari. Begitu juga tak ada Balita ataupun orang yang sudah meninggal lama tapi tetap dapat kartu untuk memilih. Dengan kemajuan seperti itu, setidaknya sasaran tembak untuk menggagalkan hasil Pemilu, termasuk Pilkada, yang diakibatkan validitas data penduduk dan pemilih dapat dihindari. Dan itu dapat dilakukan dengan segera memutakhirkan data penduduk dan pemilih secara akurat dan komprehensif.
13 Juli 2008
Perempuan dan Internet
Pengguna internet di kawasan Asia dikabarkan akan meningkat pesat. Dari peningkatan tersebut, menurut penelitian Nielsen/Netratings menemukan bahwa persentase kaum perempuan yang menggunakan internet di Asia Pasific juga meningkat. Ini sama dengan hasil penelitian Netvalue seperti dikutip Nua Internet Surveys beberapa waktu lalu. Di Hongkong, Jepang, Korea, Singapura, dan Taiwan, makin banyak perempuan yang menggunakan internet untuk mengirimkan email, chatting dan menggunakan fasilitas message board.
Meski tidak menjelaskan kondisi di Indonesia, gambaran serupa dapat dilihat dari maraknya kaum perempuan Indonesia yang juga menggunakan teknologi network of network ini. Hadirnya beberapa situs, blog dan mailing list perempuan, pertukaran surat elektronik yang dikirim dan diterima perempuan serta aktifnya perempuan Indonesia ber-chatting ria lewat situs-situs lokal maupun global, menggambarkan hal serupa.
Fenomena meningkatnya pengguna internet perempuan menarik untuk dicermati sebab hal itu menyangkut posisi perempuan di cyberspace. Apalagi seperti dikatakan editor cyberfeminist, Virginia Eubanks (2000), internet dan world wide web secara aktif dan agresif mengobarkan sikap permusuhan terhadap perempuan. “Kami diintimidasi oleh teknologi baru ini.”
Perempuan dalam Digital
Pada tahun 1995, jumlah perempuan yang bergabung dalam jaringan superhighway, diperkirakan hanya sekitar lima persen dari seluruh pengguna internet. Angka ini melonjak sejak tahun 1999. Revolusi terjadi, pengguna internet perempuan diestimasikan lebih dari sekitar 50 persen.
Perpindahahan perempuan ke kehidupan digital ini merupakan sebuah perluasan dari revolusi yang terjadi pada tahun 1960-an. Jika pada saat itu, gerakan perempuan mewakili keputusan untuk mengubah masyarakat dan membuat perubahan dalam kehidupan individu, kini prioritas lebih dari sekadar kerja, keluarga, kesehatan dan keuangan. Konsekuensinya, nilai-nilai bagi perempuan juga berubah, konsisten dengan kehidupan era digital.
Menurut penelitian Netwatch, lembaga riset analis internet, saat ini perempuan memindahkan bolamatanya dari media tradisional seperti majalah ataupun televisi, ke media tanpa medium yang sebelumnya dikuasai kaum pria. Dengan meningkatnya jumlah perempuan yang bergabung dalam komunitas online, itu artinya perempuan telah menentukan bahwa internet tidaklah begitu beresiko. Bahkan dengan perubahan ini mengirim perempuan dalam pencarian sumber informasi, bertemu, berbicara, belajar dan berdagang dengan cara baru.
Hanya saja, beberapa feminis meragukan soal resiko yang harus ditanggung perempuan. Sebabnya, tubuh perempuan merupakan sumber daya yang sederhana. Internet dan world wide web, bukan dari teknologinya, tapi sikap para penggunanya yang secara aktif dan agresif benci terhadap perempuan. Apalagi dengan metafora yang terus hadir: perempuan dengan tubuhnya dan lelaki dengan pikirannya.
Isu Gender
Salah satu fokus diskusi dampak politik internet saat ini adalah gender. Internet tidak membantu perkembangan demokrasi selama persoalan gender masih berlanjut. Isu gender dalam komunikasi online dibagi dalam dua bagian besar. Pertama, komunikasi internet memungkinkan terjadi persamaan dimana perempuan dapat berpartisipasi dan berpikir secara penuh. Dan kedua, interaksi online hanya merefleksikan kehidupan nyata yang didominasi kaum lelaki.
Kerugian yang diderita perempuan lewat internet adalah perempuan seringkali menjadi subyek bermacam bentuk pelecehan dan ‘siksaan’ seksual. Seperti kasus yang terjadi di Amerika Serikat, ketika seorang bernama Alex menamakan dirinya ‘Joan’, seorang wanita cacat dalam bulletin board. Tokoh ‘Joan’ yang membuat banyak perempuan iba berubah menjadi kekecewaan besar begitu mengetahui sesungguhnya tokoh ini tidak nyata.
Dari contoh ini, masalah utama terkait dengan isu gender lebih terkonsentrasi pada penggunaan newsgroups ataupun chatting karena bersifat anonim dan tanpa gender. Seseorang lelaki bisa saja mengaku sebagai perempuan tanpa dapat didengar suaranya, pakaiannya maupun gerak-gerik tubuhnya. Dan begitu seseorang tampil dengan identitas perempuan lewat fasilitas internet tersebut, pelecehan pun dimulai.
Etika dan Pemberdayaan
Hal yang perlu diperhatikan dalam menyikapi isu gender lewat media internet adalah perlunya dimasyarakatkannya etika berinternet. Apalagi dengan sifat sesungguhnya sains dan teknologi yang netral. Dua etika, etika yang lahir dari para feminis dan etika berkomputer itu sendiri, dapat dicarikan kesamaannya sehingga didapat etika alternatif yang bisa ditawarkan. Seperti dalam kasus identitas diri. Jika seseorang memang maskulin, maka dia juga harus memilih identitas ini dan berbahasa sesuai jenis kelamin yang dipilih.
Ketakutan bahwa teknologi internet ini bersifat mengintimidasi, sesungguhnya tidaklah perlu dibesar-besarkan. Cara yang paling efektif mengatasi hal itu adalah pemberdayaan pengetahuan kaum perempuan para pengakses internet. Sebab kunci utama adalah bukan pada teknologi, bukan pada lelaki namun pada mengatasi technophobia kaum perempuan itu sendiri.
Hanya saja, tidak bisa dipungkiri bahwa tidak semua situs internet, mailing list ataupun chatting menawarkan nilai tambah bagi perempuan. Seperti yang ada di Indonesia. Beberapa mailing list, seperti gender discourse, rumpun perempuan, wanita muslimah, menawarkan satu pencerahan bagi kaum perempuan, namun ada juga yang hanya menawarkan gambar-gambar tubuh perempuan.
Untuk membangun komunitas perempuan di internet yang baik, patutlah ditiru bagaimana komunitas Echo, komunitas internet terbaik untuk perempuan di Amerika Serikat, berjalan. Nama asli semua Echoid, anggota Echo, secara mudah dapat dicari dalam sistem. Echo selain terbuka hanya khusus anggota, seseorang tidak dapat dipertimbangkan sebagai Echoid sampai bertemu secara tatap muka.
Yang perlu disoroti juga adalah maraknya situs-situs perempuan. Beberapa situs seperti Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Perempuan, LBH Apik ataupun Suara Ibu Peduli, memang khusus dihadirkan untuk kaum perempuan Indonesia berbagi informasi, berkonsultasi, berdiskusi mengenai hal-hal yang berkenaan dengan masalah-masalah pribadi, keluarga, cinta, seks, pekerjaan, kesehatan, sosial budaya dan keuangan. Namun ada juga situs yang memang khusus berisi, sekali lagi, gambar-gambar perempuan mengumbar tubuhnya seperti situs Perempuan Sexy-Sexy, situs online majalah cetak yang memang terkenal dengan gaya swimsuit-nya ataupun situs Exotic Azza yang menyebut dirinya sebagai situs “Javanesse Erotica” dan mengutip biaya dalam dolar AS untuk aksesnya.
Persoalan ini tentunya tidak sekadar menjadi persoalan pembuatan dan penyebaran pornografi semata lewat media internet. Lebih luas lagi, menyangkut sanksi tegas yang perlu diberlakukan bagi pembuat, pengedar dan pelakunya, budaya dan watak masyarakat. Yang bisa dilakukan masyarakat, selain sanksi hukum, adalah memutus mata rantai eksploitasi tubuh wanita. Cara sederhana yang bisa dilakukan seperti dengan tidak memproduksi gambar-gambar vulgar. Situs-situs yang hanya menampilkan perempuan dalam konotasi esek-esek sebaiknya ditutup.
Dan merupakan pekerjaan tidak mudah, adalah bagaimana usaha para aktivis perempuan dan kaum perempuan itu sendiri agar tidak sampai diekploitasi ataupun sengaja mengeksploitasi dirinya atas nama apapun. Meski menghilangkan persoalan tersebut menyangkut peradaban yang lebih luas, ini merupakan tantangan bagi kaum perempuan di abad ke-21. Jangan sampai persoalan pemberdayaan perempuan, hanya seperti menunggu “Godot”, tokoh yang ditunggu dalam drama karya Samuel Beckett, yang ternyata tidak pernah datang atau sesungguhnya tidak pernah ada.
Meski tidak menjelaskan kondisi di Indonesia, gambaran serupa dapat dilihat dari maraknya kaum perempuan Indonesia yang juga menggunakan teknologi network of network ini. Hadirnya beberapa situs, blog dan mailing list perempuan, pertukaran surat elektronik yang dikirim dan diterima perempuan serta aktifnya perempuan Indonesia ber-chatting ria lewat situs-situs lokal maupun global, menggambarkan hal serupa.
Fenomena meningkatnya pengguna internet perempuan menarik untuk dicermati sebab hal itu menyangkut posisi perempuan di cyberspace. Apalagi seperti dikatakan editor cyberfeminist, Virginia Eubanks (2000), internet dan world wide web secara aktif dan agresif mengobarkan sikap permusuhan terhadap perempuan. “Kami diintimidasi oleh teknologi baru ini.”
Perempuan dalam Digital
Pada tahun 1995, jumlah perempuan yang bergabung dalam jaringan superhighway, diperkirakan hanya sekitar lima persen dari seluruh pengguna internet. Angka ini melonjak sejak tahun 1999. Revolusi terjadi, pengguna internet perempuan diestimasikan lebih dari sekitar 50 persen.
Perpindahahan perempuan ke kehidupan digital ini merupakan sebuah perluasan dari revolusi yang terjadi pada tahun 1960-an. Jika pada saat itu, gerakan perempuan mewakili keputusan untuk mengubah masyarakat dan membuat perubahan dalam kehidupan individu, kini prioritas lebih dari sekadar kerja, keluarga, kesehatan dan keuangan. Konsekuensinya, nilai-nilai bagi perempuan juga berubah, konsisten dengan kehidupan era digital.
Menurut penelitian Netwatch, lembaga riset analis internet, saat ini perempuan memindahkan bolamatanya dari media tradisional seperti majalah ataupun televisi, ke media tanpa medium yang sebelumnya dikuasai kaum pria. Dengan meningkatnya jumlah perempuan yang bergabung dalam komunitas online, itu artinya perempuan telah menentukan bahwa internet tidaklah begitu beresiko. Bahkan dengan perubahan ini mengirim perempuan dalam pencarian sumber informasi, bertemu, berbicara, belajar dan berdagang dengan cara baru.
Hanya saja, beberapa feminis meragukan soal resiko yang harus ditanggung perempuan. Sebabnya, tubuh perempuan merupakan sumber daya yang sederhana. Internet dan world wide web, bukan dari teknologinya, tapi sikap para penggunanya yang secara aktif dan agresif benci terhadap perempuan. Apalagi dengan metafora yang terus hadir: perempuan dengan tubuhnya dan lelaki dengan pikirannya.
Isu Gender
Salah satu fokus diskusi dampak politik internet saat ini adalah gender. Internet tidak membantu perkembangan demokrasi selama persoalan gender masih berlanjut. Isu gender dalam komunikasi online dibagi dalam dua bagian besar. Pertama, komunikasi internet memungkinkan terjadi persamaan dimana perempuan dapat berpartisipasi dan berpikir secara penuh. Dan kedua, interaksi online hanya merefleksikan kehidupan nyata yang didominasi kaum lelaki.
Kerugian yang diderita perempuan lewat internet adalah perempuan seringkali menjadi subyek bermacam bentuk pelecehan dan ‘siksaan’ seksual. Seperti kasus yang terjadi di Amerika Serikat, ketika seorang bernama Alex menamakan dirinya ‘Joan’, seorang wanita cacat dalam bulletin board. Tokoh ‘Joan’ yang membuat banyak perempuan iba berubah menjadi kekecewaan besar begitu mengetahui sesungguhnya tokoh ini tidak nyata.
Dari contoh ini, masalah utama terkait dengan isu gender lebih terkonsentrasi pada penggunaan newsgroups ataupun chatting karena bersifat anonim dan tanpa gender. Seseorang lelaki bisa saja mengaku sebagai perempuan tanpa dapat didengar suaranya, pakaiannya maupun gerak-gerik tubuhnya. Dan begitu seseorang tampil dengan identitas perempuan lewat fasilitas internet tersebut, pelecehan pun dimulai.
Etika dan Pemberdayaan
Hal yang perlu diperhatikan dalam menyikapi isu gender lewat media internet adalah perlunya dimasyarakatkannya etika berinternet. Apalagi dengan sifat sesungguhnya sains dan teknologi yang netral. Dua etika, etika yang lahir dari para feminis dan etika berkomputer itu sendiri, dapat dicarikan kesamaannya sehingga didapat etika alternatif yang bisa ditawarkan. Seperti dalam kasus identitas diri. Jika seseorang memang maskulin, maka dia juga harus memilih identitas ini dan berbahasa sesuai jenis kelamin yang dipilih.
Ketakutan bahwa teknologi internet ini bersifat mengintimidasi, sesungguhnya tidaklah perlu dibesar-besarkan. Cara yang paling efektif mengatasi hal itu adalah pemberdayaan pengetahuan kaum perempuan para pengakses internet. Sebab kunci utama adalah bukan pada teknologi, bukan pada lelaki namun pada mengatasi technophobia kaum perempuan itu sendiri.
Hanya saja, tidak bisa dipungkiri bahwa tidak semua situs internet, mailing list ataupun chatting menawarkan nilai tambah bagi perempuan. Seperti yang ada di Indonesia. Beberapa mailing list, seperti gender discourse, rumpun perempuan, wanita muslimah, menawarkan satu pencerahan bagi kaum perempuan, namun ada juga yang hanya menawarkan gambar-gambar tubuh perempuan.
Untuk membangun komunitas perempuan di internet yang baik, patutlah ditiru bagaimana komunitas Echo, komunitas internet terbaik untuk perempuan di Amerika Serikat, berjalan. Nama asli semua Echoid, anggota Echo, secara mudah dapat dicari dalam sistem. Echo selain terbuka hanya khusus anggota, seseorang tidak dapat dipertimbangkan sebagai Echoid sampai bertemu secara tatap muka.
Yang perlu disoroti juga adalah maraknya situs-situs perempuan. Beberapa situs seperti Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Perempuan, LBH Apik ataupun Suara Ibu Peduli, memang khusus dihadirkan untuk kaum perempuan Indonesia berbagi informasi, berkonsultasi, berdiskusi mengenai hal-hal yang berkenaan dengan masalah-masalah pribadi, keluarga, cinta, seks, pekerjaan, kesehatan, sosial budaya dan keuangan. Namun ada juga situs yang memang khusus berisi, sekali lagi, gambar-gambar perempuan mengumbar tubuhnya seperti situs Perempuan Sexy-Sexy, situs online majalah cetak yang memang terkenal dengan gaya swimsuit-nya ataupun situs Exotic Azza yang menyebut dirinya sebagai situs “Javanesse Erotica” dan mengutip biaya dalam dolar AS untuk aksesnya.
Persoalan ini tentunya tidak sekadar menjadi persoalan pembuatan dan penyebaran pornografi semata lewat media internet. Lebih luas lagi, menyangkut sanksi tegas yang perlu diberlakukan bagi pembuat, pengedar dan pelakunya, budaya dan watak masyarakat. Yang bisa dilakukan masyarakat, selain sanksi hukum, adalah memutus mata rantai eksploitasi tubuh wanita. Cara sederhana yang bisa dilakukan seperti dengan tidak memproduksi gambar-gambar vulgar. Situs-situs yang hanya menampilkan perempuan dalam konotasi esek-esek sebaiknya ditutup.
Dan merupakan pekerjaan tidak mudah, adalah bagaimana usaha para aktivis perempuan dan kaum perempuan itu sendiri agar tidak sampai diekploitasi ataupun sengaja mengeksploitasi dirinya atas nama apapun. Meski menghilangkan persoalan tersebut menyangkut peradaban yang lebih luas, ini merupakan tantangan bagi kaum perempuan di abad ke-21. Jangan sampai persoalan pemberdayaan perempuan, hanya seperti menunggu “Godot”, tokoh yang ditunggu dalam drama karya Samuel Beckett, yang ternyata tidak pernah datang atau sesungguhnya tidak pernah ada.
08 Juli 2008
Internet dan Kampanye Politik
Obama, dan calon-calon presiden AS sebelumnya, telah menawarkan format baru dalam berkampanye. Selain bertatap muka langsung dengan calon pemilih, internet dipakai sebagai media untuk "menjual diri". Lewat fasilitas semisal facebook, blog, maupun situs resmi, kandidat presiden berkampanye.
Menurut Dan Nimmo (2000), ada tiga jenis kampanye. Yaitu: kampanye massa, kampanye antarpribadi dan kampanye organisasi. Kampanye massa meliputi kampanye tatap muka, menggunakan media elektronik dan cetak sebagai perantara seperti radio, televisi, telepon dan suratkabar. Kampanye antarpribadi menggunakan pribadi yang dekat dengan kandidat atau menjalin hubungan dengan tokoh-tokoh lokal dalam setting yang relatif informal. Sedang kampanye organisasional, dilakukan oleh organisasi yang mendukung kandidat, organisasi yang mempunyai kepentingan khusus, kelompok penyokong dan partai politik.
Melihat perkembangan terkini dari pemilihan presiden di Amerika Serikat, terlihat bahwa kampanye telah menjadi lebih langsung dan lebih menampilkan kelicikan. Ada tiga indikasi yang menjelaskan perubahan tersebut. Pertama, bukan seperti politik biasanya, kini kampanye mengandalkan iklan negatif. Kedua, politik berubah mengandalkan polling. Ketiga, penyandaran pada konsultan yang melatih kandidat apa yang dikatan dan bagaimana, kapan dan di mana mengatakannya. Dan keempat, penggunaan telemarketing dalam berkampanye. Di sini, kampanye mengandalkan iklan televisi, kaset video yang kirim langsung ke pemilih, serta penggunaan teknologi informasi (internet).
Secara fakta, bagi politisi, internet menawarkan cara yang efektif bagi kandidat untuk berbicara langung dengan pemilih. Penggunaan internet untuk pemasaran langsung merupakan kombinasi teknologi yang unik yang membantu mengintegrasikan strategi pemasaran politisi. Kandidat mempunyai kesempatan untuk membangun kontak langsung dengan pemilih melalui debat online yang dapat dilihat secara real time. Karenanya, kandidat presiden yang serius sekarang ini haruslah mempunyai situs di web.
Ada dua dampak penggunaan internet sebagai alat pemasaran langsung dalam politik secara umum. Pada sisi positif, situs yang dibuat kandidat dapat memfasilitasi diskusi ekstensif terhadap isu-isu yang berkembang. Internet juga menawarkan kesempatan bagi kandidat untuk menghabiskan lebih banyak waktu menyampaikan ide-ide mereka kepada pemilih karena penggunaan pemasaran langsung ini relatif tidak mahal. Internet juga memberi kesempatan bagi kandidat untuk mempresentasikan informasi yang sulit dihadirkan pada media lain.
Pada sisi negatif, potensi bahaya penggunaan internet adalah kampanye negatif. Sebab dengan sifat anonim-nya, politisi dapat saja mengirimkan informasi tentang skandal-skandal tanpa dapat diketahui siapa pengirimnya.
Menurut Dan Nimmo (2000), ada tiga jenis kampanye. Yaitu: kampanye massa, kampanye antarpribadi dan kampanye organisasi. Kampanye massa meliputi kampanye tatap muka, menggunakan media elektronik dan cetak sebagai perantara seperti radio, televisi, telepon dan suratkabar. Kampanye antarpribadi menggunakan pribadi yang dekat dengan kandidat atau menjalin hubungan dengan tokoh-tokoh lokal dalam setting yang relatif informal. Sedang kampanye organisasional, dilakukan oleh organisasi yang mendukung kandidat, organisasi yang mempunyai kepentingan khusus, kelompok penyokong dan partai politik.
Melihat perkembangan terkini dari pemilihan presiden di Amerika Serikat, terlihat bahwa kampanye telah menjadi lebih langsung dan lebih menampilkan kelicikan. Ada tiga indikasi yang menjelaskan perubahan tersebut. Pertama, bukan seperti politik biasanya, kini kampanye mengandalkan iklan negatif. Kedua, politik berubah mengandalkan polling. Ketiga, penyandaran pada konsultan yang melatih kandidat apa yang dikatan dan bagaimana, kapan dan di mana mengatakannya. Dan keempat, penggunaan telemarketing dalam berkampanye. Di sini, kampanye mengandalkan iklan televisi, kaset video yang kirim langsung ke pemilih, serta penggunaan teknologi informasi (internet).
Secara fakta, bagi politisi, internet menawarkan cara yang efektif bagi kandidat untuk berbicara langung dengan pemilih. Penggunaan internet untuk pemasaran langsung merupakan kombinasi teknologi yang unik yang membantu mengintegrasikan strategi pemasaran politisi. Kandidat mempunyai kesempatan untuk membangun kontak langsung dengan pemilih melalui debat online yang dapat dilihat secara real time. Karenanya, kandidat presiden yang serius sekarang ini haruslah mempunyai situs di web.
Ada dua dampak penggunaan internet sebagai alat pemasaran langsung dalam politik secara umum. Pada sisi positif, situs yang dibuat kandidat dapat memfasilitasi diskusi ekstensif terhadap isu-isu yang berkembang. Internet juga menawarkan kesempatan bagi kandidat untuk menghabiskan lebih banyak waktu menyampaikan ide-ide mereka kepada pemilih karena penggunaan pemasaran langsung ini relatif tidak mahal. Internet juga memberi kesempatan bagi kandidat untuk mempresentasikan informasi yang sulit dihadirkan pada media lain.
Pada sisi negatif, potensi bahaya penggunaan internet adalah kampanye negatif. Sebab dengan sifat anonim-nya, politisi dapat saja mengirimkan informasi tentang skandal-skandal tanpa dapat diketahui siapa pengirimnya.
Langganan:
Postingan (Atom)