Kemampuan bangsa Indonesia dalam memanfaatkan teknologi informasi (TI) dalam pembangunan ekonomi dan membantu pencapaian kesejahteraan rakyat atau yang diistilahkan dengan e-readiness ternyata masih cukup rendah. Setidaknya, itu tercermin dari hasil peringkat E-Readiness yang dikeluarkan The Economist Intelligence Unit untuk tahun 2007. Indonesia hanya berada di peringkat 67 dengan nilai 3.39.
Angka yang diperoleh Indonesia, tidak beranjak dari angka yang diperoleh pada 2006. Kenyataan ini memprihatinkan dan menggelisahkan. Apalagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meyakini bahwa pada tahun 2030, nasib Indonesia akan berubah. Indonesia akan menjadi satu dari lima negara maju di dunia. Lembaga keuangan dan konsultasi dunia juga memberikan prediksi hampir sama, bahkan disebut-sebut akan menjadi satu dari tujuh besar dunia sebelum 2015.
Harapan maupun ramalan itu bisa jadi hanya sekadar dongeng sebelum tidur ataupun ramalan kosong belaka. Sebab killer strategy pembangunan ekonomi ke depan adalah ekonomi digital. Seperti diketahui bersama, perkembangan ekonomi dunia sedang berubah dari industri yang berbasis pada baja, kendaraan dan jalan raya ke arah ekonomi baru yang dibentuk oleh silikon, komputer dan jaringan.
Agar tidak terjebak dalam mimpi-mimpi indah tentang Indonesia masa depan, baiknya kita harus memandang hasil e-readiness 2007 sebagai tantangan agar Indonesia agar berkarya lebih baik, membenahi kekurangan agar tidak senjang dengan negara-negara di belahan dunia lain, bahkan dalam satu kawasan ASEAN. Sebab di antara negara ASEAN saja, Indonesia sudah terlempar ke urutan ke-6, dan telah dilewati Vietnam.
Jika melihat metode evaluasi, ada enam kategori penilaian e-readiness yaitu konektivitas dan infrastruktur teknologi, lingkungan bisnis, sosial dan budaya, legal, visi dan kebijakan pemerintah, serta adopsi masyarakat dan dunia bisnis. Masing-masing kategori, kemudian dijabarkan dalam sekitar 100 kriteria. Di antara kriteria tersebut adalah penetrasi telepon bergerak, internet maupun broadband, keterjangkauan tarif broadband, keamanan internet, angka melek internet, payung hukum untuk mengatur internet, strategi pembangunan digital maupun ketersediaan layanan online, baik sektor pemerintahan maupun bisnis.
Dari kriteria tersebut, selain kondisi penetrasi telepon bergerak yang memang cukup baik dengan lebih dari 70 juta pengguna, merupakan hal yang wajar jika posisi Indonesia cukup terbelakang. Pengguna internet kita menurut catatan APJII baru pada angka 20 juta, layanan broadband kita masih terbatas dan tarifnya pun masih mahal. Payung hukum untuk mengatur internet bertahun-tahun belum kita punyai. Sementara untuk layanan online, baik untuk sektor bisnis maupun pemerintah, diakui sudah tumbuh. Namun, layanan tersebut masih belum menjadi layanan utama mengingat infrastruktur yang belum merata dan menjangkau seluruh pelosok desa, SDM yang terbatas dan tak ketinggalan adalah kesadaran memanfaatkan TI secara cerdas.
Belajar dari Filipina, peringkat 54 e-readiness bersama India, setelah Information Technology and Electronic Commerce Council (ITECC) yang terbentuk tahun 2000 direorganisasi pada 2001 dengan presiden menggantikan posisi sekretaris Departemen Perdagangan dan Industri sebagai ketua, ITECC mengembangkan lima pilar implementasi yang hampir senada dengan kategori penilaian e-readiness, yaitu e-government, pengembangan sumber daya manusia, pengembangan bisnis, lingkungan hukum dan kebijakan serta infrastruktur informasi. Dari masing-masing pilar kemudian dikeluarkan rekomendasi strategis.
Sementara Malaysia, negeri Jiran yang bercokol di posisi 36 e-readiness, dalam menghadapi Era Informasi, jauh hari di tahun 1991 PM Malaysia kala itu, Mahathir Muhammad, mengemukakan Vision 2020 agar Malaysia menjadi satu negara maju. Strategi baru yang dijalankan Malaysia adalah meletakan landasan menghadapi era digital itu dengan mengkreasikan Multimedia Super Corridor (MSC). MSC merupakan proyek pembangunan terkait dengan teknologi informasi dan komunikasi yag paling komprehensif. Lebih dari sekadar technology park, MSC merupakan kendaraan untuk mentransformasikan sosial dan ekonomi Malaysi menuju masyarakat berpengetahuan di tahun 2020.
Ketertinggalan Indonesia sesungguhnya dapat dikejar dengan kesungguhan dan kerja keras dari semua pemangku kepentingan (stakeholders) TI Indonesia—dari pemerintah, regulator, kalangan industri, legislatif hingga masyarakat biasa. Beberapa percepatan yang diharapkan dapat segera dirampungkan di antaranya adalah disahkannya UU Informasi dan Transaksi Elektronik, hadirnya ID SIRTII (Indonesia Security Incident Responses Team on the Internet Infrastucture) guna membantu pengawasan keamanan jaringan telekomunikasi berbasis IP, serta hadirnya pemain baru dalam industri telekomunikasi untuk telepon tetap, baik lokal, SLJJ maupun SLI, sehingga rejim duopoli dapat diakhiri dan berganti ke iklim kompetisi.
Urusan akses dan infrastruktur ini akan lebih lengkap jika program Kewajiban Pelayanan Universal (Universal Service Obligation-USO) mulai dapat dijalankan dan rencana pembangunan Palapa Ring, dimana fase pertama akan mengarah ke Indonesia Timur, segera dimatangkan seta diimplementasikan. Tak ketinggalan, mengingat tarif jasa telekomunikasi—khususnya seluler dan internet pita lebar yag dinilai masih mahal, perlu upaya bersama agar tarif menjadi terjangkau sehingga dapat dinikmati rakyat di seluruh penjuru nusantara.
Dalam hal belum berkembangnya broadband, ini soal waktu saja. Namun dengan teknologi yang ada—3G, maupun jika nanti setelah tender Broadband Wireless Access digelar, apa yang dilakukan sudah on the track. Bahkan karena pengguna internet yang kalah jauh dengan pengguna telepon seluler (ponsel), strategi e-learning, e-business maupun e-government, mengikuti jejak Taiwan, dapat diubah menjadi m-learning, m-business maupun m-government dimana layanan pendidikan, bisnis maupun pemerintah dapat dilakukan dengan melalui ponsel.
Jika hal tersebut sudah dilakukan, tinggal bagaimana kita semua menggunakan layanan TI secara cerdas. Artinya, menggunakan TI sebagai alat untuk meningkatkan nilai tambah pengetahuan maupun ekonomi, bukan sekadar alat berkomunikasi bahkan dijadikan sasaran menyedot pulsa seperti dilakukan content provider nakal melalui layanan SMS Premium yang kian marak akhir-akhir ini. Semoga.