13 Desember 2012

Alasan Kenapa Cukai Pulsa Harus Ditolak


Pemerintah bakal memasukkan pulsa telepon dalam kategori barang kena cukai, hal itu disampaikan Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Bambang Brodjonegoro. Menurutnya sebagaimana dikutip berbagai media,  pengenaan cukai pada pulsa telepon seluler dimaksudkan untuk membatasi penggunannya karena berdampak negatif pada kesehatan.

Dikatakan Bambang, pengenaan cukai pada pulsa telepon didasarkan pada Pasal 2 ayat (1) UU No. 39/2007 tentang Cukai, dimana  setiap komoditas bisa dikenai cukai jika memiliki sifat atau karakteristik tertentu. Yakni, konsumsinya perlu dikendalikan, peredarannya perlu diawasi, serta pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup. Selain itu, pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan. Dan menurutnya, berbagai riset menunjukkan bahwa penggunaan telepon seluler lebih dari sepuluh tahun akan menggandakan risiko kanker otak. Selain itu, radiasi telepon seluler dapat memicu kanker otak, tumor sel saraf pendengaran, tumor kelenjar saliva, leukemia, dan limfoma.

Apa yang disampaikan pemerintah, laya dikritisi dan mungkin pengenaan cukai pada pulsa harus ditolak. Ada berbagai alasan yang dapat dikemukakan untuk menolak kebijakan ini:

1. UUD 1945 padal 28 hufuf f dinyatakan: “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.” Ini artinya apa, bahwa berkomunikasi melalui media apapun, termasuk telekomunikasi, merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia Indonesia yang harus dipenuhi oleh negara. Hambatan atau halangan, termasuk menambah beban untuk bisa mendapatkan kesempatan berkomunikasi, menjadi bagian dari pelanggaran HAM.

2. Misi Kementerian Kominfo terkait telekomunikasi adalah bagaimana memberikan tarif terjangkau pada masyarakat, dan itu terealisir sejak 2008, dimana sebelumnya tertinggin di bawah Australia. Dengan tarif terjangka, maka penetrasi dan teledensitas telekomunikasi meningkat, dan menjangkau ke daerah-daerah, hingga semua lapisan.

3. Di tahun 2011, pemerintah telah menyedot uang masyarakat pengguna telekomunikasi sebesar Rp. 12 trilyun-an, dengan penambahan cukai ini, mau berapa lagi uang yang harus disetor masyarakat melalui jasa telekomunikasi kepada negara. Padahal, sektor lain, justru menjadi beban karena harus subsidi seperti listrik maupun BBM. Di sektor ini tak ada subsidi yang dikeluarkan negara.

4. Angka Rp. 12 Trilyun didapat, selain melalui pemanfaatan pendapat dari frekuensi, sebesar 0,5 % dari gross revenue operator yang tentunya akan dimasukkan dalam struktur tarif ke masyarakat untuk BHP Telekomunikasi.

5. Sementara itu, masyarakat juga telah menanggung untuk membangun wilayah-wilayah terluar dan terpencil melalui program USO sebesar 1,25% dari gross revenue operator, yang tentunya juga dimasukkan dalam struktur tarif ke konsumen. Artinya, dalam tarif yang dibahas, 1,25% + 0,5 % disetor ke negara sebagai BHP USO dan BHP Telekomunikasi.

6.  Saat membeli pulsa, konsumen sudah dibebani PPN 10%, baik untuk kartu prepaid maupun postpaid.

7.  Hingga saat ini, belum ada penelitian yang secara tegas dan jelas menyatakan ada korelasi hubungan kesehatan dengan penggunaan ponsel.

8. Sektor telekomunikasi sebagai sektor yang mandiri, harusnya diberikan insentif, bukan diberikan hambatan. Apalagi, ke depan banyak target pembangun broadband khususnya yang harus dicapai. Jangan membutakan diri, bahwa sektor ini telah memberikan kontribusi terhadap PDB, dan banyak penelitian menunjukkan ada hubungan antara sektor telekomunikasi dengan pembukaan lapangan kerja dan peningkatan pertumbuhan ekonomi.