Mencermati naiknya Megawati Soekarnoputri menjadi Presiden RI ke-5, apalagi dikaitkan dengan gerakan perempuann khususnya dalam konteks yang disebut Orde Baru sebagai emansipasi memang sungguh menggoda. Sebab disamping kita melihat kemajuan signifikan yang telah dicapai perempuan, perhatian itu bisa merupakan analisis bagaimana metamorfosa gerakan perempuan berlangsung.
Untuk melihat benang merah ”menggeliat”-nya dunia perempuan, terutama di Indonesia, memang diperlukan kriteria tertentu karena banyak fenomena yang tentu tidak semuanya bisa dirangkul. Selain punya magnitude besar, kriteria lain yang digunakan adalah fenomena tersebut harus bisa mewakili perempuan pada zamannya. Fenomena itu adalah Kartini, tokoh emansipasi perempuan Indonesia, Pahlawan Buruh Marsinah dan Megawati. Ketiga fenomena ini akan dicoba dipertautkan dengan prediksi gerakan perempuan masa depan.
Nama Raden Ajeng Kartini tentu tak asing lagi bagi telinga rakyat Indonesia, terutama kaum perempuan. Sebab bukan saja karena tiap 21 April, hari lahirnya diperingati, tapi lebih dari itu. Kartini, disebut-sebut sebagai simbol perjuangan perempuan Indonesia yang dianggap sebagai penyebab perempuan Indonesia sekarang bisa berprestasi tinggi. Jadi presiden, menteri, duta besar, jenderal, pengusaha atau wakil rakyat.
Kartini adalah pejuang emansipasi perempuan.Walau perjuangannya melalui tulisan, anak RMAA Sosroningrat dan MA Ngasirah, yang diistilahkan Pramudya Ananta Toer sebagai ”Gadis Jepara” ini, merupakan perempuan progresif radikal pada zamannya.
Dalam surat-surat yang dikirim kepada sahabat-sahabatnya, Kartini melemparkan banyak gagasannya, mengurai cita-citanya, ulasannya serta kecamannya pada pemerintah Hindia Belanda. Tidak ketinggalan, timbulnya kesadaran pemikiran bahwa untuk mengangkat derajat perempuan Indonesia, pendidikan mutlak diperlukan.
Dalam surat yang ditujukan kepada Stella Zeehandelar, 12 Januari 1900, Kartini menulis: ”Orang-orang Belanda selalu menertawakan kebodohan rakyat kami. Tapi bila rakyat kami ingin maju, mereka selalu menghalang-halangi dan bahkan mengancamnya. Sekarang tahulah aku mengapa orang Belanda tak suka melihat orang Jawa maju. Apabila rakyat kami telah berpengetahuan, niscaya mereka tak mau tunduk begitu saja pada penjajah.” Gagasan-gagasan Kartini tentang perubahan nasib Hindia Belanda melalui peningkatan pendidikan rakyat, khususnya perempuan, merupakan gagasan progresif menyongsong masyarakat baru.
Kartini telah menunjukkan kemajuan daya pikirnya tentang pendidikan jauh sebelumnya, bahkan dibanding Boedi Oetomo sekalipun. Kartini tampil menyuarakan pendidikan untuk menyadarkan dan membuka wawasan pengetahuan rakyat.
***
Marsinah adalah sebuah petunjuk, mungkin lambang yang terang dan perih. Ia yang ditemukan terbunuh di sebuah dusun di daerah Nganjuk, telah menunjukkan bahwa hak asasi bukanlah sesuatu yang hanya dibicarakan sebagai sebuah benda yang datang dari luar dan bergulir jadi percaturan di antara orang-orang penting….”
Makna dan isi tulisan Goenawan Mohamad (Tempo, 8/1/94) yang sangat padat, mengajak orang untuk belajar dari Marsinahæburuh pabrik jam tangan di Sidoarjo, yang memimpin teman-temannya unjuk rasa menuntut perbaikan nasib sebagai buruh, kelaminnya ditusuk dengan besi dan kayu, mayatnya dibuang di sebuah gubuk di Nganjuk serta peraih Anugerah Hak Asasi Manusia Yap Thiam Hiem tentang banyak hal. Bisa simbol, perjuangan, hak asasi, pembantaian serta segudang pelajaran lain yang entah apa namanya.
Yang paling menarik, dengan kematian Marsinah, bisa jadi hal itu merupakan tanda bahwa perjuangan kaum perempuan, jika dibandingkan dengan era Kartini, sudah lebih maju. Kalau Kartini berjuang melalui tulisan, surat-suratnya, Marsinah berjuang untuk mendapatkan hak-haknya dengan tenaga secara frontal, bahkan mempertaruhkan nyawa. Termasuk perlawanannya terhadap kesewenangan lelakiæpengusaha yang di-back up aparat keamanan (pemerintah). Pada kasus ini emansipasi sudah lebih progesif dan revolusioner.
Dari hal itu terkandung isyarat, gagasan-gagasan Kartini tentang perubahan nasib melalui peningkatan pendidikan, mulai menampakkan hasil—kalau tak mau disebut bumerang.Pendidikan telah menyadarkan dan membuka wawasan pengetahuan rakyat agar hak-haknya tak diinjak-injak. Bedanya, jika sebelumnya pendidikan merupakan tujuan perjuangan, kini pendidikan dijadikan basic menjawab persoalan aktual dalam mencapai tujuan.
Salah satunya, seperti yang terjadi dengan Marsinah, pemberdayaan terhadap buruh. Marsinah jadi simbol perlawanan kaum buruh, simbol perlawanan manusia terhadap kesewenangan yang menginjak hak-hak asasi manusia.
Sehingga, kalau boleh disebut, perjuangan Marsinah diilhami atau merupakan implikasi dari perjuangan Kartini—meski Marsinah sendiri belum tentu tahu betul apa yang sesungguhnya diperjuangkan Kartini.
Dalam sebuah diskusi terbatas yang diadakan Komite Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan Ketua Komisi tersebut, Saparinah Sadli menyatakan bahwa saat ini gerakan perempuan tengah memasuki fase ketiga dalam sejarah perkembangannya. Setelah masa nasionalisme dan era Orde Baru, kaum perempuan berjuang untuk kepentingan bangsa.
Memprediksi gerakan perempuan Indonesia masa depan, sesungguhnya bisa dilihat dari apa yang dilakukan Megawati, untuk bisa mewakili suara dan kepentingan perempuan serta perhatiannya terhadap pemberdayaan perempuan.
Sebab jika tidak, Megawati tidak lebih dari sekadar simbol dari kekuasaan yang masih didominasi laki-laki, yang berada di sekelilingnya. Jika ini benar terjadi, tidak menggunakan kesempatan sebagai perempuan untuk memperjuangkan perempuan, hal itu merupakan antiklimaks gerakan perempuan. Sebaliknya, jika kepresidenan Megawati merupakan titik awal makin berperannya perempuan, untuk melihat salah satu probabilitas perempuan Indonesia masa depan lihatlah film lama berjudul ”Disclosure”.
Film yang dibintangi Demi Moore sebagai Meredith Johnson dan Michael Douglas sebagai Tom Sander, bercerita tentang kemajuan zaman yang pesat. Perempuan sudah sangat educated, bahkan sudah berdiri sejajar dengan pria. Sehingga, sah-sah saja jika ada perempuan yang ambisius dan rela melakukan apa saja demi mencapai tujuannya. Termasuk di dalamnya, penggunaan kekuasaan Meredith (sebagai atasan) untuk memenuhi nafsunya terhadap Tom (sebagai bawahan).
Meredith, pada kasus pelecehan seksual tersebut, menggunakan ”keberuntungannya” sebagai perempuan. Sebab, yang selama ini terdengar, kaum perempuanlah yang sering jadi korban pelecehan. Tak ada orang yang akan percaya kalau lelaki jadi korban pelecehan seksual.Fenomena film ini sungguh menarik Setelah perempuan sampai pada puncak paramida perjuangannya—alami atau paksaan, maka terjadilah kesejajaran total antara pria dan perempuan.
Pada satu sisi, terciptanya konsep kesejajaran total ini jelas memberi keuntungan tersendiri. Namun pada sisi lain, tak dapat dielakkan, hal itu akan menimbulkan ketakutan—terutama bagi kaum lelaki. Akankah perempuan fair dengan konsep kesejajaran itu? Sebab sudah telanjur beredar stereotype di masyarakat tentang apa-apa yang sudah terlalu sering dilakukan laki-laki dengan superioritasnya terhadap perempuan, dibanding superioritas perempuan terhadap lelaki.
Meski film ini mungkin merupakan pengecualian perjuangan Kartini, yang menyalahgunakan keperempuanannya untuk mencapai tujuan, cepat atau lambat fenomena seperti ini akan hadir di sekitar kita.Bahkan, bisa jadi telah hadir karena begitu banyak pula kasus yang mengisyaratkan adanya kekerasan terhadap laki-laki yang dilakukan perempuan. Kalau hal itu benar terjadi, agaknya bukan sebuah kemustahilan pula jika suatu saat akan ada fenomena memperjuangkan hak-hak lelaki. Siapa tahu?
Untuk melihat benang merah ”menggeliat”-nya dunia perempuan, terutama di Indonesia, memang diperlukan kriteria tertentu karena banyak fenomena yang tentu tidak semuanya bisa dirangkul. Selain punya magnitude besar, kriteria lain yang digunakan adalah fenomena tersebut harus bisa mewakili perempuan pada zamannya. Fenomena itu adalah Kartini, tokoh emansipasi perempuan Indonesia, Pahlawan Buruh Marsinah dan Megawati. Ketiga fenomena ini akan dicoba dipertautkan dengan prediksi gerakan perempuan masa depan.
***
Nama Raden Ajeng Kartini tentu tak asing lagi bagi telinga rakyat Indonesia, terutama kaum perempuan. Sebab bukan saja karena tiap 21 April, hari lahirnya diperingati, tapi lebih dari itu. Kartini, disebut-sebut sebagai simbol perjuangan perempuan Indonesia yang dianggap sebagai penyebab perempuan Indonesia sekarang bisa berprestasi tinggi. Jadi presiden, menteri, duta besar, jenderal, pengusaha atau wakil rakyat.
Kartini adalah pejuang emansipasi perempuan.Walau perjuangannya melalui tulisan, anak RMAA Sosroningrat dan MA Ngasirah, yang diistilahkan Pramudya Ananta Toer sebagai ”Gadis Jepara” ini, merupakan perempuan progresif radikal pada zamannya.
Dalam surat-surat yang dikirim kepada sahabat-sahabatnya, Kartini melemparkan banyak gagasannya, mengurai cita-citanya, ulasannya serta kecamannya pada pemerintah Hindia Belanda. Tidak ketinggalan, timbulnya kesadaran pemikiran bahwa untuk mengangkat derajat perempuan Indonesia, pendidikan mutlak diperlukan.
Dalam surat yang ditujukan kepada Stella Zeehandelar, 12 Januari 1900, Kartini menulis: ”Orang-orang Belanda selalu menertawakan kebodohan rakyat kami. Tapi bila rakyat kami ingin maju, mereka selalu menghalang-halangi dan bahkan mengancamnya. Sekarang tahulah aku mengapa orang Belanda tak suka melihat orang Jawa maju. Apabila rakyat kami telah berpengetahuan, niscaya mereka tak mau tunduk begitu saja pada penjajah.” Gagasan-gagasan Kartini tentang perubahan nasib Hindia Belanda melalui peningkatan pendidikan rakyat, khususnya perempuan, merupakan gagasan progresif menyongsong masyarakat baru.
Kartini telah menunjukkan kemajuan daya pikirnya tentang pendidikan jauh sebelumnya, bahkan dibanding Boedi Oetomo sekalipun. Kartini tampil menyuarakan pendidikan untuk menyadarkan dan membuka wawasan pengetahuan rakyat.
***
Marsinah adalah sebuah petunjuk, mungkin lambang yang terang dan perih. Ia yang ditemukan terbunuh di sebuah dusun di daerah Nganjuk, telah menunjukkan bahwa hak asasi bukanlah sesuatu yang hanya dibicarakan sebagai sebuah benda yang datang dari luar dan bergulir jadi percaturan di antara orang-orang penting….”
Makna dan isi tulisan Goenawan Mohamad (Tempo, 8/1/94) yang sangat padat, mengajak orang untuk belajar dari Marsinahæburuh pabrik jam tangan di Sidoarjo, yang memimpin teman-temannya unjuk rasa menuntut perbaikan nasib sebagai buruh, kelaminnya ditusuk dengan besi dan kayu, mayatnya dibuang di sebuah gubuk di Nganjuk serta peraih Anugerah Hak Asasi Manusia Yap Thiam Hiem tentang banyak hal. Bisa simbol, perjuangan, hak asasi, pembantaian serta segudang pelajaran lain yang entah apa namanya.
Yang paling menarik, dengan kematian Marsinah, bisa jadi hal itu merupakan tanda bahwa perjuangan kaum perempuan, jika dibandingkan dengan era Kartini, sudah lebih maju. Kalau Kartini berjuang melalui tulisan, surat-suratnya, Marsinah berjuang untuk mendapatkan hak-haknya dengan tenaga secara frontal, bahkan mempertaruhkan nyawa. Termasuk perlawanannya terhadap kesewenangan lelakiæpengusaha yang di-back up aparat keamanan (pemerintah). Pada kasus ini emansipasi sudah lebih progesif dan revolusioner.
Dari hal itu terkandung isyarat, gagasan-gagasan Kartini tentang perubahan nasib melalui peningkatan pendidikan, mulai menampakkan hasil—kalau tak mau disebut bumerang.Pendidikan telah menyadarkan dan membuka wawasan pengetahuan rakyat agar hak-haknya tak diinjak-injak. Bedanya, jika sebelumnya pendidikan merupakan tujuan perjuangan, kini pendidikan dijadikan basic menjawab persoalan aktual dalam mencapai tujuan.
Salah satunya, seperti yang terjadi dengan Marsinah, pemberdayaan terhadap buruh. Marsinah jadi simbol perlawanan kaum buruh, simbol perlawanan manusia terhadap kesewenangan yang menginjak hak-hak asasi manusia.
Sehingga, kalau boleh disebut, perjuangan Marsinah diilhami atau merupakan implikasi dari perjuangan Kartini—meski Marsinah sendiri belum tentu tahu betul apa yang sesungguhnya diperjuangkan Kartini.
Dalam sebuah diskusi terbatas yang diadakan Komite Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan Ketua Komisi tersebut, Saparinah Sadli menyatakan bahwa saat ini gerakan perempuan tengah memasuki fase ketiga dalam sejarah perkembangannya. Setelah masa nasionalisme dan era Orde Baru, kaum perempuan berjuang untuk kepentingan bangsa.
Bahkan, dalam masa Orba terkooptasi untuk dan oleh kepentingan penguasa. Beberapa tahun terakhir ini perempuan Indonesia berjuang dengan perspektif menyuarakan kepentingan dan visi perempuan.Di awal gerakan reformasi, muncul kekuatan gerakan perempuan yang menolak dan melawan kecenderungan perempuan sebagai korban.
Bahkan, para ibu yang tergabung dalam Suara Ibu Peduli (SIP), banyak LSM perempuan yang sembunyi dalam masa represi seperti yang dialami Marsinah, bisa disebut sebagai tulang punggung gerakan reformasi yang menumbangkan Soeharto. Mereka memberi ”bahan bakar” bagi mahasiswa selama pendudukan gedung wakil rakyat.Di panggung politik, perempuan kini makin maju.
Yaitu, dengan duduknya Megawati Soekarnoputri sebagai presiden. Posisi ini bahkan sebenarnya telah dicapai di akhir 1999 lalu, jika saja saat pemilihan presiden tidak keluar fatwa yang menolak presiden wanita dan elite politik lainnya mengerti demokrasi dengan benar. Betapa tidak. PDI-P yang dipimpinnya dengan gemilang berhasil tampil sebagai partai dengan perolehan kursi terbesar dalam Pemilu bulan Juni 1999 dengan mengantongi sekitar 34% kursi di DPR.
Lebih penting lagi, Megawati sendiri diakui pernah mengalami represi begitu kejam dari Orde Baru dan sebagai tokoh utama dalam gerakan perlawanan terhadap dekade akhir rezim Soeharto ini. Dengan duduknya Megawati pada puncak kekuasaan, pada fase ini terlihat bahwa perempuan Indonesia telah berada pada puncak piramida perjuangannya. Setelah tahap perjuangan lewat pendidikan, kemudian pendidikan itu menumbuhkan kesadaran akan berbagai hal, perempuan Indonesia setahap demi setahap makin menunjukkan suara, eksistensi dan keberadaannya yang bisa disejajarkan dengan laki-laki.
Bahkan, para ibu yang tergabung dalam Suara Ibu Peduli (SIP), banyak LSM perempuan yang sembunyi dalam masa represi seperti yang dialami Marsinah, bisa disebut sebagai tulang punggung gerakan reformasi yang menumbangkan Soeharto. Mereka memberi ”bahan bakar” bagi mahasiswa selama pendudukan gedung wakil rakyat.Di panggung politik, perempuan kini makin maju.
Yaitu, dengan duduknya Megawati Soekarnoputri sebagai presiden. Posisi ini bahkan sebenarnya telah dicapai di akhir 1999 lalu, jika saja saat pemilihan presiden tidak keluar fatwa yang menolak presiden wanita dan elite politik lainnya mengerti demokrasi dengan benar. Betapa tidak. PDI-P yang dipimpinnya dengan gemilang berhasil tampil sebagai partai dengan perolehan kursi terbesar dalam Pemilu bulan Juni 1999 dengan mengantongi sekitar 34% kursi di DPR.
Lebih penting lagi, Megawati sendiri diakui pernah mengalami represi begitu kejam dari Orde Baru dan sebagai tokoh utama dalam gerakan perlawanan terhadap dekade akhir rezim Soeharto ini. Dengan duduknya Megawati pada puncak kekuasaan, pada fase ini terlihat bahwa perempuan Indonesia telah berada pada puncak piramida perjuangannya. Setelah tahap perjuangan lewat pendidikan, kemudian pendidikan itu menumbuhkan kesadaran akan berbagai hal, perempuan Indonesia setahap demi setahap makin menunjukkan suara, eksistensi dan keberadaannya yang bisa disejajarkan dengan laki-laki.
***
Memprediksi gerakan perempuan Indonesia masa depan, sesungguhnya bisa dilihat dari apa yang dilakukan Megawati, untuk bisa mewakili suara dan kepentingan perempuan serta perhatiannya terhadap pemberdayaan perempuan.
Sebab jika tidak, Megawati tidak lebih dari sekadar simbol dari kekuasaan yang masih didominasi laki-laki, yang berada di sekelilingnya. Jika ini benar terjadi, tidak menggunakan kesempatan sebagai perempuan untuk memperjuangkan perempuan, hal itu merupakan antiklimaks gerakan perempuan. Sebaliknya, jika kepresidenan Megawati merupakan titik awal makin berperannya perempuan, untuk melihat salah satu probabilitas perempuan Indonesia masa depan lihatlah film lama berjudul ”Disclosure”.
Film yang dibintangi Demi Moore sebagai Meredith Johnson dan Michael Douglas sebagai Tom Sander, bercerita tentang kemajuan zaman yang pesat. Perempuan sudah sangat educated, bahkan sudah berdiri sejajar dengan pria. Sehingga, sah-sah saja jika ada perempuan yang ambisius dan rela melakukan apa saja demi mencapai tujuannya. Termasuk di dalamnya, penggunaan kekuasaan Meredith (sebagai atasan) untuk memenuhi nafsunya terhadap Tom (sebagai bawahan).
Meredith, pada kasus pelecehan seksual tersebut, menggunakan ”keberuntungannya” sebagai perempuan. Sebab, yang selama ini terdengar, kaum perempuanlah yang sering jadi korban pelecehan. Tak ada orang yang akan percaya kalau lelaki jadi korban pelecehan seksual.Fenomena film ini sungguh menarik Setelah perempuan sampai pada puncak paramida perjuangannya—alami atau paksaan, maka terjadilah kesejajaran total antara pria dan perempuan.
Pada satu sisi, terciptanya konsep kesejajaran total ini jelas memberi keuntungan tersendiri. Namun pada sisi lain, tak dapat dielakkan, hal itu akan menimbulkan ketakutan—terutama bagi kaum lelaki. Akankah perempuan fair dengan konsep kesejajaran itu? Sebab sudah telanjur beredar stereotype di masyarakat tentang apa-apa yang sudah terlalu sering dilakukan laki-laki dengan superioritasnya terhadap perempuan, dibanding superioritas perempuan terhadap lelaki.
Meski film ini mungkin merupakan pengecualian perjuangan Kartini, yang menyalahgunakan keperempuanannya untuk mencapai tujuan, cepat atau lambat fenomena seperti ini akan hadir di sekitar kita.Bahkan, bisa jadi telah hadir karena begitu banyak pula kasus yang mengisyaratkan adanya kekerasan terhadap laki-laki yang dilakukan perempuan. Kalau hal itu benar terjadi, agaknya bukan sebuah kemustahilan pula jika suatu saat akan ada fenomena memperjuangkan hak-hak lelaki. Siapa tahu?