Di era sekarang ini, telah terjadi perubahan paradigma hubungan konsumen yang memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dengan penyedia layanan. Hubungan yang tadinya menjadinya konsumen layaknya obyek, kini saatnya menjadikan konsumen sebagai subyek bahkan menjadi aset perusahaan. Sebab, jumlah pengguna misalnya untuk operator telekomunikasi, saat ini menentukan nilai dari operator tersebut. Makin banyak pelanggan, maka makin dianggap besar perusahaan tersebut.
Apalagi dengan kompetisi antaroperator yang kian ketat. Tanpa memperhatikan dan menganggap konsumen sebagai aset yang harus dijaga dan diperhatikan kemauannya, jangan diharapkan adanya loyalitas, bahkan yang tidak diharapkan adalah adanya gugatan dari konsumen terhadap layanan yang diberikan, yang dapat berujung di pengadilan dan menjatuhkan citra perusahaan. Untuk itu, para penyedia layanan yang terkait dengan TIK mulai saat ini perlu mengedepankan pemberian layanan terbaik dan bermanfaat bagi konsumen.
Setidaknya ada tiga hal yang menjadi perhatian konsumen dalam mendapatkan layanan: tarif, kualitas dan jaringan. Untuk tarif, memang sepertinya terjadi persaingan yang tajam antarpenyelenggara jaringan dan jasa TIK, baik voice maupun data, untuk menggaet dan mempertahankan loyalitas penggunanya. Namun, terkadang atau bahkan sering tarif yang disampaikan tidak informatif dan menimbulkan kerugian di sisi pelanggan.
Misalnya saja ada tawaran dari operator telekomunikasi y untuk menggunakan layanan bicara Rp. x/jam. Angka yang disodorkan memang murah, namun apakah angka itu bisa dicapai oleh pengguna? Tentu tidak semudah yang dibayangkan. Tarif segitu baru dapat dicapai jika pembicaraan tidak terputus selama satu jam, dan itu hanya berlaku untuk tarif dalam satu operator bersnagkuta (on net). Jika baru setengah jam putus, ya tarifnya akan berbeda, termasuk untuk ke operator lain.
Contoh lainnya misalnya ada tawaran untuk berbicara Rp. z/detik. Karena tadinya hitungannya adalah per menit, maka ketika dibagi menjadi 60 detik, tarif kelihatan jauh lebih murah. Memang basis perhitungannya berubah menjadi detik, namun jika Rp. z/detik dikalikan 60 detik, tarifnya tidak lebih murah. Tarif yang tidak informatif, dimana syarat dan ketentuan berlaku tidak dipublikasikan secara jelas, jelas muaranya akan merugikan konsumen.
Begitu juga dengan kualitas. Pernah ada operator berkeinginan memberikan tarif SMS murah, beragam bonus yang diberikan, namun yang terjadi justru sentralnya jeblok. Termasuk juga tawaran pembicaran murah per jam yang dicontohnya sebelumnya. Gimana mau murah, wong rata-rata durasi pembicaran yang tercapai hanya sekitar 30 menitan saja.
Atau untuk layanan internet. Banyak ISP, termasuk operator 3G menawarkan kecepatan up to sekian kbps atau mbps. Namun karena up to, jika bit rate terebut tidak tercapai, ya konsumen diminta maklum karena tak ada kecepatan minimal yang wajib diberikan dari angka maksimal yang disampaikan. Lagi-lagi konsumen merasa dirugikan.
Dalam waktu yang tidak terlalu lama, pemerintah dan regulator telekomunikasi akan mengeluarkan seperangkat aturan mengenai kualitas layanan. Memang ini baru baru sektor telekomunikasi, tapi aturan yang akan dikeluarkan juga juga komprehensif dimana 12 layanan jasa telekomunikasi akan punya koridor kualitas layanan. Bahkan, pelanggaran kualitas layanan akan dikenakan denda. Sehingga, tidak bisa lagi penyedia jasa telekomunikasi bersantai-santai saja, memberikan layanan apa adanya, tanpa memperhatikan kualitas yang dapat dinikmati penggunanya. Karena aturan nantinya juga menyangkut drop call, succesfull call ratio, penyedian jaringan termasuk call center yang memadai juga harus menjadi perhatian.
Konsumen sesungguhnya tidak hanya berhak mendapat layanan terbaik sesuai dengan harga yang dibayarkan, namun juga bermanfaat. Ini merupakan tugas semua. Jika memang dapat disepakati bahwa tujuan akhir memberikan layanan TIK adalah menumbuhkan perekonomian, lokomotif peradaban dan alat mencerdaskan bangsa, tentu apakah itu penyedia jaringan, penyedia jasa TIK, termasuk content provider, tidak akan lagi memberikan layanan tanpa nilai tambah kepada masyarakat.
Dengan begitu, tak ada lagi SMS premium yang menawarkan pulsa gratis bagi sekian puluh pengirim pertama tanpa jelas layanan yang diberikan apalagi tawaran bagi “pengirim tercepat” juga merupakan jebakan karena start time-nya yang tidak ada yang tahu. Tak ada lagi pula SMS penyedot pulsa atau apapun namanya. Sebab, industri ini juga harus dijaga dari pihak-pihak yang hanya menggunakan TIK sebagai media vacum cleaner penyedot uang dari masyarakat tanpa memberikan layanan bermanfaat. Semoga.